Membela Aksi Bela Islam

Kamis, 8 Desember 2016 | 07:41 WIB
0
661
Membela Aksi Bela Islam

Drama kolosal “Penistaan oleh Basuki” tampaknya belum ada tanda-tanda akan segera berakhir, meskipun yang bersangkutan kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Kegaduhan yang bermula dari pidato Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu itu hingga saat ini telah melahirkan tiga seri Aksi Bela Islam, dua pawai kebhinekaan, serta menjadi latar belakang terjadinya penghinaan secara masif terhadap beberapa pemuka agama.

Selain itu, sepuluh orang diamankan lantaran diduga melakukan makar, juga berlatar belakang kasus penistaan ini. Pencapaian yang luar biasa. Belum pernah ada kasus penistaan yang mendapatkan reaksi sebesar ini di Indonesia!

Kasus yang masyhur dengan sebutan “penistaan agama” ini bertolak dari kontestasi pemilihan kepala daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Namun sejak saat itu kasus ini tidak lagi bersifat regional. Kasus ini adalah milik bangsa Indonesia. Bukan semata-mata milik warga DKI Jakarta. Berkali-kali masyarakat dari berbagai daerah datang ke Ibukota, di satu pihak, menyerukan agar Basuki dipenjarakan. Di lain pihak, seakan mengatasi kasus yang tengah diproses secara hukum itu, menyerukan persatuan.

Dua gelombang massa itu bukan bebas dari saling prasangka. Keberadaan massa yang kedua, yang menyerukan persatuan melalui parade kebudayaan dianggap massa pro Aksi Bela Islam sebagai massa tandingan yang cenderung membela Penista atau tidak pro terhadap perjuangan pembelaan al-Qur’an, dengan demikian tidak pro terhadap perjuangan Islam.

Di pihak lain, Parade Kebhinekaan mencurigai Aksi Bela Islam berpotensi menyebabkan perpecahan dalam tubuh bangsa. Tindakan saling olok tidak dapat terhindarkan saat salah satu gelombang tersebut melakukan aktifitas turun ke jalan. Sosial media adalah tempat sempurna untuk menjadi arena saling olok.

Sama-sama "Genit"

Menariknya, materi olok-olok itu berkisar tentang kebersihan dan ketertiban. “Massa Aksi Bela Islam tidak merusak rumput taman”, misalnya. “Aksi Bela Islam disusupi oleh atribut dan orasi separatisme”. Ungkapan lain seperti “Panitia Parade Kebhinekaan tidak konsisten karena acara diwarnai atribut partai”, “Sampah berserakan usai Parade Kebhinekaan” dan banyak ungkapan lain yang menunjukkan plus-minus penyelenggaraan aksi masing-masing.

Disadari atau tidak, penyelenggaraan Parade Kebhinekaan sesungguhnya menguntungkan Aksi Bela Islam, sungguhpun Parade Kebhinekaan itu tidak diniatkan sebagai tandingan Aksi Bela Islam.

Penyelenggaraan yang tidak tampak sebersih dan setertib Aksi Bela Islam menaikkan kepercayaan diri massa pro Aksi Bela Islam, bahwa aksi yang dilakukannya sudah pada track yang benar, sebagai antitesis dari penyelenggaraan Parade Kebhinekaan yang hampa-makna lantaran komposisi peserta bukan massa ideologis, ditambah dengan pengorganisasian yang kurang baik.

Inilah yang dijadikan daya pikat pemrakarsa Aksi Bela Islam agar gerakan tersebut dapat diterima banyak golongan. Lebih-lebih frasa kebhinekaan sudah tidak eksklusif milik Parade Kebhinekaan, sebab sejak Aksi Bela Islam III frasa-frasa tersebut juga didengungkan oleh massa pro Aksi Bela Islam.

Dikotomi berdasarkan keikutsertaan (atau keberpihakan) pada salah satu gelombang itu tentu terlalu simplistis, sebagaimana kecurigaan yang kerap digaungkan massa pro Aksi Bela Islam: kalau mengkritik Aksi Bela Islam, berarti pro Penista.

[irp posts="1769" name="Narasi Politik di Balik Demonstrasi Bela Agama 4 November"]

Paling tidak, begitulah yang umumnya terlintas di pertarungan-pertarungan media sosial. Kenyataannya lebih beragam dari itu. Mayoritas yang diam (silent majority) mengandung lebih banyak kemungkinan dari sekadar dikotomi itu.

Orang yang tidak simpati dengan Aksi Bela Islam, tidak lantas jatuh cinta dengan Parade Kebhinekaan. Boleh jadi ia mengkritik pula Parade Kebhinekaan karena dua-duanya dianggap memiliki agenda politik (secara terbuka atau tidak). Kemungkinan lain, misalnya, apatis belaka lantaran bukan warga DKI Jakarta. Dan lain-lain.

Media sebagai Mazhab

Terbentuknya ragam sikap masyarakat Indonesia atas kasus ini (khsusnya, dan kasus-kasus lain pada umumnya) tidak lepas dari peran media. Orang-orang kini memperlakukan media sebagai mazhab yang berguna untuk menentukan arah sikapnya.

Media yang bejibun itu dibagi ke dalam kelompok-yang-sesuai-seleranya dan kelompok-yang-tidak-sesuai-seleranya. Kelompok media yang sesuai dengan seleranya itu yang beritanya akan senantiasa dikonsumsi. Sebaliknya, ia akan alergi dengan segala pemberitaan dari kelompok media yang tidak sesuai dengan seleranya.

Preferensi itu seharusnya tidak jadi masalah apabila pertentangan yang terjadi hanya pada tataran wacana. Sebaliknya, akan menjadi masalah manakala alergi itu diwujudkan dalam suatu sikap kebencian. Sebagaimana menimpa pada reporter MetroTV yang dihalangi dan diintimidasi saat peliputan oleh beberapa massa Aksi Bela Islam III.

Alih-alih mengecam tindakan tersebut, massa pro Aksi Bela Islam menjustifikasi aksi barbar itu, dengan dalih stasiun televisi tersebut kerap memuat pemberitaan yang tidak pro-Islam, menurut mereka.

Belakangan sentimen terhadap MetroTV itu berlanjut hingga pembuatan petisi melalui platform web penggalangan dukungan, change[dot]org yang isinya mengimbau kepada umat Islam agar memboikot MetroTV dengan cara tidak menontonnya.

[irp posts="1374" name="Apa Yang Dicari Front Pembela Islam di Pilkada DKI?"]

Faktor menjamurnya media-media online yang tidak jelas penanggungjawabnya, provokatif dan selalu memproduksi hoax mendorong eskalasi kebencian terhadap pihak yang berseberangan. Hal ini tidak perlu terjadi seandainya penanganan yang dilakukan pemerintah cq Kementerian Komunikasi dan Informatika atas media berwatak jahat itu tuntas hingga aktor-aktornya.

Di samping itu, daya kritis masyarakat juga menjadi determinan bagi keberadaan media semacam itu. Masyarakat yang memiliki daya kritis akan mengesampingkan berita-berita yang tidak valid atau provokatif. Namun faktanya, sebuah analisis menunjukkan pendapatan pengelola situs hoax itu mencapai hingga 600-700 juta per tahun. Nominal yang fantastis. Menunjukkan bahwa konsumen situs hoax itu juga bejibun.

Esensi Bela Islam

Berdasarkan klaim massa pro Aksi Bela Islam, peserta Aksi Bela Islam III berjumlah tidak kurang dari tujuh juta orang. Untuk mengamankan prosesi Aksi Bela Islam II dan III Polri harus menganggarkan dana sebesar 76 milyar.

Kalau boleh berandai-andai, energi sebesar itu rasanya dapat diwujudkan ke dalam banyak aksi bela Islam yang subsantif. Misalnya, mengatasi bencana banjir dan sebagainya dengan cara melibatkan diri dalam upaya penanggulangan bencana dan upaya preventif, membiayai atau menjadi guru-guru mengaji di kampung-kampung, mengupayakan ketersediaan air bersih di daerah-daerah yang krisis air bersih, dan seterusnya.

Jika mau, semangat membela Islam sangat dapat diarahkan kepada hal-hal yang berguna sosial, sejalan dengan semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin (anugerah bagi seru sekalian alam).

Pengandaian itu tentu saja mudah ditepis karena dianggap tidak sesuai dengan konteks pengumpulan massa. Besarnya jumlah massa yang berkumpul dianggap sebagai tanda kecintaan umat terhadap Islam dan kemuliaan Islam di atas yang lain. Seolah-olah ini adalah antara Islam dengan kekuatan besar yang mengancam Islam.

[irp posts="1228" name="Akankah Islam Jadi Batu Sandungan Ahok di Pilgub DKI?"]

Pembelaan terhadap Islam seyogyanya dilakukan dengan nilai-nilai keislaman. Antara lain, dengan memerhatikan akhlaqul karimah, kemaslahatan, tidak menolerir kebohongan, dan menghindari kezaliman. Islam yang dibela seharusnya ada di dalam laku sehari-hari, bukan lipstik belaka; make up agar disebut sebagai orang beragama.

Jika seseorang mendaku membela Islam, akan tetapi muntab kepada ulama, atau menzalimi orang lain yang ia curigai berbeda dengannya, atau menaburkan benih-benih kebencian dalam orasi maupun ‘status’-nya, atau memalsukan berita demi mendukung argumennya (baca: egonya), maka dapat dipastikan ia adalah penumpang gelap Aksi Bela Islam.

Harus dikatakan sebagai penumpang gelap Aksi Bela Islam. Sebab jika contoh-contoh buruk tersebut diwajarkan dan diakomodir di dalam gerakan, maka akan paradoks dengan Islam yang konon dibelanya.

***