Komunikasi Politik Presiden Jokowi; dari Papua, FPI sampai Natuna

Selasa, 18 Oktober 2016 | 08:06 WIB
0
610
Komunikasi Politik Presiden Jokowi; dari Papua, FPI sampai Natuna

Sebenarnya komunikasi politik berupa pesan-pesan Presiden Joko Widodo alias Jokowi kepada rakyatnya dan seluruh elemen masyarakat, baik yang mendukung maupun mereka yang bersuara kritis, tidaklah sukar ditebak. Komunikasi politik Jokowi boleh dibilang terang-benderang, tidak perlu tafsir yang "njelimet". Awam pun bisa segera paham apa yang disampaikannya.

Foto yang lumayan kekinian dan viral di media sosial adalah peristiwa yang menggambarkan Presiden Jokowi sedang memayungi Gubernur Papua Lukas Enembe saat memantau langsung Gardu Induk Waena Sentani di Papua, gardu berkekuatan 20 MegaVolt Ampere buatan Perusahaan Listrik Negara. Disebutkan, dalam kondisi berhujan, berangin kencang dan tanah yang becek, tidak menyurutkan Jokowi melihat Gardu Induk pertama yang ada di tanah Papua tersebut.

Saat berada di Sentani Jayapura itu Jokowi ditemani Menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Namun dalam foto Jokowi tampak memegang payung sendiri, memayungi Lukas Enembe, sementara Rini berada di belakang Jokowi, seolah-olah melihat aksi Jokowi tersebut. Di atas payung yang dipegang Jokowi terdapat cap Sang Saka Merah Putih, bendera kebangsaan NKRI, dengan tulisan INDONESIA di bawah bendera.

[irp]

Bagi para penghujatnya, foto itu tidak lebih dari pencitraan yang tetap harus dipelihara dan telah di-setting pihak Istana jauh-jauh hari. Mungkin juga dalam alam bawah sadar Jokowi sendiri merasa dirinya rakyat biasa, bukan seorang Presiden RI. Tetapi bagi orang yang biasa menangkap pesan secara tersirat, adegan itu menunjukkan bahwa NKRI memayungi dan menaungi Papua. Titik.

Lewat diplomasi payung itu Presiden juga seperti ingin mengatakan; tidak ada kaitan dengan agama untuk urusan kenegaraan yang dinaungi konstitusi. Lukas Enembe adalah Kristen kelahiran Tolikara, sebuah tempat yang beberapa waktu lalu bergejolak dengan isu SARA yang pekat. Namun dengan "Payung NKRI" itu Jokowi siap memayungi rakyat Papua dengan latar belakang SARA apapun.

Pesan politik ini, disengaja atau tidak, adalah kuat untuk memberi kabar kepada dunia luar; jangan main-main dengan Papua, rakyat dan tanah ini bagian tak terpisahkan dari Indonesia! Begitulah kira-kira.

Jelaslah, Jokowi memosisikan dirinya sebagai rakyat biasa, bukan Presiden. Dalam hierarki politik, seharusnya Lukas Enembe selaku bawahan Jokowi yang memayungi Presiden RI itu, apapun alasannya. Dari sisi usia, Lukas Enembe lebih muda dibanding Jokowi dan dalam tatakrama sosial apapun, yang lebih muda hormat kepada yang lebih tua, yang lebih muda harus memayungi yang lebih tua.

Ternyata semua pakem itu tidak berlaku bagi Jokowi. Alam bawah sadarnya mengatakan, ia juga rakyat biasa tak lebih dari Lukas Enembe!

Jokowi dan demo besar

Komunikasi politik yang agak lebih canggih dari peristiwa "payung fantasi" Jokowi di Papua adalah perihal demo besar berbagai organisasi kemasyarakatan Islam dengan penggerak utama Front Pembela Islam (FPI) yang pada Jumat, 14 Oktober 2016 lalu menyesaki ruas jalan protokol ibu kota.

Ribuan massa berupa "lautan putih" seperti mengepung Balai Kota di mana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkantor. Tuntutan demo yang berlangsung tertib itu jelas; seret Ahok yang juga calon gubernur petahana ini ke muka hukum atas penistaan yang dilakukannya terhadap kitab suci!

Tetapi, apa yang dilakukan Presiden Jokowi saat demo besar yang mengharu-biru jalanan protokol Ibu Kota dan berlangsung epic itu? Pada saat yang hampir bersamaan Presiden Jokowi melantik Ignatius Jonan selaku Menteri ESDM menggantikan jabatan yang ditinggalkan Arcandra Tahar. Sementara Arcandra dilantik satu paket selaku wakil menteri ESDM.

