Pilkada, Ujian Daya Tahan Kekitaan dan Kewarasan

Jumat, 28 Oktober 2016 | 07:14 WIB
0
578

Belakangan, sistem imun sosial kita sebagai bangsa majemuk nampak melemah. Barangkali sebab musim pemilihan kepala daerah (pilkada), banyak orang mudah terserang hasutan dan terjangkit iri hati. Lantaran tak kuat menahan suhu pilkada yang terus memanas, akhirnya kita berhalusinasi. Tak mampu lagi membedakan mana realitas rekaan dan mana fakta yang verifikatif.

Ribut-ribut di akar rumput (grassroots) ramai terdengar menyoal siapa mendukung siapa. Perbincangan politik masyarakat berseliweran di ruang-ruang publik virtual (new public sphere), menjelma mewakili realitas sebenarnya. Anomali sosial pun bermunculan, ada friksi haters vs lovers hingga tumbuh faksi-faksi ekstrimis yang cenderung membfragmentasi masyarakat secara hitam putih.

Para ulama yang semula adalah pewarta Tuhan, malah sibuk mewartakan pilihan-pilihan politik. Bermunculan fatwa-fatwa agama yang membentengi kekuasaan dari skeptisme dan kritisisme publik. Ada jarak proxemiks yang dibentangkan antara kekuasaan politik dengan rakyat.

[irp]

Mencemaskan! Politik kekuasaan menjelma rupa agama, berpenampilan budaya, melenggang manis di panggung pilkada sembari menebar visi retoris. Kontestan sibuk memadu akting bak aktor-aktor kenamaan di panggung depan (front stage), namun menyajikan tontonan hiperealitas yang menjebak pikiran dan keberpihakan.

Entah mengapa, kita yang turut dalam pesta demokrasi elektoral ini, sering bertikai menyoal perkara unsubstantial, agitasi seputar isu sektarian, propaganda bermateri agama, dan memblokade kewarasan tentang kontestasi sebenarnya; perebutan kekuasaan para elite.

Benar kata JH Robinson, “Political campaigns are designedly made into emotional orgies which endeavor to distract attention from the real issues involved, and they actually paralyze what slight powers of cerebration man can normally muster.”

Kita sedang dalam sebuah peristiwa dimana emosi dan kesadaran kita direkayasa secara massal oleh mesin-mesin pemenangan. Kita diajak menjauh dari masalah-masalah substansial yang semestinya menjadi pertimbangan kita memberi mandat elektoral.

Meski begitu, dari keseluruhan dinamika pilkada yang kita hadapi sekarang, patutlah kita sikapi sebagai sebuah ujian daya tahan sosial kita, soliditas dan solidaritas.

Kita harus berjuang hingga pemilu ini usai, tak henti beradaptasi dengan dinamika politik kekinian. Untuk menjaga sistem imun sosial kita tetap stabil, maka kita perlu melakukan 4 hal ini;

Pertama, menjadi seorang yang ekslusif dalam perkara ibadah transenden.

Kita secara personal menjumpai Tuhan lewat ibadah vertikal tanpa perlu merasa paling shaleh. Sekat perbedaannya jelas, antara keyakinan tiap-tiap kita dengan yang lain. Kita menjumpai tuhan dalam rindu yang menyendiri dan tak berisik. Layaknya para sufi, menyatu dengan Tuhan dalam keintiman yang tak dimengerti orang lain kecuali diri sendiri. Bukankah “rindu yang berisik tanda tak dalam?” Jadi, buat apa mengumbar kemesraan dengan Tuhan. Cukup kita saja yang tahu.

Kedua, menjadi inklusif dalam menghormati keimanan orang lain.

Dalam ranah ini, kadang begitu mudah terbentur saat musim pilkada. Kita saling menjual dalil agama demi meraup kumulasi elektoral. Bagaimana mungkin, kita tega meletakkan agama yang kudus sebagai objek politik yang profan. Politik yang fana tak semestinya menjadi subjek dari agama. Lantas itu, kita fungsikan agama sebagaimana mestinya, sebagai hal yang imanen dalam politik. Perilaku asketis dalam politik adalah tujuan dimana agama hadir untuk itu.

Ketiga, menjadi pluralis dalam kemajemukan indonesia yang indah ini.

Kita ber-bhineka tunggal ika, bangga dalam keragaman dan rukun dalam perbedaan. Indonesia bukan milik perseorangan atau kelompok melainkan kepunyaan bersama. Indonesia dengan Pancasila sudah sangat kuat, dan kita hanya perlu menghargai sekat-sekat SARA yang selama ini melekat.

Keempat, menjadi liberal dalam kemanusiaan.

Kalaulah agama, suku, adat, budaya, masih menjadi penghalang, lalu mengapa kita tak bertindak atas nama kemanusiaan? Biarlah naluri kita sebagai manusia menyatu meski banyak perbedaan. Hakikatnya, kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dalam kemanusiaan.

***

[irp]