Antara Kiprah Nahdlatul Ulama dan Magnet Pilkada DKI

Rabu, 12 Oktober 2016 | 23:03 WIB
0
813
Antara Kiprah Nahdlatul Ulama dan Magnet Pilkada DKI

Salah satu organisasi paling pantas disebut mampu menjembatani perbedaan dan konflik horisontal adalah Nahdlatul Ulama. Tak terkecuali di tengah gonjang-ganjing Pilkada DKI Jakarta yang memang memiliki taraf kegaduhan setara Pilpres.

Organisasi yang acap disebut NU saja oleh masyarakat luas itu, bukan organisasi yang gemar kehebohan. Namun mereka kerap kali mampu menjadi penengah di tengah-tengah apa saja yang dihebohkan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan Indonesia sebagai negara dan Islam sebagai agama.

Ada banyak organisasi lain yang mengklaim sebagai organisasi Islam. Tapi tak sedikit yang diam-diam menjadikan pemberontak DI/TII sebagai referensi mereka. Dalam diam-diam itu juga, mereka bekerja bukan untuk menjaga Indonesia karena dinilai tidak lebih penting dari agama. Bahkan ada di antaranya yang ingin menggesernya dan menjadikannya sebagai negara Islam.

NU tidak begitu. Beragama bagi organisasi ini tak berarti Anda harus meremehkan peran agama. Keberadaan Anda sebagai pemeluk agama mayoritas tak serta merta bahwa Anda harus selalu jadi prioritas dan berada di tempat teratas dan mengangkangi pemeluk agama lainnya.

Itulah yang selalu dijaga organisasi tersebut.

Itu juga yang mereka wariskan pada penerus mereka, pada intelektual-intelektual muslim yang diarahkan untuk "think globally, act locally". Anda dapat mencari ilmu dan menganut pola pikir ala belahan dunia manapun berdasarkan tempat terjauh yang mampu Anda jangkau untuk mencari ilmu, namun jangan lupa bertingkah laku secara membumi.

Sepanjang yang saya simak,  itu menjadi titik tekan organisasi tersebut. Bahwa Islam datang bukan untuk merusak yang telah ada, melainkan memperbaiki. Dan, memperbaiki tak selalu menuntut untuk merusak yang ada.

Bijak. Itulah yang ditanamkan oleh para sesepuh NU dan diajarkan pada kalangan Nahdliyyin. Untuk bijak tentu saja tak hanya mengandalkan kecerdasan saja, tapi juga berhati-hati pada efek-efek atau dampak dari kecerdasan.

Apalagi memang terbukti, tak sedikit yang susah payah mencari ilmu, namun alih-alih menunjukkan ilmu itu selayaknya sinar, mereka justru mendatangkan kegelapan.

Bagaimana tidak, betapa banyak orang yang berburu ilmu hingga keluar negeri namun saat kembali, ia justru membuat banyak hal menjadi gelap. Kedatangan mereka tak membuat umat menjadi mampu berpikir terang benderang, melainkan digelapkan oleh kebencian, dendam, kemarahan, dan hawa untuk merusak.

[irp]

Sekali lagi, NU tidak begitu. Karena organisasi ini membuktikan lewat penerus mereka, dari mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga Kyai Mustafa Bisri (Gus Mus), Emha Ainun Najib (Cak Nun), dan sederet nama lainnya menjadi bukti "jihad" a la organisasi tersebut untuk menjadikan negeri ini selamat dari kegelapan.

Mereka tidak mengajarkan dendam atau kemarahan. Maka itu, kalangan yang bernafsu meluapkan jiwa kebinatangan berupa insting marah dan keinginan memangsa apa saja, kerap jengkel pada mereka. Tak heran jika kalangan ini sering kali menuduh para penerus NU dengan berbagai label-label menistakan.

Teranyar, Nusron Wahid, yang juga terkenal sebagai salah satu generasi muda NU pun, tak luput dari pelabelan tadi. Saat ia muncul dengan lantang melawan politisasi ayat suci Al Quran, justru dia dituding bekerja hanya untuk jabatan, popularitas, dan menggadaikan agama.

Yang dialami Nusron tentu bukan cerita baru. Toh kita yang pernah menyaksikan sepak terjang Gus Dur di eranya pun tak lepas dari berbagai tudingan miring dan dihujani fitnah. Alih-alih membakar ghirah pengikutnya untuk membalas para pemfitnahnya, Gus Dur memilih terus menularkan pemikiran-pemikirannya, dan sesekali dia mengenalkan lelucon-lelucon abadi yang menyindir kebebalan umat di negerinya.

