"Seksinya" Dinamika Politik Virtual Lokal di Indonesia

Senin, 14 November 2016 | 02:21 WIB
0
544
"Seksinya" Dinamika Politik Virtual Lokal di Indonesia

Dinamika politik Indonesia mendadak ganjen dan serba narsis lantaran masuknya teknologi internet 2.0. Banyak politisi bermigrasi dari panggung politik konvensional ke arena jejaring virtual, di mana mereka lebih bebas menyosialisasikan gagasan, persuasi publik, protes, usulan, hingga melakukan manuver politik. Pun tak sedikit netizen saling terkoneksi dalam perbincangan politik, dari bahasan pemilihan kepala desa hingga kepala negara.

Fakta lain, para aktor politik, baik politikus (wakil maupun ideolog), birokrat, aktivis kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), juga jurnalis dan media massa, terlihat semakin adaptif terhadap penggunaan internet. Terlebih dengan penetratifnya produk-produk internet generasi 2.0 seperti Facebook, Twitter, Flickr, Instagram dan sejenisnya yang bikin interaksi politik makin atraktif dan dinamis.

Hal ini ditunjang dengan pertumbuhan pengguna internet yang terus meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data internetworldstats.com, pengguna internet di Indonesia tumbuh 34,1 persen atau setara 88 juta user dari 258,316,051 juta populasi. Jika dihitung dari tahun 2000, maka pertumbuhan pengguna internet yang semula hanya 2 juta user melonjak drastis sekitar 4,300.0 persen hingga 2016.

[irp]

Pada tahun sebelumnya, Indonesia pun masuk the big four pengguna internet terbanyak di Asia dengan jumlah 78 juta user berdasarkan data riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). China berada di posisi tertinggi dengan jumlah 674 juta pengguna internet, disusul India 375 juta, Jepang 114,9 juta, Indonesia 78 juta pengguna, Bangladesh 53,9 juta, Vietnam 47,3 juta, Filipina 47,1 juta, Korea Selatan 45,3 juta, Pakistan 29,1 juta, dan Malaysia 29,9 juta pengguna (APJII).

Lebih fantastis, ternyata hampir seluruh pengguna jasa internet tanah air adalah user aktif di media sosial, terutama facebook. Lagi-lagi Indonesia masuk top five pengguna facebook dunia. Posisi pertama disabet Amerika dengan 201 juta user, disusul India di posisi dua dengan 157 juta user, Brazil di posisi tiga dengan 111 juta user, Indonesia 88 juta user, dan terakhir Mexio dengan 69 juta user.

Data serupa dirilis wearesocial.com, bahwa pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 88 juta user dan ada 76 juta user yang mengakses media sosial lewat gawai pintar (smartphone), di antaranya sebanyak 41 persen perempuan dan 59 persen laki-laki. Sekitar 38 persen user  berusia 18-24 tahun dan 28 persen berusia 25-34 tahun. Jelas berbanding terbalik dengan user berusia 45-54 tahun yang hanya 3,2 persen.

Dari sini, kita bisa mengukur bahwa pengguna media sosial di Indonesia sudah tentu didominasi kaum muda. Artinya, progresifitas dan penetrasinya pun akan sangat berdampak dalam banyak bidang, termasuk skup politik. Kehadiran new media seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, blog interaktif (Qureta, Kompasiana, Indonesiana dll) dengan karakter multimedia dan interactivity, menurut saya akan membuka tiga ruang penting:

Pertama, cyberdemocracy. Istilah ini digambarkan Kaczmarczyk dalam bukunya Cyberdemocracy Change of Democratic Paradigm in the 21st Century (2010) bahwa demokrasi virtual melahirkan partisipasi aktif, interaktif, berjejaring, dan dapat bersifat personal. Sehingga tak heran, jika informasi politik yang beredar di media sosial sangat cepat menjadi viral dalam diskursus publik.

Contoh mutakhir menyoal dukungan politik dalam pilgub DKI Jakarta. Hingga tulisan ini dirilis, data menunjukkan kesadaran publik Jakarta dalam membincangkan Ahok melejit dari 66,4 persen pada bulan lalu menjadi 83,7 persen atau setara 271,269 perbincangan. Begitupun dengan prosentase unique user-nya yang melonjak ke angka 84,4 persen dari sebelumnya 65,9 persen.

