Membungkam Aktivis, Benarkah Jokowi Mulai Meniru Soeharto?

Senin, 5 Desember 2016 | 05:08 WIB
0
556
Membungkam Aktivis, Benarkah Jokowi Mulai Meniru Soeharto?

Persis 21 tahun enam bulan lalu, tepatnya 1 Juni 1995, salah satu pendapat Robert William Liddle terpampang di Harian Kompas. Isinya, lebih kurang, soal skeptisnya pemerhati politik Indonesia itu.

Menurut sosok yang akrab juga dengan panggilan Bill Liddle ini, demokrasi bagi rakyat di negeri ini masih belum beranjak dari sekadar impian. Tegasnya, masih mimpi.

Jika diterjemahkan lebih jauh, mimpi identik dengan tidur. Jadi, demokrasi itu sendiri baru lahir ketika masyarakatnya bangun lebih dulu, beranjak dari kemalasan, dan melupakan nikmatnya kasur dan bantal. 

Sekali lagi, itu hanya tafsir pribadi saya atas pernyataan skeptis Liddle.

Lagi, saat Liddle bicara ketika itu, Indonesia masih di tangan Haji Muhammad Soeharto. Sekarang, Pak Haji itu telah tiada, dan dia pun sudah meninggalkan kursi presiden negeri ini persis tiga tahun kurang sebulan jika dihitung sejak Liddle mengemukakan rasa skeptisnya di Kompas itu.

Rasa skeptis itu sendiri jelas agak menjewer Pak Harto, meski di beberapa kesempatan Liddle mengaku sebagai pengagumnya. Paling tidak, ia sudah proporsional dengan zaman itu dan dengan siapa yang memimpin Indonesia kala itu.

Di situlah Liddle menunjukkan sebuah sikap yang sekilas terkesan pragmatis, mengagumi Soeharto di satu sisi tapi mencela di sisi lain -terlepas celaannya terbilang sangat santun dan terkesan "njawani".

[irp posts="2188" name="Masya Allah, Bila Jokowi Ikut Doa dan Jumatan Akbar"]

Tapi dua sikap diperlihatkan Liddle tidaklah dapat dikatakan keliru. Ya jika melihat lagi bagaimana dia menerjemahkan masyarakat kelas menengah, misalnya, yang didefinisikannya sebagai kalangan yang buka kalangan yang bekerja di pemerintahan, juga berkepentingan relatif berbeda dengan pemerintah.

Bagi dia, kalangan menengah itulah yang diyakini sebagai unsur paling menentukan dalam membuat demokrasi bukan lagi sekadar mimpi.

Nah, ketika sekarang isu makar menyeruak lagi, ambisi mengulang kejadian 1998 mulai terlihat lagi, apakah ini sebagai simbol demokrasi yang betul-betul sepenuhnya menyala? Apalagi memang pengaruh kalangan menengah kini kian kuat.

Belum juga. Saya masih berpikir Liddle pun akan mengiyakan ini.

Kenapa? Ya salah satunya, demokrasi yang digaung-gaungkan sebagai prinsip terbaik untuk sebuah negara non-monarki, belum menjadi karakter.

Sebut saja sikap pemerintah yang selama ini melunak kepada rakyat, di sisi lain kebebasan berekspresi jauh lebih terbuka. Tapi faktanya, penangkapan atas dugaan makar masih terjadi dan lagi-lagi kental aroma masyarakat menengah tadi; yang baik secara ekonomi sekaligus pendidikan.

Penangkapan figur-figur seperti Sri Bintang dan kawan-kawan, misalnya, masih jamak dinilai sebagai pembelengguan baru atas demokrasi yang terbilang masih asing dengan kita, alias baru diakrabkan.

[irp posts="2075" name="Antara Diplomasi Jokowi, Kuda Prabowo dan Lebaran Kuda"]

Ada yang setuju dan banyak yang tak setuju. Tapi paling tidak, ketidaksetujuan atas sesuatu itu menjadi stimulus juga agar negeri ini betul-akrab dengan demokrasi.

Penangkapan atas sosok yang berseberangan,  ada juga yang menilanya tak lebih sebagai metode Orde Baru tetap berkuasa yang hanya didaur ulang lagi versi pemerintahan terkini. 

Bahkan ada juga  yang menyetarakan presiden Joko Widodo tak berbeda dengan Pak Harto dalam melihat lawan. Menurut mereka yang berpendapat begitu, ada sinyal Jokowi akan mengulang skenario "gerak catur" yang terkesan berbeda tapi memiliki keserupaan.

Tapi, itu hanya bagian dari dugaan. Apakah nanti betul-betul menggunakan jurus Pak Harto? Masih perlu disimak dulu. Yang jelas, itu akan menjadi petunjuk baru sudah sejauh mana demokrasi di negeri ini tertanam.

***