Transisi Kekuasaan Yang Tidak Sehat, Penguasa Ingin Kembali Berkuasa

Senin, 14 November 2016 | 19:56 WIB
0
1131
Transisi Kekuasaan Yang Tidak Sehat, Penguasa Ingin Kembali Berkuasa

Apres moi le deluge!  Itu ucapan terkenal terkenal Louis XV, Raja Perancis, pada abad 17. Jika diterjemahkan secara harfiah maknanya menjadi, "(Persetan), kalau sesudahku terjadi banjir bandang!" Atau dalam bahasa gaul anak-anak muda sekarang, "Sebodo amat, setelah gue emang gue pikirin!"

Sebagai orang yang pernah berusaha belajar keras bahasa Perancis namun Tuhan berkehendak kalau saya tidak juga pintar bicara bahasa yang penuh sengau itu, saya lebih memilih istilah yang lebih membumi, yang bisa dimengerti anak-anak "alay" sekalipun, "Setelah gue, emang gue pikirin!"

Sejatinya ucapan ini bisa menjadi milik siapa saja, bisa diucapkan siapa saja saja, credo bagi siapapapun yang tidak mau ribet dengan urusan tetek-bengek (ini tidak ada urusan dengan payudara atau breast) setelah ia berkuasa, setelah ia tidak menjabat lagi.

"Toh saya telah berbuat sesuatu untuk negeri ini, saya sudah bekerja dengan baik bagi negara ini, jadi tidak ada urusan dengan pengganti saya nanti!" Kira-kira begitulah mantan pejabat yang karena satu dan lain hal harus diganti oleh pejabat baru, baik secara alamiah maupun pergantian dengan cara gonjang-ganjing.

Maka karena semangat Apres moi le deluge eh.... Setelah gue emang gue pikirin inilah masa transisi atau perpindahan kekuasaan (dalam konteks kecil perpindahan jabatan) tidak selalu berjalan mulus, apalagi dalam bingkai perpindahan kekuasaan di lingkup Presiden RI dari masa ke masa.

Saya ajak bermain ke ranah sejarah sejenak. Tengoklah perpindahan kekuasaan dari Presiden pertama RI Soekarno kepada penggantinya, Soeharto, tidaklah berjalan mulus. Bahkan sejumlah sejarawan meyakini, perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto itu lebih layak disebut "kudeta sutera", kudeta yang halus banget bak sutera Tiongkok pada zaman komik Gina di Gurun Gobi karya Gerdi WK yang pernah saya baca.

Soekarno dilucuti karena "kesalahan" (versi penguasa tentunya) yang diperbuatnya, bahkan meninggalnya pun dalam keadaan menderita, diisolir oleh penggantinya itu.

[irp posts="1756" name="Siapa Gerangan Aktor-aktor Politik Yang Dimaksudkan Presiden Jokowi?"]

Waktu terus berjalan. Soeharto yang menggantikan Soekarno berkuasa selama 32 tahun, menanamkan pengaruhnya ke berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air ini. Namun ketika mengakhiri kekuasaannya, Soeharto pun dipaksa mundur oleh kekuatan reformasi yang pada Mei 1998 terpaksa menyatakan "berhenti" lewat pidato yang risalahnya ditulis Yusril Ihza Mahendra. Lagi, perpindahan kekuasaan tidak berjalan mulus. Ada semacam "hukum karma" atas perlakuannya terhadap Soekarno dulu.

Peganggantinya, BJ Habibie, tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan kekuasaannya karena tekanan Majelis dan cukup hanya mengantarkan era reformasi ini ke gerbang kekuasaan yang benar setelahnya. Penggantinya adalah Presiden Abdurrahman Wahid, yang "merebut" kesempatan Megawati Soekarnoputri (di mana partainya menang Pemilu 1999) sebagai Presiden di Majelis Permusyawaratan Rakyat lewat campur tangan Poros Tengah yang dibesut Amien Rais.

Sudah menjadi pengetahuan umum, tidak lama berselang, Gus Dur, panggilan Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh orang yang justru membuatnya jadi Presiden, yaitu Amien Rais, untuk kemudian digantikan Megawati, yang menamatkan separuh sisa kekuasaan Gus Dur.