Bagi Gus Dur, hidup itu bisa dibawa ke arah yang baik dengan pemikiran yang baik; tak hanya baik untuk diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri dan kalangan sendiri, melainkan juga baik ke orang lain dan kalangan lain. Tak heran jika sepeninggal beliau, anak-anak negeri ini yang berasal dari agama lain pun merasa sangat kehilangan.

Kontras dengan kalangan yang seagama dengannya. Bahkan ada yang menghinanya, "Matanya saja buta, bagaimana dia dapat melihat kebenaran?" Seperti itulah salah satu tokoh yang biasa bersorban dan gemar berteriak takeber pernah menghina beliau. Tokoh ini hanya dielu-elukan pengikutnya saja, dan dikutuk oleh banyak orang dari yan seagama hingga yang tak beragama.

[irp]

Sementara Gus Dur, dari alam kuburnya pun masih memancarkan wangi. Jangan bayangkan atau menyandingkan dengan eau de cologne atau parfum termahal yang Anda punya, yang bisa hilang lantaran dicuci. Nama Gus Dur wangi, lantaran ia di masa hidupnya berusaha menunjukkan Islam bukanlah agama perusak dan penghancur, melainkan berwajah damai dan teduh hingga menenangkan hingga ke yang berbeda agama. 

Apa korelasi dengan Pilkada DKI Jakarta? Bukankah pada 2017 nanti, daerah-daerah lain pun menghelat pesta demokrasi serupa?

Betul. Tapi entah hal baik atau hal buruk, sering kali berpengaruh sangat besar dari tempat paling jadi sorotan. Dari seluruh daerah, mau tak mau harus diakui Jakarta dan apa yang terjadi di sinilah yang paling jadi sorotan.

Apa saja yang terjadi di sini akan heboh hingga ke daerah. Terbukti, model rambut Andika Kangen Band saja bisa ditiru hingga ke desa terjauh dari Jakarta. Itu contoh barang, seperti apa efek dari semua yang ada di Jakarta, dapat merembet ke mana-mana, termasuk potongan rambut sekalipun.

Bayangkan jika para ulama di Jakarta dapat menunjukkan kedewasaan di tengah gonjang-ganjing yang terjadi di sini: dari kasus tudingan penistaan agama yang ditimpakan ke petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, hingga persoalan apa iya kepantasan seorang calon pemimpin cukup hanya berdasarkan seagama saja?

Bayangkan lagi jika para politisi yang bertarung di DKI, dapat menunjukkan langkah-langkah politik elegan. Tidak menunjukkan citra sekadar santun, namun diam-diam "menyiram bensin" di atas rumput yang memang mudah terbakar. Melainkan memperlihatkan pemikiran dan gagasan yang betul-betul dapat menjadi pendidikan politik bagi publik.

Kenapa? Karena selama ini terkesan banyak pihak merasa menang karena mampu mengecoh publik. Mereka tidak ditunjukkan bahwa kriteria gubernur, misalnya, harus memiliki kecakapan sesuai bidangnya, dari administrasi pemerintahan, piawai dalam urusan kebijakan publik, dan bersih dari mental korup.

Yang sering digadang-gadang justru seorang pemimpin harus beragama ini dan tak boleh beragama itu, yang membuat pikiran rakyat buntu seperti apa harusnya menetapkan pilihan.

[irp]

Di sinilah NU bekerja. Walaupun cara mereka bekerja tidaklah sporadis selayaknya para buzzer di dunia media sosial, atau sefrontal pemimpin-pemimpin ormas yang menggantungkan dapurnya pada jumlah pengikutnya. NU selama ini kerap bekerja lewat diskusi-diskusi dan pemanfaatan media, untuk mentransfer pemahaman-pemahaman yang mencerahkan.

Saya membayangkan, organisasi-organisasi lain yang membawa-bawa nama agama akan melakukan hal serupa. Agar tidak menjadikan Pilkada DKI berubah wajah selayaknya warung remang-remang yang hanya membuat rakyat kian berkunang-kunang, mabuk hingga memilih seasalnya saja.

Berikan petunjuk lurus, bahwa "petani" yang baik adalah yang lihai mengayunkan cangkul dan paham memilih bibit hingga merawatnya, agar kelak dapat melihat sawah menguning tanpa penyakit. Jangan ajarkan bahwa cangkul juga "bermanfaat" untuk mencangkul leher petani lainnya.

***