Demo 212; Unjuk Rasa, Unjuk Soliditas, dan Unjuk Kelemahan

Selasa, 29 November 2016 | 09:02 WIB
0
553
Demo 212; Unjuk Rasa, Unjuk Soliditas, dan Unjuk Kelemahan

Berdiri berseberangan dengan yang seagama memang lebih berat dibandingkan berdiri berseberangan dengan yang berbeda agama. Setidaknya itulah yang sangat terasakan di Indonesia.

Kenapa begitu? Ya, pertama di sini sebagian besar memang ber-KTP muslim. Kedua, memiliki katepe Islam nyaris seperti memiliki lencana bahwa Anda memiliki strata di atas pemilik katepe agama lainnya. Ketiga, di dunia sinetron pun telah ada Islam Katepe, tapi belum kunjung hadir Kristen Katepe, Buddha Katepe, Hindu Katepe dan lain-lain.

Walaupun, iya, menurut dua teman dekat saya yang Hindu dan Kristen, soal pribadi yang hanya menjadikan agama sebagai pelengkap warna di katepe, juga ada di mereka. "Sebab, boro-boro mikir agama, mikir nanti pulang kerja akan dapet senyum istri atau dicemberuti istri saja sudah memusingkan," begitulah keluhan jujur teman saya.

Lalu, apakah istri-istri mereka yang ber-KTP muslim jauh lebih baik? Eh, kok lari ke sini? Tapi iya, banyak juga istri dari kalangan pemilik katepe muslim yang juga tidak bisa menjanjikan senyum selalu. Sebab bagi para istri, sebagian besar yang jujur, suami yang mampu menjaga dapur tetap berasap jauh lebih heroik daripada suami yang yang berharap disebut pahlawan karena sering menghadapi asap dari gas air mata.

[irp posts="2031" name="Demo 2 Desember; Mencintai Tuhan dengan Cinta, Bukan dengan Benci"]

Tapi cerita sebenarnya bukan di situ. Bukan sekadar soal asap, tapi lebih ke soal api. Kenapa api? Karena konon dari sanalah kemarahan itu diciptakan oleh yang menciptakannya, Tuhan. Bahkan, iblis pun konon dibikin dari api. Walaupun saya juga sempat berpikir apakah mesin-mesin sepeda motor hingga mesin bajaj pun digerakkan oleh iblis? Mengingat, mesin-mesin itu bisa memanas dan bergerak karena api juga toh?

Bukan, bukan itu juga. Masih tentang kemarahan saja, yang tampaknya begitu diidentikkan dengan kepahlawanan, kemachoan, atau apalah yang gagah-gagah. Padahal jika ditanyakan ke anak-anak mereka pun, sepertinya akan dijawab bahwa aktor Ganteng-ganteng Serigala lebih gagah dari ayahnya. Entahlah.

Ada absurd dalam kemarahan itu. Satu sisi ada dari kalangan yang begitu tinggi ilmu agamanya acap kali  mengajarkan untuk awas terhadap kemarahan, waspada, dan berhati-hati. Terlebih lagi kemarahan lebih mampu menggelincirkan daripada ketenangan.

Sayangnya, kemarahan itu juga yang kian sering dipamerkan.

Katanya jangan mendengki, jangan memiliki sifat hasad, jangan merasa lebih tinggi dari yang lain, tapi itu juga mereka pentaskan dengan bangga karena nanti akan muncul di TV, berlanjut undangan lagi oleh berbagai stasiun TV, hingga memunculkan kesan ala Kabayan: bahwa dengki, hasad, dan perasaan lebih tinggi dari manusia lain menjadi HALAL jika itu bisa masuk tivi.

Jangan salahkan Kabayan, sebab itu riilnya hanya kesimpulan saya yang terlalu kagum pada kejujuran orang-orang seperti Kabayan.

