Teman-teman semua yang baik, tulus dan ikhlas, dari palung hati terdalam, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas perhatian dan ucapan selamat yang insya Allah sangat membesarkan hati saya atas dinobatkannya PepNews! sebagai pemenang ID WEBSITE AWARDS 2016 kategori Blog dan Situs Pribadi dari PANDI yang penganugerahannya berlangsung 28 Oktober 2016 malam, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda.
Satu hal yang selama ini saya pegang adalah KONSISTENSI dalam berkarya. Tidak mudah untuk menjalankan keajegan dalam semua hal, khususnya dalam berkreasi; saya butuh keyakinan diri, butuh kerja cerdas, butuh jejaring yang luas, butuh outward looking, butuh kemampuan menangkap kekinian, butuh kebesaran hati, butuh sikap pantang menyerah, dan seterusnya.
BLOG di INTERNET sering dianggap tidak prosprektif, senjakala yang sebentar lagi akan mati, tetapi orang sering lupa bahwa BLOGGING itu merupakan kegiatan pengguna internet independen mengisi konten; mulai teks, suara, imej (gambar), video, dan gabungan semua itu yang seluruhnya merupakan ruh dari hidupnya internet. Blog (teks), Phlog (foto), Voilog/Podcast (suara), dan Vlog (video) tidak akan pernah hilang di Internet. Bahkan Vlog sedang seksi-seksinya sekarang ini.
[embed]https://www.youtube.com/watch?v=PTcMna9VtuE[/embed]
Pun saya tidak goyah dengan olok-olok yang sudah terlalu sering saya terima mengapa jurnalis profesional kok mau-maunya mendalami dunia baru bernama BLOG. Dasarnya adalah keyakinan itu. Yakin dengan sebuah buku yang diperlihatkan guru jurnalistik saya yang kemudian saya baca setelahnya, saya tulis tentang dunia BLOG di mana telah lahirnya jurnalisme baru, yaitu jurnalkisme warga di Harian Kompas pada kurun waktu 2004-2006. Pada rentang itulah saya sebagai jurnalis profesional sudah menjadi BLOGGER untuk blog gratisan yang bersejarah, minimal bagi saya, yaitu blog bernama Beranda T4 Berbagi.
[irp]
Saya "menikmati" proses kreativitas menulis di blog yang sejatinya bisa memunculkan "siapa saya sebenarnya" terkait gaya kepenulisan yang sudah pasti hilang ketika saya menulis berita untuk harian Kompas, tempat di mana saya bekerja. Di sana saya tidak sendirian, tidak bisa seenaknya. Ada Newsroom dengan hierarki berjenjang, yang wajib ada dalam organiasi media arus utama. Alhasil, tulisan yang terbatas halaman karena berebut dengan tulisan lain itu hanya memunculkan "separuh aku" saja. "Separuh aku" lainnya hilang digunting editor, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi, bahkan mungkin sampai pemilik media.
Maka datanglah dunia baru yang oleh Luwi Iswara, guru saya tadi, disebut "jurnalisme baru" itu di mana semua warga sekarang bisa jadi wartawan. Ya bisa, itu semua berkat BLOG gratisan yang menyebar bak virus kebaikan ke seluruh sendi kehidupan Internet. BLOG bisa hadir di mana saja dan dimiliki siapa saja, bahkan dengan cara gratisan!
Tidak semua orang welcome dengan hadirnya genre baru yang bahkan namanya saja, "jurnalisme warga", disambut tentangan yang luar biasa. Olok-olok sudah tak terhitung. Mungkin kehadirannya semula hanya diniatkan sebagai cibiran, tetapi lama-kelamaan ada juga yang menganggapnya ANCAMAN.
Di dunia baru di mana batas-batas wilayah sudah tidak jelas lagi, di mana batas-batas wilayah sudah dilebur oleh dunia maya bernama Internet, sesungguhnya hal yang terberat itu adalah menganggap sesuatu sebagai ANCAMAN. Saya harus tegaskan; jangan pernah menganggap kehadiran hal yang baru di Internet sebagai ANCAMAN, sambutlah itu sebagai TANTANGAN!
Dalam menyambut ANCAMAN dengan TANTANGAN, berlaku "hukum perang" di dunia maya (Internet); yaitu ATM... Amati Tiru Modifikasi! Ini rumus klasik yang semua orang bisa melakukannya tetapi tidak semua orang meyakininya, apalagi sampai mengerjakannya!
Kalau saya cukup punya modal besar, kehadiran barang baru di dunia Internet bisa saja ajak aliansi, bisa saya beli, atau saya bikin sesuatu yang menyerupainya dengan modifikasi dan komodifikasi tertentu, sehingga seakan-akan menjadi barang baru. Saya yakin, tidak akan ada lagi inventor (penemu) sekarang ini, yang ada hanyalah para Innovator. Dan bicara innovator, kita semua, Anda dan saya, berhadapan dengan orang-orang yang tak kenal usia!
