Tanda Pagar Alias Hashtag untuk 4 November 2016

Kamis, 3 November 2016 | 22:26 WIB
0
467
Tanda Pagar Alias Hashtag untuk 4 November 2016

Ada setidaknya empat hashtag alias tanda pagar di jejaring sosial Twitter mencuat sekira pukul 20.30, Kamis 3 November 2016 atau sehari menjelang demo akbar di DKI Jakarta. Seketika kepala saya mulai bekerja, mengambil cangkul dan turun ke sawah, mencoba menggali-gali ada apa saja di antara tanda dan pagar.

Itu menjadi dua kata kunci; pertama tanda, dan kedua pagar. Jika tanda biasanya menjadi pengingat, sementara pagar acap kali merujuk ke pembatas. Contoh sederhana, karena Anda sedang bekerja jauh di luar rumah tapi teringat pada istri, saat melihat para calon-calon istri orang, yang telah dinikahi orang, atau sekadar dijanjikan akan dinikahi orang, maka bikin Anda segera bikin pembatas.

Jika tidak, bisa berabe. Perang dunia itu tak selalu menjadi domain negara-negara besar dunia; Jerman, Uni Soviet (Rusia), Amerika Serikat, Jepang, de el el. Sebab perang itu bisa mewujud dalam bentuk paling mini karena roket-roket di medan tempur bisa beterbangan dalam bentuk piring hingga cangkir. Dan, percayalah, meski roket dan piring plus cangkir memiliki kekuatan yang berbeda, tapi memiliki dampak kurang lebih serupa, hanya menyisakan nestapa.

Tentu saja, untuk pertempuran kelas rumah tangga --mudah-mudah tak terjadi di rumah saya atau rumah Anda--setiap kali pertempuran terjadi terkadang dapat dihentikan dengan pertempuran lain yang lebih berpahala. Jika tidak, masih ada alternatif juga; memilih memutar lagu-lagunya Caca Handika, pedangdut asal Tasikmalaya itu. Setidaknya membantu pikiran Anda sejenak lepas dari hati dan pikiran dan lara.

Kembali ke pagar, walaupun soal tanda tadi sejatinya belum habis saya ulas karena tadi agak dipusingkan oleh tanda manalagi yang dapat saya ambil sebagai contoh; tanda lampu lalu lintas, tanda bahaya, tanda-tanda punya-punya rasaaa...eh yang terakhir ini lagu dangdutnya Camelia Malik sih. 

Anda pernah tidak memandangi pagar?

Pertanyaan tidak penting bukan? Mungkin bukan. Tapi memang pagar itu biasanya memang menjadi pembatas sekaligus juga untuk menjadi penjaga. Jika Anda punya satu pohon mangga, dan Anda memagarinya setinggi dua kali badan orang dewasa, Anda sudah mencerabut salah satu peluang tantangan untuk anak tetangga. Itu tak elok kiranya, menurut hemat saya ataupun menurut hemat yang sering dikampanyekan peribahasa agar cepat kaya.

[irp]

Sebab sesuatu yang harus dijaga itu tak selalu harus dengan cara-cara yang berlebihan. Sebab sebuah pagar yang terlalu tinggi Anda bikin itu dapat membuat anak tetangga terpaksa mengambil tantangan yang terlalu berisiko membuatnya patah-patah jika terjatuh, saat dia ingin mencicipi mangga Anda dan harus menaiki pagar itu.

Ya, itu hanya sebuah saran saja dari mantan pencuri mangga, yang setelah dewasa juga berpengalaman merasakan fase-fase saat istri sedang gemar-gemarnya menikmati mangga muda.

Silakan jaga sesuatu itu seperlunya saja. Toh yang dapat disasar anak tetangga Anda hanyalah dua-tiga buah mangga, dan kelak dia akan berhenti sendiri jika suatu waktu sempat ke Bandung dan mendapatkan mangga dari mana-mana; di jalan, di tikungan, saat naik angkot, meminta permisi ke orang-orang, juga saat dia mampu menyaingi anak muda lainnya dalam merebut gadis yang ia puja dan pesaingnya menyerah. Di sana ia akan disuguhi; mangga.

Maaf, saya sudah terlalu jauh dari masalah pagar yang ingin saya ulas dan tanda yang ingin saya elus dengan kasih sayang, selayaknya saya mengelus kepala anak satu-satunya yang baru saya punya. (Mudah-mudahan Anda yang membaca ini tak merisaukan penggunaan "saya" di kalimat sebelumnya yang banjir, sampai lima kali itu).

Baik, kembali ke Twitter sejenak, saya terharu sekaligus bahagia, mirip perasaan haru dan bahagia saat istri saya bersedia dengan lapang dada melepas kutukan yang sempat menimpa saya; dijauhi para wanita dan nyaris putus asa mengajak siapa yang bersedia dinikahi.

Perumpamaan saya itu tadi agak berlebihan memang, karena ada pagar yang setinggi badan dua orang dewasa sih. 

#NggakIkutDemo dan #JakartakuDamai, menjadi dua tanda pagar yang memang betul-betul membuat saya terharu. Bagaimana tidak, di tengah berduyun-duyunnya orang yang entah dari mana-mana, akan berkumpul di ibu kota ini, tampak sekali bahwa penghuni kota ini sendiri sebagian besar menginginkan damai dan tidak diusik.

[irp]

Tapi karena ini adalah ibu kota dan ibu selalu menjadi sosok yang dicari-cari oleh mereka yang gelisah, yang ketakutan, dan yang sedang senang-senangnya dimanja, maka kedatangan begitu banyak anaknya si ibu agak mengagetkan bagi anak-anak lainnya. Apalagi si ibu harus memberikan susunya pula kepada mereka yang ramai-ramai itu.

