Apa yang tersisa bagi jurnalis ketika informasi bisa dihasilkan oleh "robot-robot" yang mampu membuat berita berdasarkan alrgoritma tertentu yang dirangcang untuk kepentingan itu? Apakah wartawan terpaksa harus pensiun menulis dan membuat berita di saat mesin algoritma menghasilkan berita yang sangat akurat dengan presisi tinggi?
Pertanyaan ini penting dilemparkan di saat jurnalis robot yang mampu membuat berita sendiri sudah hadir di tengah khalayak pembaca saat ini. Dengan "big data" yang dimiliki, sebuah kantor berita atau bahkan institusi media itu sendiri mampu membuat berita tanpa campur tangan wartawan atau editor.
Lho kok bisa? Lagi-lagi jawabannya mesin algoritma itu!
Algoritma akan menghasilkan konten baru yang mengolah informasi dari "big data". Keruntuhan suatu rezim, pola-pola kudeta di suatu negara, musim pancaroba yang berganti, tsunami yang menerjang, semua peristiwa yang pernah terjadi itu sebenarnya bisa diolah dengan algoritma dan kecerdasan artifisial software komputer. Algoritma melihat pola-pola baku sehingga mampu "memprediksi" apa yang bakal terjadi.
Hasil-hasil pertandingan olahraga di seluruh dunia, bisa dipantau melalui "big data" yang mengumpulkan informasi dari berbagai media sosial dan situs-situs resmi pertandingan, demikian juga dengan kriminalitas dan serangan teror yang terjadi di berbagai belahan dunia.
[irp]
Kantor berita Associated Press, koran The Los Angeles Times dan majalah Forbes, adalah tiga institusi media yang sudah mempraktikkan keandalan robot yang bisa membuat berita secara otomatis. Jelas, cara kerja robot ini akan mengancam eksistensi manusia yang kesehariannya bekerja membuat berita; wartawan!
Lantas apa yang harus dilakukan manusia (wartawan) ketika kehidupannya terancam oleh robot jurnalis ini?
Manusia sejatinya harus lebih pintar dari robot itu sendiri. Bukankah robot juga diciptakan oleh manusia? Anda tidak usah khawatir. Sudah banyak robot atau mesin catur pintar yang kemampuannya melebihi pikiran manusia dalam mengkalkulasi trilyunan langkah catur, tetapi toh itu tidak melenyapkan para pecatur dunia, bukan?
Apa yang membuat para pecatur manusia bertahan dari serangan robot catur berupa program catur hebat seperti Komodo dan Fritz? Jawabannya; INTUISI.
Ya, sebagai mesin, komputer catur tidak punya intuisi, seni, dan perasaan!
Jadi, apa yang seharusnya dilakukan manusia yang mendedikasikan dirinya sebagai jurnalis agar tidak punah akibat serbuan robot jurnalis?
Jawabannya; BUKAN intuisi!
Lha, kalau bukan intuisi, lalu apa?
Jawabannya; jurnalis harus fokus dan konsisten meningkatkan kemampuan yang tidak bisa dilakukan robot jurnalis dengan sistem algoritma yang dimilikinya!
Jadi, inilah yang seharusnya dilakukan wartawan;
1. Menulis analisis mendalam (in-depth analsys)
2. Melakukan wawancara mendalam
3. Melakukan reportase investigasi
4. Membuat "feature news" dengan turun langsung ke lapangan
5. Melakukan pengamatan langsung di lapangan
[irp]
Kelihatannya konten yang dihasilkan algoritma aman-aman saja, mampu membuat satu berita dan langsung diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa sekaligus, mampu menghadirkan berita dari berbagai "angle" yang berbeda, dan memungkinkan personalisasi konten berdasarkan permintaan (on demand).
Tetapi yakinlah, algoritma juga memiliki kelemahan nyata yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Apa saja kelemahan algoritma itu?
1. Algoritma tidak bisa membuat pertanyaan
2. Algoritma tidak bisa menjelaskan fenomena
3. Algoritma tidak bisa mengobservasi masyarakat
4. Algoritma tidak bisa membangun kausalitas
5. Algoritma tidak bisa menentukan arah dan opini publik
Jadi, kenapa harus takut dengan kehadiran robot jurnalis?
Buatlah apa yang tidak bisa diperbuat algoritma! Sesederhana itu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews