Operasi Pengendalian Opini Publik di Musim Pilkada

Senin, 21 November 2016 | 05:57 WIB
0
899

Lantaran asupan informasi berlebih di musim pemilihan kepala daerah serentak (pilkada) seperti sekarang ini, tak sedikit dari kita mengalami obesitas informasi. Belakangan muncul semacam keluhan "sakit hati" di kalangan teman-teman saya akibat saling silang pendapat; ada pro vs kontra dan haters vs lovers, yang berujung blokir-memblokir akun media sosial, bahkan putus tali silaturrahim.

Jelas ini bukan omong kosong, tapi begitulah yang terjadi. Ujug-ujug temperatur pertemanan kita dipanaskan dalam suhu pilkada serentak. Masing-masing berpegang pada informasi yang didapat, baik lewat mainstream media, social media, maupun dari situs abal-abal yang tidak menerapkan standar jurnalisme. Alhasil, situasinya jadi "Ngeri-ngeri sedap," meminjam perkataan almarhum Soetan Bhatoegana.

Kita dibuat bingung dengan banjirnya informasi (hiperealitas informasi). Dari bangun tidur sampai tidur lagi, pun kita masih iseng membagi-bagi berita pilkada yang media A memberitakan begini, sedangkan media B mengabarkan begitu. Pemuka A bicara begini, sedangkan pemuka B bicara begitu. Kebenaran seperti punya dua versi di musim pilkada.

Kalaulah kita mau sadari, sebenarnya keberpihakan kita dalam setiap kali pilkada adalah hasil konstruksi sistem pemilu itu sendiri plus bujuk rayu pemenangan dari para kontestan. Kita disekat dengan kebenaran yang selektif atau pilihan sesuai keinginan "si pengendali" opini.

Makanya, fenomena ini saya sebut "operasi pengendalian opini publik" (spinning of public opinion). Ada semacam pemintalan fakta maupun isu yang dibentuk menjadi beberapa versi fakta atau isu baru untuk mengendalikan opini publik/pemilih. Perlu kita ketahui bahwa opini publik itu sendiri merupakan pendapat dan respons publik atas suatu peristiwa atau pandangan yang diinterpretasikan (Red: Gun Gun & Shulhan, 2013).

[irp posts="1520" name="3 Jenis Media Ini Perlu Digunakan Dalam Kampanye Pilgub DKI Jakarta"]

Lalu, mengapa pengendalian opini publik itu penting? Saya pinjam pendapat James Bryce bahwa Opini publik itu digunakan untuk mengontrol kekuatan suatu sistem pemerintahan dan dapat pula sebagai sumber daya kekuatan itu sendiri. Lantas, apa teknik yang dilakukan untuk mengendalikan opini publik?

Pertama, News Speak. Konsep ini dikembangkan oleh George Orwell tentang kontruksi dan manipulasi realitas politik melalui pemberitaan media guna mendapatkan respons publik yang mengarah pada pandangan tertentu. Untuk itu, kita mesti melek berita sebab informasi yang disisipkan lewat mekanisme jurnalisme, sejatinya hanya realitas pilihan. Tentu saja, realitas pilihan itu adalah cacahan dari keutuhan realitas yang sebenarnya di lapangan.

Lewat kamera, pena, kertas juga gadget, para jurnalis di lapangan hanya membidik penggalan-penggalan peristiwa, bukan keseluruhan. Itupun dipilah-pilih sesuai jobdesk dari redaksi. Saat berita itu masuk ruang redaksi, maka pengemasan pun dimulai. Mengarah ke manakah berita ini, atau berpihak pada siapakah berita itu. Makanya, jangan heran kalau peristiwa demo 411 punya pengemasan berbeda antara Harian Kompas dan Republika.

Pengendalian opini publik lewat teknik news speak ini dalam kajian media disebut media framing dan memiliki tiga cara menurut Ibnu Hamad:

(1) language of politics, di mana sebuah peristiwa akan dikemas secara bahasa sesuai opini yang hendak dibentuk. Peristiwa demo 411 dalam headline Republika disebut "Aksi Bermartabat", sedangkan Kompas memolesnya dengan bahasa "Presiden: Aktor Politik Menunggangi". Bahasa ini pun, bisa membetok keberpihakan kita. para pendukung demo 411 sudah tentu senang dengan kemasan bahasa Republika, pun sebaliknya.

