Antara Pilkada DKI Jakarta dan Artis Sophia Latjuba

Kamis, 27 Oktober 2016 | 11:47 WIB
0
879
Antara Pilkada DKI Jakarta dan Artis Sophia Latjuba

Di kalangan pria, obrolan yang beraroma politik memang begitu menggelitik untuk selalu dikulik. Walaupun dari sisi referensi, bacaan seputar politik masih lebih sedikit dibandingkan bacaan seputar bagaimana berternak itik. Sebab politik itu selalu menarik. Kecuali di Jakarta, terutama sejak kemunculan Sophia Inggriani Latjuba atau lebih terkenal dengan Sophia Latjuba atau Sophia Mueller.

Lha, apa urusannya dengan Sophia Latjuba? Ya tentu saja ada urusan tersendiri, terutama jika Anda betul-betul seorang lelaki. Coba saja Anda melihat betapa mata Latjuba memiliki daya magnet yang mampu membuat pikiran Anda terseret-seret.

Saya percaya, jika Anda berkenan agak serius membayangkan makhluk Tuhan bernama Sophia, rasanya Pilkada betul-betul memiliki magnet yang tak lagi seberapa. Dan, Anda akan mengiyakan kenapa seorang Ariel Peterpan eh Noah bisa terkesima. (Harus saya garisbawahi, Ariel Noah, karena Peterpan akan membuat pikiran Anda mendadak liar).

Lagi, apa urusannya dengan Sophia?

Jelas ada urusan. Jika tidak, seorang Basuki Tjahaja Purnama yang terkenal sangar pun bisa sungkan oleh Ariel Noah --yang juga menurut obrolan teman-teman perempuan, ia termasuk kategori lelaki sangar.

[irp]

Jadi, jangan heran jika Sophia akan menjadi magnet tersendiri di Pilkada DKI nanti. Sorot matanya saja tak hanya membuat Anda sebagai pria merasa tak berdaya, melainkan kerewelan Anda seputar Pilkada pun bisa senyap seketika. Kenapa seperti itu? Mungkin saja, perhatian Anda ke Pilkada tiba-tiba bergeser ke pikiran soal di mana Anda dapat mencari tukang pelet agar Ariel bergeser, dan Anda menggantikan posisinya.

Itu normal, lantaran saat kita sendiri terkena pelet maka ada kecenderungan kita untuk juga mencari tukang pelet. Ya, misal saja Anda terpelet oleh pesona yang dipancarkan Sophia tadi, pastilah Anda mencari tukang pelet bukan untuk menghilangkan pelet itu, melainkan agar Ariel menjauh dan Anda mendekat.

Tapi masih ada Ahok?

Percayalah, sesangar-sangar seorang Ahok pastilah dia takkan berani membuat Veronica Tan kebakaran jenggot --bayangkan seperti apa seorang wanita jika berjenggot.

Nah, kan betul kubilang. Tadi saya sebenarnya ingin tetap bicara Pilkada, dan Anda saja yang melamunkan Sophia Latjuba. Tapi berat. Sangat tidak mudah, karena pesona Sophia terlalu kuat. Sampai-sampai, saat sedang menulis ini pun, saya ingin pulang lebih cepat lantaran terbayang istri telah menanti dengan lirikan mata yang tak kalah memikat.

Tapi janganlah Anda tega mengajak saya membandingkan, lebih memikat mana antara pesona istri saya dengan si Sophia? Sebab jika saya tetap memaksa istri saya lebih memikat dari Sophia, nanti justru saya yang Anda tuduh munafik, dan ini bikin persoalan makin pelik. Sedangkan jika saya mengakui Sophia di atas istri saya, sama saja saya menuduh mereka terlibat hubungan sejenis.

[irp]

Kok jalan tulisan ini jadi muter-muter? Jangan kaget. Sebab jika Anda mau ke kantor lurah saja, saya kira belum tentu tersedia jalan lurus begitu saja. Pastilah ada belokan-belokan, dan belokan itu sudah terlalu tajam jika rencana ke kantor lurah justru membelok dulu ke rumah tetangga. Itu bahaya, ada banyak bahaya di belokan.