Pada Pilpres langsung yang dilaksanakan untuk pertama kalinya tahun 2004 usai Megawati mengakhiri kekuasan sisanya, Megawati "dipecundangi" oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahkan sampai dua kali di Pilpres 2009 berikutnya. Transisi perpindahan kekuasaan ini tidak berjalan mulus. Megawati mutung kepada mantan anak buahnya itu dan tidak mau menghadiri acara kenegaraan apapun selama SBY berkuasa.

SBY berkuasa 10 tahun dan pada tahun 2014 harus menyerahkan kekuasaannya kepada Joko Widodo alias Jokowi yang mengalahkan calon kuat Prabowo Subianto. Perpindahan kekuasaan dari SBY ke Jokowi pun tidak berjalan mulus. Ada beberapa hal yang tidak disepakati, misalnya menaikkan harga BBM di saat masa transisi yang ditolak SBY. Jelas ditolak, wong sebagai Presiden populis SBY biasanya menurunkan harga BBM.

Mengapa perbincangan transisi kekuasaan saya angkat di kala Pilpres masih 2019, masih lama ke masa transisi? Ya, karena di luar sana, di Amerika Serikat, ucapan Raja Louis XV yang terkenal itu, "Apres moi le deluge", sepertinya tidak pernah terjadi, mulus-mulus saja. Presiden Barrack Obama, misalnya, menyambut hangat kedatangan Donald Trump yang baru saja memenangi Pilpres melawan Hillary Clinton di Gedung Putih.

Meski mengaku tegang mengikuti "prosesi" empat tahunan Pilpres AS, Obama tetap menghendaki adanya transisi atau perpindahan kekuasaan yang mulus, halus, dan lembut.

Bukan sesuatu yang mudah bagi Obama yang pernah mencap Trump sebagai "tidak layak" maju bertarung memperebutkan kursi kepresidenan. Nyatanya Obama menghendaki transisi kekuasaan yang mulus, mengenyahkan ego pribadinya semata-mata demi kelangsungan dan keberlanjutan program pemerintah.

Obama tidak ingin menyulitkan Trump saat bekerja nanti, tidak ingin pula cawe-cawe dan ikut campur urusan Trump seolah-olah waktu 8 tahun berkuasa kurang cukup. Sebagai mantan, Obama punya rencana tersendiri bersama keluarganya.

Trump yang orang "Republiken" memang menjadi momok bagi Obama maupun Hillary, rivalnya. Meski Obama berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan Hillary, nyatanya Trump menjungkirbalikkan perkiraan media dan lembaga survey. Juragan properti berusia 70 tahun ini sukses mengempaskan Hillary.

[irp posts="106" name="Psikologi Mantan"]

Tentu Hillary kecewa atas kenyataan ini mengingat dirinya seperti "di-PHP-in" oleh media dan lembaga survey yang selalu mengunggulkan dirinya. Namun demikian, Hillary dapat menerima kekalahannya. "Ini (hasil Pilpres) menyakitkan, tetapi Trump layak diberi kesempatan," katanya.

Demikianlah, tidak seperti mantan Presiden berkuasa di sejumlah negara Afrika, negara leluhurnya, Obama benar-benar ingin mengakhiri tugasnya secara husnul khatimah, berakhir indah dengan memberi kebebasan dan keleluasaan kepada Trump untuk menjalankan tugas barunya sebagai Presiden negara adidaya, tidak ingin "ngerecokin" penggantinya secara vulgar dan sangar.

Pengetahuan sejarah Obama mungkin tidak sebagus saya yang tahu ucapan Raja Perancis Louis XV Apres moi le deluge.... Persetan (Persetan), kalau sesudahku terjadi banjir bandang. Obama juga belum tentu seberuntung saya yang pernah berkunjung ke Istana Chateau de Versailles Maret 2016 lalu, melihat langsung lukisan Louis XV yang indah dan berukuran besar.

Tetapi yang jelas  Obama tidak pernah mengikuti ucapan penguasa Perancis di abad 17 itu. Obama ingin transisi kekuasaannya berlangsung lembut dan asyik-asyik saja, tidak pake banjir bandang, untuk kemudian hidup menjadi seorang negarawanan.

Ya menjadi seorang negawaran, bukan menjadi politikus seperti mantan penguasa dari negeri Afrika, negara leluhurnya, yang nampak masih haus kekuasaan.

***