Narasi Politik di Balik Demonstrasi Bela Agama 4 November

Sabtu, 5 November 2016 | 23:41 WIB
0
660

Sebagai mayoritas muslim di negeri ini, ada hal penting yang kita perlu sadari bahwa Demonstrasi Bela Islam yang dilakukan pada 4 November kemarin, tidak semurni nurani kita. Kita yang datang berbekal kecintaan agama, mungkin terkaget-kaget, tak menyangka bahwa setuasi damai yang terbangun di awal malah berbalik menyudutkan akibat kericuhan di penghujung demonstrasi 411 itu.

Ada suatu pola permainan apa yang tengah dikembangkan dengan memanfaatkan ketidakberdayaan kita mengontrol situasi. Kemurnian niat kita sangat mungkin ditunggangi kepentingan politik yang tidak kecil, narasinya bagaikan sebuah peledak bersumbu panjang. Sasaran ledakan sudah tepat, namun sumbu ledaknya dibuat panjang untuk mengaburkan pola dan pelaku.

Hulu ledaknya diletakkan pada suatu sisi yang tidak kita lihat. Lalu kita dikerahkan untuk membakarnya supaya lekas menjalar hingga ke hulu ledak. "Doarrr!" skenario berhasil. Ledakan yang berasal dari agresivitas kita membakar sumbu tadi, segera diamankan, diakuisisi sebagai hasil kelompok kepentingan yang sedari awal bersembunyi di balik pola.

Kalaupun sumbu yang dibakar tiba-tiba mati, maka lagi-lagi kita dikerahkan untuk membakar ulang. Mati lagi. Ya, bakar lagi. Masih mati juga sumbunya, ya, dibakar lagi. Terus begitu, lagi dan lagi sampai meledak.

Tapi, ledakan itu hanya akan terjadi jikalau kita (saya juga Anda) tidak lekas menyadari pola ini. Kita akan terus bergerak sebagai martir. Kita dijadikan kelompok "die hard" yang takkan menyerah dalam sekali kegagalan misi.

[irp]

Maka, kembalilah bertanya pada hati nurani dan akal sehat kita. Akankah kita rela membakar sumbu peledak yang kita tak tahu di mana hulu ledaknya?

Sebab boleh jadi, ledakkannya akan melukai saudara kita, melukai bangsa kita sendiri. Alhasil, jadilah kita orang paling menyesal akan ketidaktahuan sendiri lantaran menjadi suksesor dari arogansi kelompok tertentu.

Sampai di sini, mari kita kembali pada realitas di luar pola yang sudah saya narasikan di atas. Cobalah kembali kita mengingat-ingat, manuver apa yang menuntun kita untuk turun ke jalan? Tentu ada banyak sekali narasi yang dibangun oleh para kelompok dan elite berkepentingan guna mencetak kesadaran kolektif kita sesuai yang ingin mereka bentuk.

 

Sentimen bela agama kita disulut. Psikologi politik kita dibenturkan antara membela agama atau menjaga keberagaman.

 

Kepentingan kelompok tertentu nampak diakomodir, sementara yang lain dicueki. Retorika politiknya dibangun dengan rapi, membentuk persepsi seolah-olah atas kebenaran rekaan yang sudah diskenariokan.

Semua urutan peristiwa demonstrasi bela Islam ini, tentu bukan tanpa narasi. Dalam perspektif teori naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya.

Fisher, menekankan pentingnya membangun rasionalitas naratif. Meskipun tak semua narasi memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai. Termasuk narasi menyoal kepentingan politik yang membalut demonstrasi 411 kemarin. Namun, untuk membuktikan adanya keterkaitan narasi dengan realitasnya, maka ada dua syarat utama yang harus dipenuhi, yakni koherensi dan kebenaran. Bukan hanya koheren sebagai sebuah wacana, tetapi juga ada kebenaran yang dapat dirasakan banyak orang.

