Benarkah Media Sering Serong Dalam Perhelatan Pemilu?

Selasa, 1 November 2016 | 00:11 WIB
0
614

Sebagai salah satu aktor politik, media kerap kali dituding memihak dan tidak netral, terutama menyoal operasi jurnalisme pemilu yang dikendalikan dari ruang redaksi. Media dituduh bermain serong dengan para kandidat dalam urusan citra diri dan pemasaran politik. Nah, akumulasi prasangka publik inilah yang akan saya bongkar tabirnya lewat tulisan ini.

Kenyataannya, di setiap kali hajatan pemilihan umum lima tahunan, baik pemilu presiden, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan para politisi Senayan alias pemilu legislatif, media memang memainkan peran signifikan dalam menjembatani para kontestan dengan konstituen. Di sinilah irisan antara “tudingan serong dan aktivitas jurnalisme” nampak benar adanya.

Independensi media menjadi sumir bagi publik, ada media pro dan kontra, ada pula media kawan dan lawan. Begitulah kinerja jurnalisme politik media yang coba dipetakan oleh publik. Lalu, apakah tudingan itu sepenuhnya salah atau malah benar adanya?

Dalam kajian komunikasi politik, media digolongkan sebagai salah satu aktor politik, selain dari politisi wakil dan ideolog, juru bicara dan pemuka pendapat (pengamat, ulama, publik figur dll), para promotor (konsultan politik, biro iklan dll) dan terakhir tentu saja media itu sendiri.

[irp]

Media di sini, bukanlah personal web seperti PepNews.id maupun serupa blog interaktif layaknya Kompasiana dan sejenisnya. Yang dimaksudkan adalah media yang menjalankan fungsi pemberitaan dan informasi secara terstruktur dan melembaga.

Media tersebut, secara sah beroperasi dalam mencari, mengumpulkan, mengelola, memuat dan mendistribusikan informasi atau peristiwa politik secara mandiri. Dalam bahasa komunikasi politik disebut sebagai proses konstruksi realitas politik di media massa. Para jurnalis yang dikerahkan lewat mekanisme redaksi inilah yang menjadi jubir politik media bagi publik.

Media bisa mengatur para politikus untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.

Kesimpulannya, media melalui para pewartanya adalah komunikator yang secara profesional dan melembaga turut mempublikasikan isu, opini dan fakta politik yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Karena faktor ini, media cenderung melakukan tiga hal sebagai aktor politik, yakni pemilihan simbol atau bahasa politik, strategy framing, dan agenda setting.

Di sinilah, secara awam pun kita mampu membaca, kemana arah sebuah berita, adakah berita di balik berita, bahkan adakah berita pesanan, dan sebagainya.

Lantas, cukupkah itu membuktikan bahwa media berpihak? Tentu tidak. Sebab itu, saya ingin mengajak pembaca menganalisa operasi jurnalisme politik suatu media melalui teori hierarki pengaruh untuk memastikan adakah keberpihakan atau sebaliknya, independen.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengemukan teori Hierarki Pengaruh (hierarchy of influences on media content), di mana mereka melihat 5 faktor utama yang memengaruhi konten dari sebuah institusi media dalam operasi jurnalisme politiknya;

Pertama, Faktor Individual. Latarbelakang profesional dari pengelola media, baik agama, suku, keilmuan, usia, jenis kelamin, lingkungan sosial dll dapat mempengaruhi konten/pemberitaan media.

Subjektivitas pelaku media tak bisa dilepaskan begitu saja dari sebuah konten yang diproduksi, sebab itulah sejak di lapangan pun para jurnalis sudah memilah-milih mana realitas yang cocok untuk dikemas dan disajikan lewat media tempat ia bekerja. Sehingga, realitas yang dikonsumsi publik lewat media, itu sejatinya realitas pilihan, bukan realitas sebenarnya. Jean Baudrillard menyebutnya “simulacra” alias realitas semu.