Ini juga ada belokan, karena ini obrolan yang jauh di melampaui urusan di kantor lurah. Ini berkait erat dengan sebuah kota yang selalu dan selalu digelar sebagai ibu kota, walaupun saya pun bingung sejak kapan kota memiliki jenis kelamin dan dapat dikategorikan sebagai ibu kota. Lagi, absurd toh, karena ada ibu kota tapi tak ada bapak kota (catat ini!).

Baik, kenapa Ahok memilih Sophia Latjuba? Apa karena ada yang kurang dari Veronica?

Ah, sekali lagi, jangan banding-bandingkan mereka. Saya tadi sudah mencoba membandingkan Sophia dengan istri saya sendiri, dan sangat tidak tega rasanya. Apalagi jika harus membenturkan lagi Sophia dan Veronica.

Yang jelas, Veronica tetap menjadi perempuan istimewa. Tidak hanya bagi Ahok, tapi juga bagi rakyat Jakarta yang pernah melihat langsung seperti apa tatapan selayaknya seorang ibu yang dipancarkan Veronica.

Veronica bukan tipe perempuan yang ingin memanfaatkan posisi didapatkan suami, dan sejauh ini belum terlihat bahwa mentang-mentang dia istri seorang gubernur lalu dia melakukan hal-hal yang ngawur dan ngelantur. Ini penting, karena perempuan yang benar di depan lelaki salah pun bisa membantu sang lelaki takluk dan kembali ke jalan yang benar.

Beda halnya jika perempuan yang tak benar, jika ia mendampingi lelaki benar pun maka bukan tak mungkin akan turut terseret ke jalan tak benar. Jangan pikir terlalu jauh, Anda akan kerepotan jika bensin habis di tengah jalan: lihat saja bagaimana tren pemimpin yang korup, kerap kali hampir tak lepas dari kebiasaan istri mereka juga. Itu sebagian kasus, dan saya tidak menyamaratakan perempuan.

Maka itu, kenapa saya pribadi terpesona pada sosok Veronica, lantaran ia piawai menempatkan diri sebagai seorang wanita, dan terlihat teguh pada prinsip layaknya masyarakat Tionghoa yang berhati-hati dan jeli. Ada keteladanan diperlihatkannya, dan dalam karakter pendiamnya--tidak seceplas-ceplos Ahok--saya yakini ia punya power untuk menyeimbangi sisi keras suaminya.

Kok jadi ngebahas Veronica?

Sebentar dulu. Kan, Sophia baru hadir akhir-akhir ini saja, menjelang Pilkada. Itu Veronica sudah jauh-jauh hari ada bersama Ahok, masak harus saya singkirkan begitu saja.

[irp]

Artinya apa? Bahwa peranan wanita tak dapat diremehkan. Veronica berperan sebagai istri, sebagai perempuan yang diikat dengan Ahok dengan nama Tuhan. Sedangkan Ahok dengan Sophia lebih terikat oleh kepentingan Pilkada.

Lantas, apakah peranan Sophia sejatinya sama sekali tidak penting?

Bukan begitu, Mas, Bang, Lai, Bung, Kang, dan Tante-tante. Ini lebih ke sisi perempuan dan eksistensi mereka di tengah percaturan politik yang terlalu "berbau laki-laki".

Jangan sekadar melihat perempuan dari sisi seberapa cantik dia, dan seberapa kuat pesona yang ditebarkannya. Tapi di sana ada kekuatan mahadahsyat, yang bahkan takkan dimiliki oleh lelaki. Bayangkan saja, bahwa saya dan Anda ada dunia pun tak lepas dari perempuan yang rela bertaruh nyawa untuk mengandung hingga melahirkan.