Jonan adalah seorang Kristiani dan keturunan, kira-kira sama seperti Ahok, sedangkan Arcandra adalah Muslim yang disebut-sebut khatam Al Quran. Bagi Jokowi, sebagaimana pesan politik yang disampaikannya; urusan SARA sudah selesai dalam lingkup tata negara yang dinaungi konsitusi. Tidak ada urusan pengangkatan Jonan yang Kristen dan keturunan dengan tuntutan demo besar berbagai ormas keagamaan yang terjadi hanya sepelemparan batu dari Istana itu dengan tuntutan yang jelas; haram hukumnya memilih pemimpin kafir!

[irp]

Di luar  apresiasi harus diberikan kepada pendemo yang meski jumlahnya ribuan dan bahkan puluhan ribu orang namun berjalan tertib itu, dari balik Istana Presiden Jokowi menyampaikan pesan politik yang juga tidak kalah jelasnya. Kedua peristiwa itu berlangsung aman, lancar dan tertib, baik yang terjadi di Istana maupun di luar Istana.

Pada akhirnya politik "memecah ombak" yang dilancarkan Jokowi ini membuat konsentrasi dan perhatian media menjadi terbelah atas pengumuman yang terkesan mendadak soal pengangkatan Jonan sebagai Menteri ESDM menggantikan Arcandra. Konon, pemberitahuan dan undangan pelantikan itu dilakukan dua jam sebelum pelantikan terjadi. Mendadak dangdut.

Dari sisi nilai berita, kedua peristiwa itu sama-sama penting. Tetapi gara-gara politik pecah ombak ini media punya naluri dan penciumannya sendiri. Demo besar bisa kapan saja terjadi, tetapi penunjukkan seseorang menjadi menteri, jarang terjadi. Media harus memilah dan memilih. Wajar kalau ada keluhan sebagaimana tercermin dari curhat pengguna media sosial, demo besar itu sepi dari pemberitaan media arus utama.

Di balik itu orang belum menyadari, ada "serangan balasan" yang kasat mata dari balik Istana dengan pengangkatan Jonan tersebut.

Natuna yang jadi olok-olok

Keberadaan Jokowi di Kepulauan Natuna, yang foto mejengnya di atas kapal perang menjadi viral di media sosial, juga merupakan komunikasi politik yang jelas-jelas ditujukan kepada Tiongkok maupun kepada rakyat Indonesia sendiri, rakyat Indonesia yang optimistis dan lumayan tebal keyakinan demokrasinya.

Tetapi bagi yang kecewa terhadap Jokowi untuk tidak mengatakan benci, foto mejeng di atas kapal perang itu cuma melahirkan olok-olok belaka. "China mau lu lawan pake kapal perang rombengan!" begitu kira-kira.

Pesan politiknya begini; kepada Tiongkok Jokowi ingin mengatakan, Natuna adalah milik NKRI. Jadi jangan main-main dengan Laut Selatan meski secara ekonomi, pemerintahan Jokowi sebenarnya berpaling ke Tiongkok dengan berbagai kerjasama, bahkan skema utang segala. Sementara kepada rakyatnya sendiri Jokowi mengatakan, "sekerempeng-kerempengnya" seorang Jokowi, toh ia adalah Presiden RI hasil Pilpres yang menunjukkan sikapnya di atas kapal perang itu.

[irp]

Blusukannya Jokowi ke berbagai tempat dalam sepekan ini saja, misalnya hari Jumat masih ada di Jakarta, Sabtu keesokan harinya berada di Kalimantan, hari Minggu kembali ke Solo, kemudian langsung terbang ke Papua dan Papua Barat, dan pada Rabu ada di Ambon, juga memberi sinyal kuat bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta.

Pepatah mengatakan, hanya kerbau saja yang betah berlama-lama berendam di kubangan yang sama seharian, meski kubangan itu berupa Istana. Bagi Jokowi, Sabang sampai Merauke, dari Sangihe sampai Pula Rote, bukan semata-mata "nyanyian sunyi", tetapi bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Juga kehadiran Jokowi saat Aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap tangan pejabat Kementerian Perhubungan karena melakukan pungutan liar dalam perizinan pada Selasa 11  Oktober 2016, tak lepas dari olok-olok itu. Masak iya Presiden ngurusin pungli kelas teri, begitulah kira-kira olok-oloknya. Tetapi komunikasi politik yang disampaikan Jokowi jelas; pungli harus diberantas dari hal-hal kecil semacam teri itu!

Jangan salah juga, bagi kaum skeptis dan pesimistis, semua yang dilakukan Jokowi itu tidak lebih dari pencitraan, pencitraan dan pencitraan. Titik.

Pesan berupa gesture, gerak-gerik tubuh atau pernyataan verbal seorang Jokowi adalah multitafsir. Orang berhak menafsirkannya sendiri-sendiri. Jangan terlalu percaya omongan Nusron Wahid di televisi bahwa hanya Tuhan yang boleh menafsirkan Al Quran, manusia yang berpredikat ahli tafsir seperti Quraish Shihab, boleh kok menafsirkannya.

Jadi, suka-sukalah menafsirkan pesan Presiden Jokowi lewat komunikasi politik yang disampaikannya.

Jangan sensi!

***

[irp]