(2)  framing strategies. Pada bagian ini, kita harus pandai membaca berita di balik berita. Tidak mudah membaca hal ini, tapi percayalah bahwa media akan menyisipkan suatu pesan di balik barisan bahasa jurnalisme mereka. Silakan lihat contoh language of politics di atas, tentu saja pesan kedua media tersebut kepada publik sangatlah berbeda. Republika mengamini demo 411, sedangkan Kompas memberi tekanan lewat pernyataan Presiden bahwa demo itu politis.

(3) agenda setting. Lewat cara ini, media ingin menanamkan suatu peristiwa secara hipodermik agar publik menganggap peristiwa tersebut penting. Artinya, masyarakat akan menganggap penting suatu peristiwa yang dianggap penting oleh media. Kalau media tidak gembar-gembor tentang demo 411 maka, bisa dipastikan demonstrasi itu bakal sepi dari perhatian publik.

[irp posts="1665" name="Benarkah Media Sering Serong Dalam Perhelatan Pemilu?"]

Kedua, Struktur Sosial Tradisional. Dalam Pilgub Jakarta misalnya, banyak teman-teman berpendapat, sah-sah saja ulama mengimbau publik dengan Al Maidah 51 lewat mimbar-mibar khutbah Jumat, sebagaimana apa yang dilakukan para pendeta di gereja untuk mendukung Ahok. Pendapat saya, tentu saja boleh. Itulah fungsinya para pemuka agama dalam strategi struktur sosial tradisional untuk mengendalikan opini publik.

Pemeluk agama di Indonesia terkenal soliditasnya, terutama umat Islam. Itu terbukti dari demo 411 yang dalam hitungan Google, jumlah demonstran lebih dari 2 juta orang. Siapa yang menggeret mereka ke lokasi demonstrasi? selain strategi news speak, tentu saja para pemuka agamalah simbol utama perekatnya. Contoh kecil, lihatlah Aa Gym yang turun dengan ratusan santrinya sebagai tim bersih-bersih sampah dalam demo tersebut.

Ketiga, Publisitas. Sebenarnya, ini cara bagaimana menumpang penyebaran opini publiknya lewat media tanpa membayar. Kalau menurut Stephenson (1960), publisitas itu berita mengenai kejadian-kejadian yang direncanakan. Artinya, para kandidat atau kelompok kepentingan bisa saja membuat media melirik mereka untuk diberitakan. Kalau kandidat dalam pilkada tak punya modal kampanye yang besar, ya strategi inilah yang digunakan.

Ada 4 teknik publisitas;

1) publisitas yang memanfaatkan latar alamiah kejadian biasa (pure publicity), misalnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan lewat medsos atau memberi endorsement lewat media.

2) publisitas yang memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity), misalnya membuat posko di tempat kejadian musibah besar dan memiliki potensi nilai berita.

3) publisitas yang memanfaatkan kegiatan yang dimiliki oleh pihak ketiga (free ride publicity), misalnya kandidat memanfaatkan seminar, peresmian gedung, pembukaan acara, aksi demo pihak ketiga untuk mengelola popularitasnya.

4) publisitas yang membeli “ruang” di media (paid publicity) untuk mengenalkan brand dan platform kandidat, bisa lewat advertorial, talkshow, reality show dll.

Namun, dari 4 teknik publisitas di atas, hanya teknik keempat yang paling cocok untuk mengemas opini publik sekaligus mengajak publik mengenal lebih dekat siapa sebenarnya kandidat yang bertarung. Terlebih dalam talks show, biasanya sudah di-setting untuk mendongkrak kandidat tertentu. Publik akan puas bila sang kandidatnya sendiri yang berbicara blak-blakan di media, dan pasa saat itulah operasi pengendalian openi dimulai.

***