Kedua, Rutinitas Media. Terbentuk dari unsur; sumber berita (suppliers), organisasi media (processor) yang berkaitan dengan standar opersional, dan audiens (contumers). Di bagian inilah tarik-menarik kepentingan nampak paling nyata antara keberpihakan atau independensi. Di level ini pula, kita tahu bagaimana sebuah berita diracik; mulai dari pemilihan peristiwa politik yang layak saji, penugasan jurnalis, editorial juga proses-proses teknis lainnya.

Ketiga, Organisasi Media. Di level ini, jurnalis dan editor hanyalah bagian kecil dari sebuah organisasi institusi media yang dapat memberi pengaruh terhadap berita politik. Bagian lain dari organisasi media juga mampu membelokkan pemberitaan. Misalkan, bagian periklanan berkeberatan kalau berita negatif mengenai kandidat “A” ditayangkan sebab sang kandidat sudah beriklan milyaran rupiah.

Kalau sudah begitu, apa mau dikata? Secara ekologis, media pun butuh bertahan hidup di “alamnya”. Terlebih persaingan antarmedia di Indonesia sudah memasuki pasar oligopoli, di mana banyak media group yang tumbuh subur. Otomatis, salah satu faktor penting dalam mata rantai kehidupan media yakni iklan, dapat difungsikan untuk menyetir konten suatu media.

Contoh lain, dalam urusan penyajian konten politik selalu bertalian erat dengan kepemilikan. Noam Chomsky menyebutkan, filter pertama dalam pemberitaan politik adalah pemilik media. Maka tak heran, pada Pilpres 2014 lalu, Ardi Bakrie pernah marah-marah soal penempatan iklan Jokowi-JK di laman VivaNews. Atau bocornya undangan wajib menghadiri kampanye Wiranto-HT bagi karyawan MNC group.

Keempat, Ekstra Media (institusi sosial). Perlu kita pahami bahwa selain sebagai institusi bisnis dan politik, media juga berperan sebagai institusi sosial yang berjejaring dengan institusi lain. Relasi media dengan kelembagaan tertentu pun dapat mengubah konten suatu media, termasuk berita politik.

Dalam posisi inilah, kita mengenal media sebagai aktor politik, dimana mereka memainkan peran-peran politis berdasarkan negosiasi-negosiasi kultural dan ekonomis. Media sangat dipengaruhi oleh lingkungan pemerintahan dan lingkungan bisnisnya. Di masa Orba kita tahu bahwa media adalah corong pemerintah, akrab dengan para stakeholder. Namun di era demokrasi elektoral saat ini, media juga bermain mata dengan para pengiklan.

Kelima, Sistem Sosial. Level ini adalah bagian paling makro yang dapat mempengaruhi independensi suatu media dalam pemberitaan politik. Karena bersifat makro, hal ini sangat sulit dideteksi bagaimana pola pengaruhnya. Shoemaker dan Reese menyederhanakannya dalam empat sistem; ideologi, ekonomi, politik, dan kultur.

Saya ambil contoh ideologi. Hal ini bisa terkait dengan ideologi media tersebut, bisa juga berkaitan dengan ideologi negara dimana media itu beraktivitas. Misalkan, Republika “mendukung” penangkapan Ahok dengan berita-berita yang pro terhadap isu penistaan agama, sementara Kompas memainkan isu yang lebih moderat menyoal masalah tersebut, seperti mengedepankan isu-isu kebhinekaan, kemajemukan, dan menolak ekstrimisme.

[irp]

Kesimpulannya, berdasarkan teori hierarki pengaruh ini, rasanya sulit kita menepis tudingan publik bahwa media memang berpihak dan tidak netral. Namun ada satu perbedaan tipis dalam wacana ini, antara cover both side dan netralitas. Kita cenderung memukul rata pemaknaannya dalam operasi jurnalisme, padahal itu berbeda.

Cover both side erat kaitannya dengan komposisi suatu berita yang disajikan secara berimbang, seperti tidak mengabaikan fakta dan relevan. Sedangkan netralitas, sudah berbicara konteks pesan, sublimasi pesan, analisis teks atau narasi, dan kelima faktor hierarki tadi.

Jadi, menurut ngana, bisakah media netral pada saat pemilu? Silakan jawab sendiri.

***