Maka, berdamai dengan anak-anak "kemarin sore" yang tiba-tiba muncul di Internet bak cendawan di musim hujan, adalah suatu keniscayaan.
[irp]
Saya harus mengikuti langkah dan gerak mereka, setidak-tidaknya tahu apa yang sedang anak-anak muda kerjakan. Di usia saya yang sudah tidak muda lagi, sudah di atas 50 tahun dan benar-benar memasuki senja kala, diperlukan "kerendahan hati" untuk mengakui keunggulan generasi saat ini dan mendatang, yang hadir dengan berbagai kreativitasnya di dunia Internet. Ya ini dunia mereka. Merekalah yang akan "menguasai" dunia; pembuat sekaligus penikmat.
Tetapi yang sering orang lupa, jangan pernah menjadi tua untuk sebuah kreasi di dunia maya meski di sekeliling Anda terdapat anak-anak muda, ambillah semangat belia mereka!
Karena konsistensi di dunia BLOG dan kegiatan CITIZEN JOURNALISM itulah setidak-tidaknya membuat saya mendapatkan personal branding baru alih-alih jurnalis profesional dari media cetak ternama, Harian Kompas. Saya lebih dikenal sebagai seorang BLOGGER tinimbang seorang REPORTER.
Menyesalkah? Tidak! Saya malah bangga.
Sungguh di luar dugaan, saya yang mulai mengenail blog berkat "Kesombongan" saya menyepelekan istri saya yang saat itu sudah punya personal blog gratisan saat saya bertugas di Surabaya tahun 2004, saya kemudian menjadi saya sekarang ini. "Blessing in disguise" jika pada saat yang sama guru saya Luwi Iswara memperlihatkan buku karya Dan Gilmor, "WE MEDIA".
Sebagai guru yang sedang singgah di Surabaya dan bercerita tentang buku yang sedang dibacanya, saya khidmat mendengarkannya. Setelah saya membaca buku itu di kemudian hari, semangat baru untuk membuat sesuatu yang baru muncul, meski kemunculannya pastilah kurang menyenangkan sebagian orang, yang menganggap apa yang saya kerjakan itu sebagai ancaman.
Seiring perjalanan waktu, sejak April 2008 usai bertugas membesarkan Kompas cetak edisi siang yang bernama Kompas Update, yang kemudian harus "dibunuh" karena berpotensi menggerogoti tiras oplah Kompas edisi pagi, plus model bisnisnya yang lambat atau belum ditemukan, plus tentangan dari sejumlah editor, dan plus-lus lainnya, saya bersama segelintir teman berhasil melahirkan KOMPASIANA pada Mei tahun yang sama saat saya ditempatkan di Kompas.com dan resmi diluncurkan pada 22 Oktober 2008.
Tetapi.... malaikat juga tahu, kehadiran "cucu baru" yang seharusnya kelak bisa menjadi "sekoci" itupun tidak bisa menyenangkan semua orang di lingkup rumah besar bernama Kompas-Gramedia. Ada yang menganggapnya sebagai inovasi baru, tetapi tidak sedikit yang menganggapnya sebagai ANCAMAN itu tadi.
[irp]
Bagi saya inilah kehidupan yang hakiki, ternyata tidak seperti jalan tol yang mulus lurus; kerikil tajam, tanjakan terjal berkelok-kelok, lubang menganga, turunan licin mengancam, adalah kehidupan itu.
Baiklah, KOMPASIANA sekarang "sudah jadi barang" dengan entitas dan model bisnis yang jelas, yang lahir berkat KONSISTENSI saya tadi. KOMPASIANA sudah menjadi "sekoci" baru yang tidak seberapa, yang mungkin tidak berarti, karena hanya sedikit saja bisa menampung orang terlebih lagi belum terlihat benar apakah "sekoci" ini akan bisa sampai pada tujuannya, daratan kemakmuran hakiki. Terlebih lagi, "sekoci" ini sama sekali tidak belum terasakan manfaatnya jika para penumpang di kapal besar yang nyaman belum merasakan guncangan hebat meski di depan ombak besar mengancam dan cuaca buruk sudah mulai tidak bersahabat.
Tetapi bagi saya yang terbiasa melawan arus deras sungai kehidupan, terbiasa kecemplung ombak yang datang mengguncang di lautan pekerjaan, saya sudah sampai di AKHIR SEPENGGAL PERJALANAN ini. Saya perlu beristirahat di pelabuhan terdekat untuk sejenak berjalan ke sebuah ketinggian, melihat dengan jelas ke semua arah dan meraba denyut kehidupan, yang pada akhirnya saya harus bergegas menuruni bukit untuk MEMULAI LANGKAH BARU.
DARI MANA saya akan memulai LANGKAH BARU dan KE MANA saya akan MENUJU, itu yang akan saya ceritakan di lain waktu.
Salam.....
PEPIH NUGRAHA
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews