Trump is Not My President

Sabtu, 12 November 2016 | 07:40 WIB
0
739
Trump is Not My President

Sori, judulnya saya Inggrisin sedikit. Dan, ini masih seputar Donald Trump yang kemarin didemo lantaran banyak warga Amerika Serikat yang tak menerima kemenangan pria berusia 70 tahun itu.

Efek demo yang dilansir CNN itu membuat tidak kurang dari 1500 pelajar di Berkeley High School memilih meninggalkan kampusnya untuk demo. Sedangkan di San Fransisco, sedikitnya seribu mahasiswa turut turun ke jalan untuk melakukan protes atas kemenangan Trump.

Tak ketinggalan Lady Gaga, pedangdut versi AS itu, turut melakukan demo. Dia tampil di depan publik dan mengangkat poster bertuliskan kalimat, "Love Trumps hate!"

Walaupun demo itu sendiri awalnya berjalan dengan damai, namun ada juga beberapa yang terpaksa ditangkap. Sementara sebagian  aparat kepolisian pun turut terluka, sekalipun Anda tahu di sana tidak ada aktivis HMI.

Sam Pasarow, kepala sekolah di Berkeley High School, turut menjelaskan alasan kenapa protes itu berlangsung meski tak ada yang memobilisasi secara langsung.

"Mereka marah," ucap Pasarow, seperti dilansir NBC Bay Area. "Mereka menangis dan mereka merasakan tidak aman--dengan terpilihnya Trump. Ini adalah sebuah bentuk solidaritas yang luar biasa mereka tunjukkan."

Ya, itu sedikitnya mewakili seperti apa ketidaksukaan publik Amerika atas Trump. Mereka tidak bergerak karena alasan bahwa Trump adalah minoritas, bukan karena presiden terpilih itu berbeda agama. Sebaliknya Trump adalah figur dari kalangan kulit putih, dan seorang Presbyterian --Nasrani.

[irp]

Tapi para pendemo itu turun, melakukan protes, dan menolak, walaupun secara aturan dan hukum setempat jelas Trump terpilih secara sah. Di situ mereka hanya bergerak karena perasaan terpanggil untuk membela; para wanita yang merasa terancam, kalangan minoritas yang juga terancam, dan berbagai alasan lainnya yang secara ringkas dapat diklaim lebih bermotif kemanusiaan.

Tapi bagi Anda yang gemar melamun, tapi sangat saleh dan sopan santunnya masuk kategori keterlaluan, mungkin akan terpikir seperti saya. Kok ya mereka tega meneriaki pria yang terbilang sepuh itu begitu rupa. Apalagi usia setua Trump itu kan seharusnya sudah masuk panti jompo jika saja dia bukanlah seorang taipan alias konglomerat, masak harus diteriak-teriaki lagi.

 

Tapi meski sempat terpikir begitu, tak berarti saya betul-betul sebaik itu dan begitu tulus mengasihani pria yang sejatinya memang lebih di atas saya dalam hampir segalanya. Saya belum sesaleh Anda, apalagi urusan sopan santun, tentunya saya masih seujung kuku kesopansantunan Anda.

 

Jadi, saya tidak kasihan. Pertama, dari sisi usia, dia sudah dua kali lipat dari usia saya. Kedua, dari sisi jumlah istri, saya hanya punya satu dan dia sudah punya tiga.

Kalaupun ketemu dia langsung pun, sepertinya Trump akan menolak rasa kasihan yang saya perlihatkan. Paling, dia akan meniru gaya abege, menggoyang sedikit pinggulnya, mengangkat telunjuknya ke arah muka saya, dan dia berucap, "Kacian deh lo!"

[caption id="attachment_1862" align="alignnone" width="300"] Protes Trump (Foto: Dailymail.co.uk)[/caption]

Nah, sudah ketemu bukan, kenapa saya tidak punya alasan untuk mengasihani Trump? Begitulah. Jadi jangan bilang saya sebagai penulis yang terlalu tega pada kalangan yang lebih tua. Tak perlu diingatkan bahwa yang tua itu harus dihormati dan dikasihani. Toh dia memiliki berbagai kelebihan berkali lipat dari saya. Betul, kan?

Saya kira, yang dipikirkan para pendemonya itu tak jauh-jauh dari yang saya pikirkan. Maka itu, mereka teriak, "He's not my president!"

Masih untung, Trump bernasib lebih baik dibandingkan Joko Widodo. Terbukti, meski adanya gelombang penolakan atasnya, belum terdengar bahwa AS layak dipimpin oleh Recep Tayyip Erdogan karena lebih islami. Bayangkan Jokowi, saat dia memimpin justru masih banyak rakyatnya cuap-cuap bahwa seharusnya Erdogan mau memimpin Turki dan Indonesia sekaligus.

[irp]

Percayalah, seberat-berat pekerjaan seorang dokter dan psikiater di rumah sakit jiwa, tidaklah lebih berat dibandingkan pekerjaan seorang presiden di tengah masyarakat yang sakit (insane society).

Kebayang tidak, bagaimana seharusnya Trump bersyukur. Sebab "tim hore" Erdogan di Indonesia tak merambah hingga ke AS. Padahal, ulah fans Erdogan itu tak hanya menyakiti Jokowi, tapi juga Prabowo Subianto. Lho kok?

Lha iyalah, kata Soimah, bagaimana Prabowo tidak tersinggung. Kalaupun katakanlah Jokowi tak pantas memimpin Indonesia, menurut mereka, kenapa mereka mengimpikan Erdogan yang ke sini, ke negeri ini?

Bukankah kalau misalnya Jokowi dan juga Pak Jeka mundur dari kursi kepresidenan/wakil presiden karena kekuatan "luar biasa" yang dimiliki Fahri Hamzah dan Fadli Zon, maka yang cocok menggantikannya kan Prabowo saja karena di Pilpres lalu dialah pesaing Jokowi.

Itu jika katakanlah tak ada Pilpres Luar Biasa (ada ya istilah ini?). Kenapa harus Erdogan, coba.

Trump takkan pusing dengan pendemonya saat ini. Dia tak butuh bodrex untuk menenangkan pikirannyaataupun bodrexin, apalagi combantryn --jika belum tahu ini obat apa, silakan buka Google dan searching! Sebab dia pastilah tahu, kadar kecerewetan publik di negaranya tidaklah separah publik di negeri yang dipimpin Jokowi.

Lagi, di AS tak ada media-media seperti PKSPiyungan, VOA-Islam, yang begitu islami itu dan teramat sangat saleh dan masih terlihat saleh bahkan saat memfitnah sesama agama apalagi berlainan agama. Jadi, di sinilah Trump sangat pantas bersyukur.

Dia menjadi presiden AS, bukan presiden Indonesia. Itu suatu berkah luar biasa. Apalagi dia memang sempat meneriaki kalimat, "Islam hates us!" yang ditangkap sebagai sinyal antipatinya kepada masyarakat muslim. Walaupun, mungkin yang ditujukan dari kalimatnya itu adalah kalangan muslim yang terlalu peduli pada seberapa panjang jenggot mereka, tapi lupa menakar sudah sepanjang apa akal mereka.

Bayangkan saja jika dia terpilih di Indonesia, dan nekat meneriaki kalimat itu. Habislah dia dikuliti Fahri Hamzah, Ustad Tengku Zulkarnaen, aktivis Islam dan ulama besar MUI itu. Belum lagi dengan PKS-Piyungan, Trump lebih repot lagi, karena untuk membredelnya pun tak tahu ke mana dia dapat mengalamatkan surat keputusan pembredelan tersebut.

[irp]

Sudahlah media itu tak punya alamat jelas, siapa-siapa di redaksi mereka pun tak diketahui, tapi mereka bisa melempar berbagai isu. Parahnya lagi, isu mereka lempar itu seperti bangkai gajah yang hanyut di sarang piranha! Dilahap begitu saja, tuntas hanya dalam sekian detik! Dan, para pemakan isu berbungkus berita itu, akan mengklaim, bahwa kamilah piranha paling suci dan paling dekat dengan Sang Pencipta.

Apa Pak Trump takkan gelisah? Apa dia takkan prihatin? Walaupun, ya, sebaiknya jangan juga sampai prihatin, sebab hak cipta untuk kata "prihatin" itu ada di tangan presiden Indonesia sebelumnya, Pak.

(Saya kembali ke Amerika dulu). Padahal lho ya, saat protes berbentuk demo tertuju ke Anda, Pak Trump, itu kan terjadi lebih kurang di 25 kota yang ada di AS bukan? Tapi Anda memang tak perlu mencemaskan hal itu, sebab seperti apa kadar kedewasaan pendemo itu sudah jauhlah dari remaja yang baru kemarin mengalami mimpi basah.

Itulah kenapa saya tidak kasihan kepada Trump. Dan, saya juga akan mengikuti kalimat para pendemo di AS itu, "Trump is not my president". Juga, saya ingin mengutip sebait puisi Chairil Anwar agar terlihat puitis sedikit, "Tidak juga kau!" dan ini saya tujukan kepada Erdogan.

***