Bagimana dengan kedua kandidat lain, share of awarenees Agus-Sylviana hanya berada di prosentase 9,6 persen, sedangkan Anies-Sandiaga lebih minim lagi, hanya 6,7 persen saja. Begitupun unique user-nya, Agus-Sylviana sekali lagi sedikit unggul dengan prosentase 8,8 persen dari pasangan Anies-Sandiaga yang mengantongi 6,8 persen.

Survei elektabilitas virtual semacam ini, menunjukkan bahwa adanya ruang demokrasi virtual yang membuka keran partisipasi aktif netizen dan dapat dimaknai sebagai gambaran riil politik konvensional. Survei ini juga punya tingkat margin of error  yang tipis dari hasil rekapitulasi (real count) penyelenggara pemilu atau KPU.

Kita bisa menengok hasil survei tahun 2014 yang memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla dalam kontestasi RI 1 dengan perolehan suara 53,8 persen. Hanya selisih 0,65 persen dari hasil hitungan KPU yaitu 53,15 persen. Artinya, kohesivitas dukungan virtual lewat sosial media tak bisa lagi dianggap sepele oleh para kontestan yang berlaga di panggung politik.

Kedua, literasi politik yang touchable. Literasi politik sendiri dapat dimaknai sebagai persenyawaan pengetahuan, skill dan sikap. Literasi politik tentu saja tidak boleh hanya berhenti pada proses kognitif tapi juga harus merembes dalam sikap politik warga dalam bentuk partisipasi aktif.

Kita tentu masih ingat gerakan Teman Ahok yang lebih banyak dimobilisasi secara virtual oleh anak-anak muda. Bahkan, tak hanya bergerak virtual namun juga menjemput bola dengan program 1 juta KTP yang menaikkan posisi tawar (bargaining position) Ahok di mata partai politik. Alhasil, PDIP, Nasdem, Hanura, dan Golkar mau tak mau merapat demi keuntungan kekuasaan (benefits of office) periode mendatang.

Poin pentingnya, bahwa gerakan kerelawanan Teman Ahok telah memberikan pembelajaran politik yang signifikan melalui media sosial hingga mampu menggerakkan publik dalam membuat pilihan-pilihan politik rasional.

Ketiga, tumbuh suburnya industri bisnis di sekitaran domain politik. Sebuah keniscayaan, selalu ada faktor bisnis dari larisnya sebuah terobosan baru, termasuk tren penggunaan media sosial dalam hajat politik. Kampanye politik kini tak perlu membayar mahal iklan di televisi, sebab cukup mengunduh video secara gratis di YouTube dan disebarluaskan lewat media sosial lainnya. Para kontestan hanya perlu membayar biro iklan untuk memproduksi konten iklan politiknya.

Digitalisasi politik tak bisa lagi dihindari sehingga seluruh aspek terkait di sekitarnya akan ikut berubah secara simultan pula. Kita tak bisa lagi menafikan bahwa para konsultan politik saat ini mulai mendigitalisasi produknya, semacam survei elektabilitas, pubric realtions research, dan electoral research yang kini mulai memanfaatkan media sosial, dimana suara publik virtual pun dianggap mewakili riil suara konstituen.

[irp]

Satu catatan penting bahwa teknologi internet, dalam hal ini media sosial, mampu mengeskalasi kekuatan kerumunan (crowd source) dalam bentuk-bentuk keuntungan yang dapat dikapitalisasi baik secara bisnis maupun politik. Khusus dalam politik, kerumunan virtual adalah modal politik yang bakal memberi electoral incentive.

Keunggulan media sosial yang tak terbatasi (borderless) ini, sadar-tak sadar telah mengeret situasi politik Indonesia pada tren politik 2.0 yang lebih dinamis. Saya yakin masa depan politik Indonesia akan semakin maju, tinggal bagaimana partai politik, infrastruktur dan suprastruktur politik mampu memanfaatkan media baru ini untuk mewujudkan politik Indonesia yang lebih dewasa dan konsolidatif.

***