Fenomena Media Sosial, Jempol Kita Yang Latah dan Nakal

Senin, 5 Desember 2016 | 06:07 WIB
0
640
Fenomena Media Sosial, Jempol Kita Yang Latah dan Nakal

Berapa jumlah akun media sosial yang anda miliki sekarang ini? Katakan yang umum orang gunakan di antaranya; Facebook, Twitter, BBM, Whatapps, Instagram, Path, Line, belum lagi dengan jumlah Grup BBM, Facebook, Whatsapps dan sejenis akun jejaring media sosial yang lainnya.

Seorang teman pernah berujar, setiap bangun tidur pagi ia lebih dulu membuka laman Facebooknya  dibandingkan mencuci muka ke kamar mandi. Saya terkadang demikian juga, bahkan kecanduan jemari pada layar lunak android bagi saya sudah –jika disebut-  keterlaluan; saya harus bawa telepon pintar kalau sedang buang jahat.  Saat buang air besar, ada ide liar agak mudah mengalir begitu saja seiring kotoran yang keluar dari tubuh.

Saya tak sadar jongkok berlama-lama di kamar mandi sambil membaca buku elektronik, saya mencatatnya di layar telepon pintar jika kemudian timbul ide yang liar itu. Ini inspirasi lain kalau kita kekurangan waktu dan tenaga dalam mendapatkan ide, biasanya saya memilih berjalan kaki.

[irp posts="2228" name="Jangan Jadi Burung Pemakan Bangkai di Facebook!"]

Pernahkah kita mengukur berapa jam waktu dihabiskan di media sosial selama seharian? Saya bisa pastikan diri  antara 5-8 jam waktu jempol saya menari nari di layar perangkat lunak Android, bahkan bisa saja lebih.  Kadang kala terpikir, betapa celakanya waktu jika dihabiskan selama sehari malam capai 15 jam di layar android.

Tetapi itulah manusia era kecanggihan teknologi sekarang ini. Seakan, lengket telepon pintar dengan tangan tak bisa dijauhkan walau hanya sebentar saja. Betapa mengerikan kecanduan ini.

Pernah saya melihat di warung kopi, suami istri duduk di warkop yang asyik sendiri dengan gejetnya. Anaknya duduk galau sendirian tak dipedulikan. Atau sebaliknya, sang anak-anak yang sibuk bermain dengan telepon.

Banjirnya situs media daring dan situs anomin membuat pengguna harus pandai memilih berita yang fakta bukan sebuah kebohongan. Bayangkan betapa waktu Anda yang tersita harus memilih dan memilah berita yang benar atau bohong ketika beredar di media sosial tersebut. Ada ratusan ribu yang muncul di halaman beranda akun media sosial Anda setiap hari.

Jika anda sebagai orang yang cerdas -dan mengaku santun lagi berakhlak mulia- sebaiknya  mesti pikir sejenak sebelum ikut menyebarkan berita palsu di akun media sosial.

Sebab, kecerdasan sebuah telepon pintar tidak diiringi dengan kecerdasan penggunanya. Pengguna Android sekarang ini kebanyakan mudah sekali terprovokasi dengan berita sebaran kebencian, tanpa cek dan ricek terlebih dahulu akan kebenarannya.

Di beranda Facebook kita sering menemukan akun-akun yang sebarkan foto seorang perempuan tua yang sedang sakit. Pengguna diajak menyebarkan foto itu dengan ajakan bunyi: "klik like jika kamu ingin ibu ini sembuh sakitnya", "katakan amin agar ibu ini cepat sembuh", "katakan amin jika ada ingin masuk surga". Dan lihatlah, betapa banyak sekali yang sebarkan berita itu. Puluhan ribu yang bagikan.

[irp posts="1389" name="Pasar Lelang Politik di Pilgub Jakarta Itu Bernama Media Sosial"]

Padahal, itu ciri ciri akun yang sedang mencari pengikut, ketika jumlah pengikutnya ramai, akun itu akan berubah wujud jadi sebarkan penjualan barang online. Atau akun itu akan dijual kepada pihak lain yang membutuhkan akun media sosial dengan pengikut dalam jumlah yang banyak.

Pengguna media sosial cukup banyak yang latah dan kaget beraksi atas sesuatu yang sedang heboh terjadi, istilah era medsos di sebut dengan viral.

Adakah Anda termasuk sebagai pengguna yang kaget dan latah sebarkan berita yang belum jelas kebenarannya? Jika ia, bertaubatlah. Malu kita sebagai yang berpendidikan tinggi tak bisa berpikir kritis dalam memilih dan memilah berita.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi (KKBI), kata “latah” diartikan menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain; meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain. Di media sosial, orang orang latah cukup terkaget-kaget menebarkan tautan berita secara sukarela dengan jempolnya. Tanpa beban apapun akan efek dari sebuah tautan berita yang belum jelas kebenarannya.

Sebarkan dengan jempol memang hal yang cukup mudah sekali, tinggal klik, lalu ikut tersebar berita tersebut. Jika kabar berita itu berupa hal yang baik dan kebaikan, tentu sah-sah saja, tapi bagaimana jika kabar yang teredar itu sebuah berita kebencian saling mencaci-maki sesama warganet yang berujung pada saling melaporkan ke pihak aparat penegak hukum.

Era media sosial sekarang cukup banyak sudah kasus-kasus saling baku-hantam debat dungu sesama tak berkesudahan. Isu setiap hari ada saja yang lagi heboh.  Antara menantu dan mertua bisa ribut hanya gara gara mempertahankan ego debat masing masing dalam pro-kontra soal isu yang sedang hangat dibicarakan.

Sejak aksi damai 411 dan juga aksi super damai 212 saya banyak sekali harus berhenti mengikuti akun-akun pertemanan di Facebook dan Twitter yang menebarkan kebencian dan sebarkan tautan berita bohong. Beberapa tak mungkin saya hapus pertemanan. Saya memilih menahan emosi untuk tak ikut latah berdebat yang hanya menghabiskan waktu sia-sia saja.

[irp posts="85" name="Anomali Digital itu Bernama Facebook"]

Padahal waktu luang cukup besar bagi seorang pengangguran seperti saya, tetapi memilih otak tetap jernih dan menahan emosi tak ikut latah sebarkan berita kebencian adalah jalan yang terbaik saat ini. Hal yang cukup mudah terhindar dari pelanggaran UU ITE adalah dengan tidak menggunakan telepon pintar, tetapi era kecanggihan teknologi sekarang, agak sulit berlaku saya yang ingin tau perkembangan berita dan peristiwa setiap hari.

Kegundahan saya cukup miris saat melihat, orang cerdik pandai ada sekolahan ikut sebarkan berita berita palsu, padahal apa susahnya sih membuka laman mesin pencari di internet untuk mencari informasi pembanding?

Hello, janganlah tampak sekali kalau sampeyan dulunya jadi sarjana bermodalkan skripsi yang diperjualbelikan di rental komputer. Bertaubatlah teman, jangan menambah jumlah pengguna yang terus menebar kebencian sesama.

Kalaupun tidak bisa menjadi pandai, janganlah menjadi dungu dan idiot terus-terusan.

***

[irp]