Ratna Sarumpaet menjadi nama istimewa di tengah keriuhan jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI. Ia tidak menggoda lewat kecantikan yang memang telah "disumbangkan" secara sempurna kepada Atiqah Hasiholan, putrinya. Ia hanya menggelitik perhatian banyak orang lewat semburan kritikannya yang terkadang pedas, meski kerap berujung kritikan balik dari sebagian kalangan.
Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbilang paling kenyang menelan kritikan dari aktivis berusia 67 tahun tersebut. Terutama yang berkaitan dengan kebijakan relokasi, yang diterjemahkan secara gamblang oleh Ratna sebagai penggusuran tidak berperikemanusiaan. Itu sering menjadi semacam rempah-rempah yang diolah menjadi sambel terpedas oleh Ratna dan kerap disodorkan ke Ahok.
Selayaknya sambal, meski pedas bagaimanapun, sejauh ini diterima Ahok seperti pelengkap menu saja. Ada kesan, itu justru menjadi penambah selera makan, bagi petahana tersebut. Sejauh ini Ahok terbilang berhasil menerjemahkan kritikan pedas Ratna sebagai amunisi untuknya untuk menyadari, bahwa memang ada yang belum sempurna dilakukannya.
Tapi di tengah publik, respons atas sikap Ratna --setidaknya yang berkembang di media sosial-- tak selalu disambut positif. Di antara dalih yang sempat mengemuka, lantaran terkadang kritikan Ratna terkesan menafikan arah sebuah kebijakan, sehingga tak jarang ia sering dilabeli sebagai aktivis yang "ngasal".
Ada memang, yang justru menyahuti reaksi Ratna atas berbagai kebijakan selayaknya cheerleaders yang berusaha keras menyemangati satu tim basket, misalnya, meski mereka tahu bagaimana kualitas tim tersebut. Di sinilah Ratna menemukan alasan bahwa "pekerjaan" yang dilakukannya sebagai kebutuhan masyarakat banyak.
Apalagi latar belakangnya sebagai figur yang akrab dengan dunia peran, dunia panggung, dan drama, sangat membantunya untuk memainkan peran disukainya di tengah ribut-ribut Pilkada DKI. Selayaknya drama, dia sama sekali tak mengharamkan dirinya untuk menjalani peran sebagai antagonis.
Selayaknya artis peran, kian sempurna peran antogonis dimainkannya, maka di sanalah dapat diukur kesuksesannya.
Ya, Ratna sukses dengan peran yang telah dimainkannya.
Katakanlah dia sedang tidak bermain drama, melainkan sepenuhnya sedang bekerja untuk kemanusiaan. Tapi itu pun masih memunculkan gugatan sebagian kalangan, "Manusia mana yang sedang dibelanya?" gugat salah satu pengguna facebook yang anti-Ratna.
Setiap kali gugatan itu muncul, tak selalu harus direspons oleh Ratna sendiri. Sebab di ranah internet, memang tak sedikit yang militan membelanya. "Ya, dia sedang membela manusia Jakarta yang dizalimi oleh Ahok!"
Begitu seterusnya. Terjadi pertarungan perspektif antara Ratna dengan pengikutnya, dengan Ahok dan masyarakat yang memahami arah kebijakannya. Di sanalah muncul riak-riak yang mampu menciptakan gelombang diskusi hingga caci maki di jagat internet.
Dan, di sanalah sejatinya Ratna sedang bekerja untuk membantu Ahok! Lho?
Ya, jika menyimak berita per berita yang berkaitan dengan Ratna, nyaris tak pernah sepi dengan sorotannya atas Ahok. Dengan itu, publik yang sebagian di antaranya yang belum ngeh dengan arah kebijakan Ahok pun, terlepas mungkin ada yang sempat terseret mencaci petahana itu, namun tak sedikit yang tergerak untuk mencari tahu. "Ini ke mana? Itu buat apa? Dan yang itu lagi ditujukan untuk apa?"
Di situlah Ratna memberikan "sumbangan" yang sangat sempurna untuk Ahok, sesempurna ketika ia menyumbang kecantikan kepada putrinya. Yang berbeda, jika ia memberi kepada anaknya lewat senyum seorang ibu, kepada Ahok memang sekilas terkesan seperti pemberian ibu tiri yang judes tapi tetap tak mengurangi arti dari pemberian itu sendiri.
Jangan bilang ini joke. Tapi jika terasa itu lebih mirip satire, baiklah saya coba angkat masa lalu Ratna.
Patut dicatat, dia adalah seorang aktivis yang sejak era Soeharto terkenal sebagai perempuan berani. Dalam kasus Marsinah, misalnya, dia tercatat sebagai aktor penting yang mengangkat kasus itu ke permukaan. Terlepas kasus itu masih abu-abu, tapi misinya membuat kasus itu mencuat terbilang sukses.
Kemudian, dia juga pernah tercatat di banyak media terlibat aktif dalam usaha melawan dan menurunkan Soeharto. Polda Metro Jaya dapat dipastikan masih memiliki catatan seputar penahanan Ratna kala itu. Ia dinilai perempuan heroik, tak terkecuali oleh kalangan luar Indonesia.
Salah satu bukti pengakuan atas pekerjaan Ratna, ia sempat diabadikan dalam salah satu film dokumenter bertajuk, "The Last Prisoner of Soeharto". Di film berdurasi sekitar 50 menit itulah, Ratna mendapatkan brand sebagai seorang pembela kemanusiaan.
Konon lagi, dia pernah tercatat sebagai satu dari dua perempuan, bersama Aung San Suu Kyi, yang diganjar penghargaan The Female Special Award for Human Rights" di Tokyo.
Kurang apa lagi coba? Begitulah kira-kira pertanyaannya.
Tentu saja, tak semua mengiyakan sepak terjangnya. Itu terlihat dari berbagai label yang juga sempat disematkan kepadanya, dan kali ini tentu saja bukan dari Tokyo seperti award diterima olehnya di masa lalu. Sebut saja, sebutan "Valak" yang mewakili tokoh mengerikan di salah satu film thriller. Juga, tak sedikit yang menyematkan sebutan "Mak Lampir" kepadanya.
Selayaknya award, label yang diberikan publik pun tentu saja memiliki alasan tersendiri. Setidaknya, Ratna sejauh ini memang telah menunjukkan sebuah keberanian yang langka, bahkan di tengah kehebohan Pilkada DKI, dia masih berani memainkan lakon sebagai antagonis.
Paling tidak, terlepas belum jelas arah pergerakannya kali ini lantaran di sekelilingnya pun terdapat tokoh yang pernah tersandung kasus korupsi yang mengayunkan langkah seirama dengannya, setidaknya ia berusaha memberikan hiburan tersendiri.
Soal apakah kemudian dia terlihat mengerikan bagi sebagian orang, jangan lupa bagaimana seorang pelakon menilai kesuksesannya sendiri, yakni saat ia berhasil meyakinkan bahwa perannya telah dimainkan dengan sempurna, termasuk saat harus berakting sebagai hantu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews