Terjun ke ranah politik bermakna ingin menjadi bagian dari kekuasaan, sedangkan membuat partai politik bisa diartikan hendak meraih kekuasaan. Kekuasaan eksekutif tertinggi di Republik Indonesia adalah Presiden. Jabatan eksekutif yang berarti menjadi Orang Nomor Satu di negeri ini itulah yang dikejar para politikus.
Harry Tanoesoedibjo adalah salah satunya. Konglomerat media kelahiran Surabaya 26 September 1965 itu mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) setelah kurang nyaman berada di partai milik orang lain, yakni Partai Nasional Demokrat milik boss media lainnya, Surya Paloh dan Partai Hanura yang didirikan Jenderal (purn) Wiranto.
Upaya Harry Tanoe --panggilan yang dikenal luas-- menuju kursi RI I tercermin dari seringnya ia berkunjung ke sejumlah pesantren dan masjid, menyapa ulama dan tokoh-tokoh masyarakat berbasis keagamaan, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Selain itu, poster-poster raksasa bergambar dirinya juga menghiasi sudut-sudut kota sampai ke pelosok desa yang digambarkan sebagai upaya Harry memperkenalkan dirinya kepada masyarakat luas.
Akan tetapi, pantaskah seorang Harry Tanoesoedibjo menjadi bakal calon Presiden RI pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti? Pertanyaan ini layak disampaikan mengingat bakal pemimpin eksekutif yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa dan Non-Muslim, terganjal dengan ketentuan Al Qur'an surah Al Maidah 51 yang mengharuskan pemimpin dari golongan Muslim. Hal ini sudah terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk Gubernur DKI Jakarta.
Seorang Kader Partai Perindo, Muhammad Amalludin, menganggap Harry Tanoe layak menjadi salah satu bakal calon Presiden RI pada Pilpres 2019 nanti. Ia yakin, bossnya selaku anak bangsa ingin rakyat Indonesia sejahtera dan ingin ingin negara maju. "Karena itu jarang seorang hartawan yang sudah memliliki kekayaan luar biasa ikut politik," katanya.
Amalludin mengungkapkan salah satu pertemuannya dengan Harry Tanoe di mana saat itu terungkap, pada 25 tahun pertama Harry membangun edukasi atau pendidikannya hingga lulus strata S2. Kemudian pada 25 tahun berikutnya, dia menata rumah tangga dan usaha.
"Alhamdullilah berhasil dengan baik. Pada 25 tahun ketiga, saya berusaha membaktikan diri saya untuk bangsa dan negara, bagaimana bisa membangun Indonesia dalam arti yang sesungguhnya. Itulah kenapa saya terjun ke partai politik," kata Amalludin menirukan ucapan Harry Tanoesudibjo.
Namun demikian Al-A'la Dzulfikar berpendapat, seharusnya Harry Tanoe tidak muncul tiba-tiba langsung menjadi calon presiden. Menurut dia, strategi ini kurang tepat karena kesannya terlalu memaksakan diri. Alasannya, jumlah dan track record simpatisan Perindo masih dipertanyakan dalam mengumpulkan suara. Harry juga harus belajar kepada Surya Paloh yang gagal menjadi calon presiden meskipun berangkat dari partai yang sangat mapan dalam politik nasional.
"Minimal target yang mesti dibidik HT (Harry Tanoe) adalah level Gubernur dahulu sebelum maju ke tingkat yang lebih tinggi," kata Dzulfikar.
Dzulfikar mencontohkan Presiden Joko Widodo yang berangkat dari bawah, mulai jenjang Walikota, Gubernur DKI baru kemudian Presiden RI. Meskipun demikian langkah seperti itu saja tidak cukup. Rakyat butuh bukti bukan janji.
"Tapi sepertinya agak sulit meskipun HT punya kedekatan bisnis dengan Trump," kata Dzulfikar. Trump yang dimaksudkannya adalah Donald Trump, Presiden Ke-45 AS yang baru terpilih menggantikan Barack Obama, di mana sebelum terpilih menjalin hubungan bisnis dengan Harry Tanoe.
[caption id="attachment_2422" align="alignleft" width="300"] Harry Tanoesoedibjo[/caption]
Ketentuan itu diusulkan oleh pemerintah pada Pasal 187-194. Disebutkan, pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang yang memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.
Hal yang bisa menjegal hasrat Harry Tanoe juga Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu yang revisinya kini tengah dibahas DPR dan pemerintah. Salah satu ketentuan "mematikan hasrat berkuasa" yang diatur adalah soal tata cara pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden. Pada tahun 2019 mendatang, Pemilu dilakukan secara serentak, yakni untuk memilih anggota legislatif DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD serta pemilihan presiden dan wakil presiden.
Hary Tanoesoedibjo sebelumnya mengatakan ingin mengikuti jejak rekan bisnisnya yang kini menjadi Presiden AS, Donald Trump, yakni dari "sekadar" pengusaha menjadi presiden sebuah negara. "Bila tidak ada seorang pun yang saya percayai bisa menyelesaikan masalah negeri ini, saya akan mencalonkan diri jadi presiden," kata Hary sebagaimana pernah diungkapkan kepada ABC.
Pertanyaannya, mengapa hasrat Harry Tanoe menjadi capres bisa terjegal? Sebab selaku partai baru, Perindo belum memiliki kursi di parlemen. Dalam draf revisi yang diusulkan pemerintah disebutkan, partai baru yang belum menjadi peserta pada Pemilu sebelumnya, yakni pada Pemilu 2014, harus bergabung dengan parpol lain yang memiliki kursi di DPR. Beleid ini tercantum pada Pasal 192 draf RUU tersebut.
Pertanyaan berikutnya? Adakah partai lain itu yang sudi bergabung dengan Perindo yang perolehan kursi DPR-nya baru akan terlihat pada Pemilu 2019 yang "sialnya" --bagi Harry Tanoe-- pelaksanaannya bersamaan dengan Pilpres 2019.
Jadi, bagaimana, dong!?
***
Catatan:
Diolah menggunakan pendekatan "Buzzfeed" dari Selasar; platform berbagi pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang saya bangun dan kembangkan. Untuk melihat kekayaan ilmu pengetahuan di platform ini, silakan mendaftar (registrasi) dan jadilah bagian dari Selasares!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews