Kepergian ke Tanah Suci dan Bayangan Almarhumah Ibu

Sabtu, 1 Oktober 2016 | 04:30 WIB
0
487
Kepergian ke Tanah Suci dan Bayangan Almarhumah Ibu

Berserah diri. Rasanya itulah jalan terbaik. Ketika yayasan yang membimbing haji mengeluarkan secarik kertas fotokopian yang harus diisi sebagai surat wasiat kelak, aku sama sekali tidak berminat. Memang secarik kertas itu kuterima saja untuk memuaskan rasa ingin tahuku, selebihnya sungguh aku tak berminat mengisinya.

Bayangkan, dalam surat wasiat itu dirinci seluruh harta benda yang dipunyai seorang jamaah, lantas untuk siapa saja harta benda itu. Rumah untuk siapa, kendaraan untuk siapa, tanah untuk siapa, uang simpanan untuk siapa, dan seterusnya.

Mengapa aku tak berminat mengisi surat wasiat itu sebelum berangkat ke Tanah Suci?

Pertama, karena secara kebendaan, tidaklah kupunya harta duniawi sebanyak itu. Lantas, buat apa aku harus mengisinya? Kedua, anakku yang terlahir ke dunia hanya dua, Kakang dan Gadis…yah kalau ada apa-apanya dengan diriku dan istri yang juga ikut berhaji, kepada mereka berdualah harta benda duniawi yang tidak seberapa itu diwariskan.

Secara hukum Islam, anak laki-laki, si Kakang, mendapat 2/3-nya, anak perempuan, si Gadis, mendapat 1/3-nya. Kalau aku punya anak laki-laki lainnya yang terlahir ke dunia, misalnya, komposisinya akan lain. Sangat sederhana…jadi kupikir tidak haruslah mengisi formulir itu!

Kau mungkin ingin tahu perasaanku saat memandang formulir surat wasiat itu, kawan. Jujur, aku teringat akan mendiang Ibu yang tidak terlalu banyak meninggalkan harta benda duniawi saat ia berpulang, tetapi ibu memberi bekal ilmu yang cukup dan bermanfaat buatku serta adik-adikku, ya… bermanfaat sampai sekarang. Bayangan Ibu menyelinap dan serasa hadir di ruang batinku.

Kadang tidak habis pikir, bagaimana kedua orangtuaku yang guru sekolah dasar menyiasati hidup dan berhasil menyekolahkan tiga anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi!

Seingatku, dalam hal makanan aku tidaklah kekurangan gizi. Ibu bisa beternak dan memelihara ikan, Ayah bertani dan bahkan aku sempat diajak mencari kayu bakar di pinggiran hutan di kaki bukit. Hobiku sejak sekolah dasar memancing ikan di sungai dan ngurek atau ngobor (menangkap belut) di sawah.

Tetapi dalam pakaian, memang sangatlah minim… boleh dibilang sangat-sangat minim. Almarhumah Ibu tidak pernah memanjakanku dengan pakaian-pakaian mahal, apalagi bermerek, karena memang tidak akan mampu membelinya. Bekal jajanku, cukup untuk ongkos angkutan pedesaan dan jajan secukupnya.

Kadang saat masa kecil dulu, beruntunglah aku mendapat hari Lebaran (Idul Fitri), karena pada saat itulah aku berkemungkinan mendapat baju dan sepatu baru. Kawan, itulah hari-hari yang sangat kunanti, penantian setahun penuh yang menggelora di angan-angan seorang anak kecil seperti aku waktu itu.

Kadang saking jengkelnya sandalku karena tidak pernah diganti meski satu sudah putus talinya, maka kuputuskan saja tali lainnya agar sandal itu tidak bisa dipakai lagi sama sekali. Tetapi ketahuilah, tiba saatnya almarhumah berbelanja pakaian buat anak-anaknya jelang lebaran, pernah ia meminjam uang dari salah seorang pamanku (adik ipar ayahku) sekedar meneruskan tradisi setahun sebelumnya, mungkin juga karena puasaku selalu tamat.

Saat itu aku tidak pernah peduli dari mana Ibu memperoleh uang untuk baju lebaranku dan adik-adikku. Yang penting, lebaran bisa semarak dengan memakai baju dan sepatu baru!

Tahukah, kawan, kadang air mata menitik saat terkenang momen-momen ini!

Bersabar dululah, kau akan kuajak sejenak mengenang almarhumah Ibuku meskipun tidak penting buatmu. Ia meninggal dunia 20 Oktober 1999 setelah menanggung derita sakit luar biasa akibat kanker mulut rahim yang dideritanya. Kau ingat tanggal itu? Di Jakarta Gus Dur, terpilih sebagai Presiden ke-4 RI, mengalahkan Megawati dalam pemilihan one man one vote di Majelis.

 

Dua tahun sebelum meninggal, tercetuslah keinginan Ibu untuk pergi haji. Ongkos naik haji saat itu sekitar tujuh juta rupiahan dan dua tahun kemudian, saat Ibu dijemput malaikat, dana yang sudah berhasil terkumpul di tanganku sekitar lima juta rupiahan. Tetapi, Ibu telanjur dipanggil Allah!

 

Kalau kau melihatku meneteskan air mata saat beranjak dari kediamanku menuju penampungan sementara Asrama Haji Pondok Gede, bukan berarti aku seorang lelaki cengeng. Itu karena aku teringat mendiang Ibu!

Bagaimana mungkin saat itu perasaanku sedemikian dekat dengan almarhumah, seakan-akan ia berada di antara pengantar dan melambaikan tangan kepadaku. Ya Allah, mestinya beliau ikut bersamaku bertandang ke rumah-Mu di Baitullah!

Kawan, kau mungkin bisa bayangkan bagaimana air mata ini tertumpah saat pertama kali aku melihat Kabah dan secara bersamaan bayangan almarhumah Ibu menyelinap dalam alam pikiranku!

Kepergianku ke Tanah Suci tidaklah menghebohkan seisi kompleks perumahan tempat mukimku. Biasa saja. Tak pernah terbayangkan aku harus diantar berbelas atau berpuluh-puluh mobil sekedar menuju asrama haji saja.

Untuk mengantarkan diriku dan istri ke asrama haji, aku menyewa mobil tetangga, plus satu mobil kakak iparku yang mengangkut mertuaku dan anakku. Di dalam mobil tetangga yang kusewa, hanya ada empat tetangga saja yang ikut.

Kau mungkin berpikir apakah aku tidak pernah bersosialisasi alias bertetangga sehingga tetanggaku yang mengantar sangatlah minim? Itu keliru, kawan, tetangga yang bertandang dan berdatangan ke rumah mengucapkan selamat amat banyak, meski aku tak pernah memberi tahu mereka.

Sedangkan untuk mengantar ke asrama haji, prinsipnya aku tak mau merepotkan mereka. Maka, kepergianku ke Tanah Suci ini terasa ringan, setidak-tidaknya saat menempuh jarak rumah-Cibubur-asrama haji. Entah nanti saat aku beranjak dari Asrama Haji Pondok Gede menuju terminal tiga (khusus haji) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang akan kuceritakan dalam kesempatan berikutnya…

(Bersambung)

***

Catatan perjalanan sebelumnya:

Bermula dari Niat, Datanglah Perjalanan ke Tanah Suci Itu