Walaupun, iya, ada saja di antara anak-anak yang terkadang menunjukkan kebiasaan khas anak-anak agar saat ia menyusui tak boleh diusik siapa pun juga, termasuk bapaknya sendiri. Saya saja seorang seorang bapak, bisa diprotes bayi saya yang baru satu setengah tahun, padahal cuma ingin membantu mencabut uban di kepala istri --bayangkanlah betapa romantisnya saya sebagai suami, bukan?

Mereka yang memilih #NggakIkutDemo itu mewakili mereka yang tak ingin membuat ibu mereka kian lelah setelah sekian ribu anaknya membuatnya semakin lelah.

Walaupun, iya, disayangkan juga --agak serius sedikit-- di saat mereka yang tak bersedia ikut demo dan tak ingin disibukkan oleh masalah yang menurut mereka masih abu-abu, berbagai tuduhan terlempar ke muka mereka. Termasuk saya, meski muka saya sudah disabuni dengan sabun pencuci muka, tetap saja yang melemparkan tuduhan yang memiliki tingkat kepekatan tak kalah dari asap knalpot-nya kopaja-kopaja tua atau angkot-angkot yang telah lama tak diservis.

Terkadang "asap knalpot" itu memang bikin marah. Bagaimana tidak, di tengah harga sabun pencuci muka yang memiliki harga berkali-kali lipat daripada sabun mandi, mereka seenaknya saja melemparkan asap knalpot bernama tuduhan itu, hingga mengurangi aura sebagai pria idola.

Itu menyakitkan sebenarnya, sudahlah harga sabun pencuci muka mahal, bau knalpot rusak betul-betul buruk, dan warna hitam dari asapnya pun betul-betul bikin sisa-sisa ketampanan kami pria-pria yang agak baik ini meluntur.

Apakah sopir-sopir kopaja dan angkot-angkot itu bersedia bertanggung jawab jika istri saya kemudian lupa. Ya, lupa  apakah di depan matanya itu betul-betul suaminya atau memang sopir angkot yang tak pulang dalam tiga kali lebaran--seperti lirik salah satu lagu dangdut.

Tidak. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya orang-orang yang telah memutuskan untuk hanya peduli pada kemudinya, takkan terlalu merisaukan seperti apa asap hitam yang telah mereka semburkan. Sungguh, itulah suatu tanda-tanda bahwa kaum yang melupakan apa akibat dari perbuatannya, hanya membuat wajah banyak orang berkurang aura ketampanannya.

Kenapa gaya bahasa saya jadi berubah seperti alinea di atas ya? Ah, itu biasa. Karena terkadang siapa saja memang memiliki gaya masing-masing. Tukang parkir, misalnya, punya kebiasaan teriak; "Kiri... kiri...kanan... langsung..."

Beda dengan gaya tukang tahu yang tiap pagi melintas dekat rumah saya, "Tahu...tahu...tahu...." dan dia cuma bengong saat saya hanya menunjukkan buku yang mana saya juga sedang mencari tahu di buku itu.

Kembali ke tanda, kembali ke pagar. Lihatlah tanda-tanda baik, dan buatlah pagar-pagar baik dan aman. Sedangkan tagar #NggakIkutDemo menjadi bentuk lain dari tanda baik karena mereka tak ingin membesarkan masalah yang seharusnya tak perlu dibesarkan. Itu juga menjadi pagar, silakan saja bermain-main ke kota mereka, tak jangan merusak damai yang selama ini susah-payah mereka pelihara.

[irp]

Jangan lompat pagar, jangan melewati pagar, apalagi nekat merusak pagar-pagar yang telah dibuat. Sebab pagar-pagar itu ada tak selalu hanya untuk melindungi dua-tiga buah mangga, tapi ada persoalan yang jauh lebih besar dari buah mangga yang harus dijaga; kemanusiaan, kebersamaan, kasih sayang, saling hormat, dan bekerja sama dalam kebaikan.

Jika pagar-pagar itu dirusak, jika kebaikan-kebaikan yang telah ditata begitu rupa dikoyak, entah karena alasan apa saja, itu dapat menjadi tanda hal-hal yang telah diperbaiki dengan air mata dan darah pun hanya berujung air mata dan darah lagi. Jangan seperti itu, janganlah sampai terjadi begitu. Maka itu, jangan biasakan melompat pagar. Cukuplah itu hanya menjadi keisengan di masa kecil saja. Dan, itu tak perlu dibawa hingga Anda dewasa dan menua.

Secara fisik, Jakarta tidaklah dipagari apa-apa. Dia lepas begitu saja, dapat didatangi dan dikunjungi oleh siapa saja, tanpa ada halangan. Datanglah ke sini, tapi pastikanlah hanya untuk membawa hal-hal baik untuk mereka yang sehari-hari ada di sini, hidup di sini, menghirup napas di sini, dan di sini juga mereka pernah berusaha keras bagaimana menghentikan kutukan untuk tidak menjadi jomblo selamanya.

Agak berbau khutbah bukan? Saya sendiri akan mengatakan bukan. Sebab tak ada khutbah yang dapat meninggalkan pengaruh terkuat, kecuali saat kita mengkhutbahi diri sendiri. Sebab, setega-teganya kita, rasanya takkan ada yang terlalu tega menipu diri sendiri lewat khutbah-khutbahnya.

Itulah sejujur-jujurnya khutbah, yang kita dengar dari nurani sendiri.

***