Ya, bagi kami rakyat jelata ini, kok ya, dalam melihat tingkah polah pemuka-pemuka agama itu terkesan lebih tertarik untuk masuk tivi daripada masuk surga. Entah mereka merasa surga itu sudah cukup di dunia, misalnya lewat kesempatan bisa kawin dua, atau bahkan lebih.

[irp posts="1769" name="Narasi Politik di Balik Demonstrasi Bela Agama 4 November"]

Walaupun, meminjam lagi kacamata Kabayan, iya juga bisa saja terasa sebagai surga jika memiliki istri dua, dan setelahnya masuk tivi lagi lengkap dengan kedua istri, dan terkenal lebih luas. Dan, boro-boro mengejar surga di akhirat, mengejar "surga" ala pemuka agama itu tadi saja belum cukup kuat.

Ya, mereka yang beristri dua atau lebih itu harus diakui hebat, lho. Bagaimana tidak, ini bukan cuma karena mereka harus mampu menjamin ekonomi keluarga sehat-sehat saja, lutut sehat-sehat saja, juga atribut-atribut lain pun sehat-sehat saja tanpa perlu obat kuat. Tapi juga kudu kuat lahir batin, karena meski di tivi nanti terlihat akur-akur saja, di belakang tivi bisa jadi akan ada yang berebut; "Itu honor dari tivi masuk ke rekening siapa?"

Apalagi orang-orang seperti saya bisa meniru tokoh agama begitu, berat. Sudah lutut tak terlalu kuat, walaupun ada benda-benda lain yang kuat, tapi dompet pun tak cukup kuat. Dompet sobek lebih sering karena terlalu akrab dengan recehan, saat mereka justru tak membutuhkan dompet lagi untuk menyimpan uang. Karena, iya, dengan uang segudang, tentu saja mereka takkan kuat untuk membawa-bawa dompet yang memiliki ukuran dan berat setara gudang.

Nah, kembali ke soal demo yang katanya akan berlangsung pada angka yang mengingatkan sebagian besar anak muda pada cerita silat Wiro Sableng, 212, apakah ada kaitan dengan dompet?

Ya tak bisa disimpulkan begitu juga. Sebab ini kan boleh jadi ada hal-hal yang jauh lebih mulia, lebih suci, dan lebih berbau surga. Masa mau dituding hal ini ada korelasi dengan dompet.

Tak baik berburuk sangka, bukan? Jadi kita berbaik sangka sajalah...

Gagal. Sulit memang berbaik sangka, jika yang terpampang di mana-mana adalah ulama-ulama yang kian rajin menyebarkan buruk sangka.

Bagaimana tidak dibilang menyebarkan buruk sangka jika yang paling sering mereka perdengarkan kini, "Bahwa nonmuslim akan terus memerangi muslim dari diam-diam menjadi terang-terangan!" Belum reda itu menggemar, muncul lagi khutbah lainnya, "Bahwa tak ada yang diinginkan oleh mereka di luar Islam kecuali hanya untuk menghancurkan Islam!"

[irp posts="1749" name="Tiga Kepentingan Demonstran atas Nama Bela Agama""]

Lah, itu bukan buruk sangka?

Demo itu, menurut saya dan Kabayan, sebagai masyarakat yang masih polos ini, lebih terlihat sebagai ekspresi buruk sangka dengan level buruk yang teramat besar.

Sesuatu yang buruk, dan terlihat terlalu besar, makin tak enak untuk dilihat bukan? Muka bertampang buruk masih bisa dinetralkan dengan karakter yang baik, tapi jika mereka bertampang alim dan berwajah yang konon ganteng-ganteng dan bisa menggaet beberapa wanita, tapi memamerkan hati dan kepala yang buruk bagaimana? Jujur, ini lebih bikin mual.

Lho, lho, Anda ingin menuduh ulama yang hadir pada demo nanti sebagai orang-orang yang memualkan? Oh, tidak, sejujurnya tidak.

Sebab, mungkin saja memang ada ulama yang mungkin sekadar terpanggil karena solidaritas atau apalah. Sebab soal kepolosan, terkadang tak hanya menjadi hak milik saya dan Kabayan saja, tapi tak sedikit juga ulama yang polos.

Ingat lho, ulama yang saya maksud di sini tak selalu mereka yang betul-betul sudah memiliki ilmu setinggi langit, sebab tak sedikit juga ulama yang mendapatkan gelar itu cukup dengan modal ukuran jenggot dan seberapa besar surban di kepala mereka. Selain, juga karena mereka lebih sering tampil di tivi.

Anda tahulah, yang sering tampil di tivi-tivi itu acap kali dipandang sebagai orang hebat dan meyakinkan. Tapi jika yang terlanjur tampil di tivi adalah orang yang memang tidak mereka sukai, itu beda lagi, wartawan tivinya nanti yang akan mereka kejar dan teriaki serupa meneriaki maling jemuran yang sedang berburu pakaian dalam.

Begitulah.

[irp posts="2162" name="Misteri JK-Wiranto dan Isu Makar Jelang Demo 212"]

Jadi di situ sehingga sangat jarang bisa didapat pemikiran yang benar. Sebab saat ada yang mengajak berpikir, palu vonis sesat dan menyesatkan lebih dulu diketuk. Jadi nyaris tak ada lagi yang bertanya-tanya, saat sekelompok orang dengan jumlah sangat tinggi mendesak-desak keinginan diri sendiri sebagai hal yang lebih penting dari kelompok lain; benar atau tidak? tepat atau tidak? ini menunjukkan kekuatan atau justru menelanjangi kelemahan sendiri?

Di sini, saya pribadi lebih merasakan, ada semacam pameran kelemahan sendiri yang dipamerkan secara polos sepolos-polosnya. Kadar kepolosan di sini, saya sebut saja jauh lebih polos daripada yang pernah diperankan si Kabayan dalam cerita yang akrab dengan masyarakat Sunda, atau bahkan cerita Pak Belalang.

Kenapa dikatakan sebagai kepolosan sangat parah? Niat hati ingin menunjukkan bahwa merekalah yang paling kuat, memiliki jumlah paling banyak, paling berpengaruh, dan paling lainnya, tapi sejatinya mereka sedang memamerkan kelemahan.

Kok begitu?

Sederhana saja, sering kali hanya yang tak percaya diri dan betul-betul lemah yang akan berusaha keras untuk memperlihatkan kesan bahwa mereka sangat percaya diri dan kuat.

Mereka yang betul-betul percaya diri dan betul-betul kuat acap kali akan tenang, kalem, dan takkan terlalu sering pamer kekuatan. Memamerkan hal ini hanya kian menunjukkan kelemahan diri sendiri.

Di antara kelemahan paling logis yang akan dipamerkan adalah kelemahan mengendalikan diri, kelemahan dalam membaca peta politik, kelemahan dalam menalar dampak, hingga kelemahan dalam membaca masa depan. Sederet kelemahan yang dipamerkan itu mungkin dapat diibaratkan layaknya "sumbangan" dari seorang intelijen satu negara ke negara yang menjadi pesaingnya. Itu jelas suatu kepolosan bukan?

Atau, itu juga menunjukkan kelemahan dalam menakar. Kelemahan di sisi ini bisa berdampak sangat serius, karena saat proses menakar berlangsung tidak imbang maka akan ada yang dikurang-kurangi atau akan ada yang dilebih-lebihkan. Perut saja, jika dipasok melebihi kemampuannya menampung, akan menyulitkan untuk bisa bernapas. Atau, truk saja seberapa pun besarnya, jika dipaksa menanggung beban jauh melebihi kemampuannya, tetap saja tumbang.

Maka itu, saya sempat berharap, tak perlulah terlalu memamerkan bahwa kita memilih truk yang begitu besar. Sementara di jalanan ada mobil-mobil yang lebih kecil, telah merambah jalanan lebih jauh, dan melesat lebih cepat ketika truk justru kian terseok-seok karena menanggung beban yang tak penting. Wallaahu a'lam.

***