Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo atau yang sering disapa Jokowi, menyatakan keheranannya terkait konsentrasi publik menyoal Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta dan masalah dugaan penistaan agama oleh calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Padahal, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2017 serentak pun dilakukan di tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota atau total 101 daerah. Jokowi menginginkan, publik juga aktif memantau dan melakukan pengawasan pilkada di daerah masing-masing.
“Jadi kenapa energi konsentrasi kita habis hanya di Jakarta? Apa kalkulasinya? Kalau ada masalah yang berkaitan dengan hukum, serahkan kepada proses hukum,” kata Jokowi di Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu 13 November 2016, saat menghadiri Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Amanat Nasional (PAN).
Pertanyaanya, mengapa konsentrasi publik begitu besar terhadap Pilgub Jakarta? setidaknya ada beberapa alasan;
Pertama, Jakarta sebagai pusat otoritas politik. Alasan paling fundamental mengapa konsentrasi publik mengarah pada pilkada Jakarta karena memang Jakarta kerap dinisbatkan sebagai cental of power and politics. Sebab itulah, politik DKI Jakarta menjadi sebuah resonansi politik, baik dari segi kekuasaan maupun kekuatan politik.
Kita sudah sama-sama tahu bahwa hampir seluruh perangkat politik Indonesia ada di Jakarta. Semua terpusat hanya di ibukota negara ini, seperti perangkat kelembagaan negara dan partai politik yang menyebabkan pengendalian otoritas politik akhirnya bermula dari Jakarta.
Sebagai contoh sederhana, partai politik di daerah secara otoritatif sangat mengandalkan para pengendali keuasaan di Jakarta, dimana hal ini akan berpengaruh pada keberpihakan parpol di daerah. Meski begitu, pengaruh otoritatif politik Jakarta tidak bisa dirasakan secara meluas di kalangan grassroots, melainkan lebih terfokus pada masyarakat berperhatian (public attentive) dan kalangan politisi lokal.
Kedua, konsentrasi media di langit Jakarta. Cobalah tengok, hampir semua kantor media mainstream berpusat di Jakarta. Sehingga, wajar bila operasi jurnalisme politiknya pun kebanyakan menyoroti Jakarta. Alasannya, selain faktor otoritatif politik Jakarta yang berdampak langsung pada media itu sendiri, juga beberapa alasan teknis operasional dan faktor bisnis.
Secara ekonomis, media tak butuh banyak biaya untuk operasi jurnalisme politiknya. Pun dari sudut taktis, para juru pewarta dapat dikerahkan dengan cepat untuk mendapat sebanyak-banyaknya sumber berita politik yang melimpah di Jakarta. Mungkin, biaya paling mahal hanyalah pengerahan mobil SNG (satellite news gathering) oleh stasiun televisi.
Di sinilah alasan mengapa konten terhadap Pigub Jakarta menjadi melimpah ruah. Meski hanya politik lokal, namun karena yang memberitakan adalah media kaliber nasional, maka konsumennya pun bisa masyarakat di daerah, terutama pemberitaan melalui televisi nasional yang terestrial.
Ketiga, Agenda setting media. Ada adagium terkait efek dari pemberitaan media yakni “to tell what to think about”. Maksudnya, media akan mengarahkan publik tentang apa yang mereka anggap penting. Ada semacam operasi pengendalian opini publik.
Dalam teori agenda setting yang diperkenalkan Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan mereka berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” (Effendy, 2003:287), bahwa masyarakat akan menganggap penting suatu peristiwa yang dianggap penting oleh media. Dalam artian, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.
Lewat agenda setting, media mampu menemukan kepentingan antara agenda media, agenda kebijakan, dan agenda publik.
Mengapa begitu? Kembali pada mekanisme bagaimana media menciptakan opini publik lewat pemberitaan. Secara sadar ataupun tidak, publik Indonesia yang cenderung pasif terhadap informasi, akan menemukan kesamaan kepentingan secara indivdual maupun kelompok dari apa yang dipersepsikan media itu sendiri.
[irp]
Selain itu, melalui teknik hipodermik, media mampu menanamkan kesan penting suatu peristiwa lewat konten pemberitaan yang didistribusikan terus-menerus. Model komunikasi hipodermik ini sendiri bersifat satu arah, dimana pesan-pesan politik yang disuntikkan kepada khalayak itu layaknya obat yang dimasukkan ke dalam tubuh kita lewat jarum suntik.
Sebagai contoh, mengapa kasus "Kopi Sianida" begitu santer dan diikuti banyak orang? Sebab media terus meliput hal itu sehingga mau tak mau publik pun mengikuti alur kasus tersebut, bahkan tak jarang ada perdebatan di ruang publik virtual mengenai kasus tersebut. Begitupun dengan Pilgub Jakarta, konten media yang banyak berkonsentrasi pada Pilkada Jakarta, membuat publik "lupa" betapa pentingnya pilkada di daerah mereka sendiri.
Padahal kalau kita mau berpikir jernih, sebenarnya kita yang berada di luar Jakarta (terkhusus grassroots) tidak membutuhkan informasi tentang Pilgub Jakarta kecuali sekadarnya saja. Namun, apa boleh buat? Tiap hari kita dibombardir berita Pilgub Jakarta yang porsinya jumbo, sehingga pemilihan kepala daerah dengan tiga kontestan ini pun menjadi pilihan bacaan dan tontonan yang sulit kita hindari.
Jadi, sebenarnya pernyaatan keheranan Jokowi tentang terkonsentrasinya perhatian publik pada Pilkada Jakarta, hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Yang penting justru pertanyaan, bagaimana media bisa meliriknya sebagai berita luar bisa.
Terakhir, kalau Anda mau mengurangi porsi dari berita Pilkada Jakarta, caranya cuma satu, DIET MEDIA. Jangan sering-sering nonton berita televisi atau baca berita online.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews