Bermula dari Niat, Datanglah Perjalanan Ke Tanah Suci Itu

Kamis, 29 September 2016 | 06:02 WIB
0
556
Bermula dari Niat, Datanglah Perjalanan Ke Tanah Suci Itu

Perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa. Ini sebuah perjalanan spiritual yang telah dirancang jauh-jauh hari, bahkan mungkin semenjak aku mengenal Islam. Empat puluh tahun silam, saat pertama-tama Pak Naib, ustad di kampungku mengajari tatacara salat, hapalan doa-doa, dan juga senandung pujian terhadap Nabi (Muhammad SAW) yang disebut nadoman, perjalanan ini sudah dirancang.

Saat usiaku masih di bawah enam tahun, agama yang dianut orangtua dan diturunkan kepadaku mewajibkanku mempercayai Rukun Islam. Pak Naib, ustadku itu, mematangkan pengertian itu di madrasah, masih di kampung halamanku tentunya.

Kawan, tahukah engkau apa itu Rukun Islam yang diajarkan ustadku?

Bagi Muslim, tentu lima kewajiban ini bukan sekadar hapalan semata, tetapi sudah seharusnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan rukun pertama, yakni syahadat, merupakan ikrar seorang muslimin dan muslimat sedunia.

Bagi yang non-Muslim, baiklah kusebutkan lagi, bahwa lima Rukun Islam itu adalah; syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Kawan, haji merupakan kewajiban bagi setiap muslim dengan tambahan apabila mampu melakukannya. Bukankah tidak setiap Muslim mampu melakukannya karena pergi haji ke Tanah Suci memerlukan biaya tidak sedikit, apalagi ongkos naik haji yang ditetapkan pemerintah dari tahun ke tahun selalu naik?

Benar, agama yang kupeluk (dan tak pernah kulepas lagi, mengutip bait syair sebuah lagu), tidak pernah memberatkan pemeluknya, siapapun dia, dari belahan manapun dia berasal. Aku, kau, dan kita semua dilahirkan dengan takdir yang berbeda-beda, itupun kalau engkau percaya akan takdir, kawan! Kau akan menemukan soal percaya takdir ini dalam Rukun Iman yang kelak akan kusinggung barang selintas dalam perjalanan tulisan ini ke depan.

Zakat, yang berarti mengeluarkan sebagian hartamu bagi kepentingan sesama yang tidak berpunya, apalagi pergi haji, bukanlah kewajiban bagi muslim yang kebetulan tidak berpunya. Bagi yang mampu melakukannya, itu soal lain. Itu kewajiban.

Kawan, jangan pernah berpikir kalau Muslim yang tidak mampu secara materi untuk mengeluarkan zakat dan tidak mampu naik haji maka nerakalah bagiannya. Tidak. Aku meyakini, urusan surga-neraka adalah rahasia Ilahi, hak penuh dan hak prerogative Allah. Muslim yang berzakat dan berhaji karena kemampuannya, boleh berharap masuk surga dengan mengukur dan menakar dirinya lewat amalan serta perbuatannya sehari-hari.

Apakah pintu surga tertutup bagi Muslim yang tidak berzakat atau tidak berhaji? Ya, bagi yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, demikianlah pembimbing hajiku suatu waktu berkata. Tetapi bagi Muslim yang tidak mampu melaksanakannya karena benar-benar tidak berpunya, setahuku Allah tidak pernah mengancam akan menutup pintu surga itu rapat-rapat. Allah, sebagaimana tercermin dalam Rukun Islam, tidak pernah memberatkan, bahkan itu dalam urusan naik haji!

Tidak semua Muslim ditakdirkan mampu berzakat dan berhaji. Tetapi bagi yang sudah mampu atau merasa mampu, maka kau harus melaksanakan kewajiban itu, kawan!

Lantas apakah kepergianku ke Tanah Suci karena takut ancaman masuk neraka? Tidak demikian persisnya, ini semata-mata kontrak spiritualku dengan agama yang kupeluk, agama yang kuyakini, Islam. Kontrak itu, ya Rukun Islam itu tadi.

Maka ketika empat Rukun Islam pertama sudah berhasil kujalani, sejak enam tahun lalu saat usiaku memasuki hitungan 40, perjalanan spiritual ke Tanah Suci ini sudah kurancang. Dimulai dengan niat, selebihnya adalah tekad merealisasikannya dengan cara menabung sedikit demi sedikit.

Setelah tabungan haji mencukupi barang setengahnya, kupilih kelompok bimbingan haji yang mengajariku “alifbata” tatacara berhaji dari “alif” sampai “ya” sebelum benar-benar barangkat ke Tanah Suci. Mulai teori berbalut sunah dan hal-hal yang biasa Nabi lakukan saat berhaji, sampai hal-hal praktis ritual haji seperti tawaf mengelilingi kabah, sa’i berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwah, sampai lempar jumrah.

Ibarat seorang anak baru belajar berjalan, demikianlah para pembimbing mengajariku mulai berdiri sampai berjalan agar tidak jatuh. Semua praktik berhaji dilakukan di Asrama Haji Pondok Gede. Cobalah sekali-kali datang ke Asrama Haji itu, di sana kau akan temukan replika kabah dan Bukit Safa-Marwah.

Bagiku, ini perjalanan yang tidak murah. Kau harus mengeluarkan dana sedikitnya Rp 60 juta perorang. Kawan, dengan mudah kau bisa menghitung sendiri apabila perjalanan itu dilakukan bersama istri, anak, atau orangtua! Toh berbekal niat dan tekad, tabungan haji yang disetorkan kepada salah satu bank itu akhirnya mencukupi juga. Maka, dimulailah perjalanan spiritual ke Tanah Suci ini….

 

Ini bukanlah catatan perjalanan yang lengkap sebagaimana Michael Wolfe menuliskan perjalanan hajinya secara memukau, dimulai dari Tanah Afrika ke Tanah Arab dalam bukunya Haji, Kesaksian Seorang Mualaf. Tidak seperti Wolfe yang melintasi jarak dan waktu yang menghubungkan dua benua itu lewat darat. Perjalananku ke Tanah Suci sungguh sebuah perjalanan yang nyaman.

 

Aku menggunakan pesawat Garuda carteran dari Spanyol. Pesawat superjumbo Boeing yang luas dan berpenyejuk ruangan. Bagiku, pesawat jumbo seperti ini bukanlah hal aneh karena banyaknya kesempatan tugas ke luar negeri telah mengajariku tentang pesawat besar ini. Tetapi tidak bagi jamaah lainnya yang baru pertama kali masuk ke dalam kabin pesawat. Kau bisa bayangkan betapa tegangnya mereka saat pertama kali memasuki kabin pesawat!

Ini bukan pula perjalanan yang bertendensi memaparkan ayat atau sejumlah ayat dari kitab suci (Al Quran) serta hadits. Terlalu berat, Kawan, kurasa aku takkan mampu melakukannya. Akan tetapi, kau akan menjumpai catatan perjalanan hajiku ini sebagai hal sepele dan remeh temeh, yang bahkan mungkin tidak ada kaitannya dengan ritual haji itu sendiri.

Percayalah, begitu banyak kujumpai hal-hal menarik selama perjalanan haji ini, yang sempat kuabadikan lewat kamera saku dan ponsel kamera yang selalu kubawa-bawa ke manapun aku melangkah. Di sana, di Mekkah dan Madinah, kau akan menjumpai beratus-ratus bangsa, beribu-ribu suku bangsa dunia dengan bahasa masing-masing, beratus-ratus karakter (meski sama-sama muslim) yang berkumpul menjadi satu dan menuju satu pusaran dan satu titik: Kabah!

Ada berjenis-jenis hewan dan tumbuhan, yang hidup di kedua tanah haram itu. Ada makanan dan minuman yang tidak luput kuceritakan kelak. Ada gaya bertingkah dan berbusana. Semua menarik minatku, yang kemudian berhasil kuabadikan dalam ingatan. Yang tidak berhasil kuabadikan dalam bentuk foto tetapi momen atau peristiwa itu cukup mempesonaku, kucatat juga sebagai sebuah bahan tulisan.

Selesai membaca bagian pertama tulisan ini, maka akan kuajak kau berkelana melihat Tanah Arab dari sisi lain, tidak lain dari sisi subyektif pengamatan selintasku. Tidak suka dengan catatanku ini, kau boleh lewati saja, Kawan, aku tidak dalam posisi memaksamu membaca catatan ini. Kalau kau tertarik, aku takkan lelah bercerita tanpa memandang apa suku atau agamamu. Cerita ini hanya untukmu.

Maka, bersiap-siaplah mengikuti kisah perjalanan spiritualku ini sebelum kantuk dan lelah menyerangmu…

(Bersambung)

***