Kekuatan seorang ibu! Itu, yang ingin saya bidik. Kenapa harus muter-muter? Ya, agar Anda tak lagi disangka berada di barisan mereka yang kurang piknik, sehingga hanya melihat sesuatu dari dua kutub; jika bukan kawan maka lawan, jika tiba baik maka buruk, dan jika bukan ini maka itu, dan jika tak begini maka begitu.

Sekadar melihat dari sisi-sisi terlalu biasa dan terlalu lurus terlalu berisiko. Ada dinding hingga tiang listrik di depan Anda pun akan begitu saja Anda tabrak karena menafsirkan jalan lurus itu sebagai jalanan yang tanpa belokan sama sekali.

Soal Sophia, banyak yang bertanya-tanya, apakah ia hanya menjadi semacam sales promotion girl alias SPG seperti halnya di dunia pemasaran? Atau, dia hanya pelengkap, agar wajah Ahok yang kerap dituding masam, jadi lebih seimbang dengan keberadaan Sophia?

Kalaupun ada bau-bau iya, tapi tak sepenuhnya dapat diiyakan begitu saja.

Apalagi di sini, posisi Sophia sendiri seperti kerap diakuinya, adalah seorang pengagum yang berterus terang mengagumi sepak terjang Ahok sepanjang ia menjabat sebagai gubernur di Jakarta. Di sini, Sophia melihat sebagai seorang wanita, bahwa lelaki perkasa itu bukanlah pria yang lihai berkata-kata, melainkan orang yang mampu menunjukkan kinerja.

Juga patut dicatat, jika saat Ahok berancang-ancang ingin maju lewat jalur independen, teman-teman media di Jakarta yang pernah meliput hal itu tahu bahwa Sophia pun ada di barisan pertama yang memberikan KTP untuk komunitas bernama Teman Ahok.

Belum lagi karena memang ada fakta bahwa Sophia belakangan pun terjun sebagai kader di partai Nasional Demokrat alias Nasdem. Alhasil dia pun menemukan "eskalator" untuk membantu Ahok berjalan ke tujuan. Sophia berperan sebagai juru bicara tim pemenangan Ahok, yang mewakili Partai Nasdem.

[irp]

Jika dia sudah bicara, percayalah, para wartawan paling cerewet pun (di kalangan pria) bisa mendadak adem dan kalem di depannya. Tak percaya? Boleh saja, tapi jika percaya bisa bikin saya melamun lebih leluasa seputar Sophia. Tapi yang jelas, itu pengakuan saya sebagai salah satu pemilik KTP di Jakarta yang di kolom jenis kelamin masih utuh tertulis: laki-laki. Masih meragukan kelelakian saya? Kapan-kapan boleh tanya ke istri saya saja.

Jadi, saya ingin bilang begini. Ehem, Sophia itu memang cantik, iya. Dia itu memikat, juga iya. Sophia memiliki pesona teramat kuat, juga tak dapat saya bantah. Tapi, saran saya, jangan lihat dia hanya dari sudut sanalah. Sebab, itu hanya bikin Anda ketahuan terlalu suka di sudut, dan itu biasanya menjadi ciri orang yang kurang percaya diri.

Ke sudut sini saja. Ayo lihat perempuan yang berkiprah di dunia politik, terserah ia mendukung kandidat mana saja dengan perspektif lebih mulia. Ya, lantaran memuliakan mereka, toh sama artinya memuliakan makhluk Tuhan yang sebangsa dengan ibu kita sendiri, ibu yang telah melahirkan kita dengan keringat, air mata, darah, dan bertaruh nyawa.

Jadi, daripada terlalu menduga-duga kenapa harus Sophia, hingga membuat Anda terjebak prasangka, lagi-lagi saya akan menganjurkan Anda untuk lebih sering muter lagu dangdut.  Nikmati lagi lagunya Vety Vera, "Hidup ini jangan serba terlalu yang sedang-sedang saja. Karena semua yang serba terlalu bikin sakit kepala."

***