Sekarang mari kita baca ulang alur narasinya hingga berujung chaos menjelang bubaran demonstrasi. Flashback; terkait tudingan penistaan agama yang dialamatkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat berdialog dengan masyarakat di Kepulauan Seribu, tentu sangat berkaitan dengan Risalah Istiqlal yang lebih dulu digemborkan oleh Front Pembela Islam (FPI).

Isu SARA yang bertentangan dengan konstitusi, pertamakali dikembangkan FPI dengan bersandar pada Al-Maidah ayat 51 yang dialamatkan kepada Ahok. Hal ini terverifikasi dari relasi antagonistik antara FPI dan Ahok yang sudah terjadi sejak awal periode, bahkan FPI sempat melantik gubernur tandingan.

Lantas Ahok membalas ulah FPI dengan membangun wacana di Kepulauan Seribu bahwa ada sekelompok orang yang menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai materi propaganda. Kalimat Ahok saat itu, “dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51”. Dan ucapan inilah yang menjadi pusat polemik hingga sekarang.

[irp]

Lebih massif lagi, saat elite politik secara retoris mulai mengumbar sejumlah pernyataan sebagai penguat akan wacana penistaan agama. Para alim ulama pun bereaksi keras, terutama MUI yang langsung mengeluarkan fatwa penistaan agama.

Andai saja MUI mampu melihat konteks dari kontestasi DKI 1 yang memanas, maka fatwa itu bisa saja diredam demi persatuan umat. Bahkan, MUI bisa saja menghadirkan pakar Bahasa Indonesia untuk mengkaji pernyataan Ahok sebelum fatwa itu dikeluarkan.

Gayung bersambut, kepentingan sejumlah elit dengan kontestasi DKI yang sangat tinggi pun menemukan momentum. Manuver mulai dilakukan dengan konsolidasi elite sekaligus memobilisasi umat lewat sentimen keagamaan. Secara psikologi politik, wajar saja umat Islam bereaksi keras sebab narasi politiknya dibungkus rapi.

Singkat cerita, hingga akhir dari demonstrasi yang berujung ricuh itu, sejumlah aktor politik masih membicarakan ihwal sasaran tembaknya yang meleset, juga demonstrasi yang antiklimaks secara politis. Meskipun di lain sisi, saya harus akui bahwa demonstrasi 411 adalah demonstrasi romantis dan sukses secara etik. Bagaimana tidak, para polisi melantunkan asmaul husna, sedangkan polwannya berjilbab manis.

Balik lagi ke inti persoalan, bahwa yang paling mencengangkan, ketika salah satu wakil ketua DPR RI melontarkan pernyataan terkait impeachment (pemakzulan) Presiden Jokowi yang bisa dilakukan dengan cara konstitusional dan lewat parlemen jalanan. Tentu saja, pernyataan ini menciderai niat tulus para demonstran yang memang rela merapakat ke Jakarta atas kecintaan akan agamanya.

[irp]

Sekali lagi, sampai pada titik ini, koherensi karakterologis dari narasi politik yang menunggangi demonstrasi 411, sulit disangkal. Mengapa begitu, semakin kuat suatu narasi akan bergantung pada aktor yang membawakan narasi tersebut. Dan para aktor yang terlibat sangat mewakili karakter naratif yang mereka mainkan.

Sederhananya, boleh jadi Ahok adalah sasaran antara dan Jokowi adalah target utamanya (main target). Sedangkan para demonstran, sesuai dengan ulasan saya sebelumnya, mereka adalah martir. Niat tulus mereka menyatakan aspirasi ditunggangi secara politisi. Sedangkan ormas yang berkepentingan adalah aktor taktis strategis. Di luar itu, ada kelompok elit yang berkepentingan mengakuisisi hasil kinerja para demonstran 411.

Seribu kali sayang, demonstrasi kemarin berujung antiklimaks secara politis. Dan sumbu dari narasi hulu ledak itu akan siap dibakar kembali.

Kini, pilihan ada di tangan Anda, akankah sudi menjadi aktor dari narasi politiknya, atau menghindar demi kemaslahatan umat dan kemajemukan Indonesia.

***