"Threesome" Pilkada DKI

Rabu, 28 September 2016 | 19:30 WIB
0
541

Istilah Threesome bagi mereka yang santun terasa menjijikkan, mungkin. Pasalnya itu merujuk pada sebuah aktivitas yang berhubungan dengan seks, namun tak hanya melibatkan dua orang, melainkan tiga. Tapi, tunggu dulu, saya menyarankan untuk tak berpikir buruk atau merasa jijik terlalu cepat. Terlebih cerita threesome ini sama sekali tak berhubungan dengan ranjang, melainkan soal Pemilihan Gubernur yang begitu merangsang.

Ya, Pilgub DKI itu memang terlihat sangat merangsang. Buktinya di belakang nama-nama yang muncul sebagai kontestan, konon terdapat sangat banyak orang yang menyimpan berahi tersendiri. Jadi, maafkan saya, jika karena tiga pasang kandidat yang muncul itu justru saya samakan dengan threesome. Apalagi, jika dihitung dengan calon wakil gubernur, praktis bukan tiga orang melainkan enam orang yang berlaga.

Tapi saya memilih ngotot menyebutnya threesome, lantaran sejatinya yang paling diperebutkan adalah kursi gubernur. Bukan kursi wakil gubernur. Jadi, jika bersedia sedikit kasar menafikan calon wakil, maka sah jika istilah threesome saya labeli pada para petarung itu.

Kenapa cerita Pilgub DKI kok dikait-kaitkan dengan hal-hal berbau ranjang?

Ah, jangan antipati dengan ranjang. Apalagi di sanalah banyak orang dapat melepaskan segala penat dan beban, hingga melepas keringat, bukan? Terlebih memang dalam perjalanan Pilgub ini memang ada cerita kepuasan yang ingin dikejar, entah oleh para calon hingga penyokong mereka yang ada di belakang.

Kita sebut saja kekuatan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, yang katanya ada di belakang Anies Baswedan sebagai calon gubernur, sebagai pelaku threesome pertama. Mereka itu tak hanya sekadar ingin dipuaskan oleh adegan yang dipertontonkan calonnya pada Pilgub awal tahun depan nanti. Tapi, mereka pun ingin klimaks tanpa perlu "bekerja" sendiri.

Bukan cerita asing jika di tengah dua partai itu ada kejengkelan yang masih tersimpan sejak sujud syukur mereka lantaran laporan TV One mengabarkan merekalah pemenang di Pemilihan Presiden 2014 lalu, hingga detik ini. Bagaimana tidak jengkel, setelah menempuh segala cara termasuk menebar para pemberani yang memang berani menghadapi dosa melakukan fitnah, tapi tetap saja mereka gagal.

Belum lagi karena memang ada penyesalan kuat, lantaran di Pilgub sebelumnya, Gerindra yang menjagokan Basuki Tjahaja Purnama, tapi sosok ini justru berani-beraninya menentang mereka. Penyesalan inilah yang teranyar membuat Fadli Zon pun tergerak membuat puisi yang disambut dengan tawa kalangan dekatnya saat itu, karena puisinya memang sangat pantas ditertawakan.

Sedangkan di pihak lain, ada lagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memang sejatinya tidak lagi bertenaga cukup jika sudah berbicara urusan bergulat dengan hal-hal yang menguras tenaga. Jadi, karena ia memang memiliki putra yang masih muda, berpendidikan sama baik antara di militer dengan di sipil, maka disodorkanlah nama sang putra ini untuk bergulat di Pilgub.

SBY tampaknya tidak terlalu merisaukan putranya harus menerima untuk "keluar prematur" di dunia militer, lantaran saat ini perang sesungguhnya justru lebih banyak terjadi di kalangan sipil alih-alih di militer. Mantan presiden itu yakin, di dunia sipil, figur yang diutusnya untuk bertarung di kancah threesome DKI kali ini akan mampu bertahan lama dan mampu menaklukkan pesaingnya.

Bagaimana tidak yakin, selain masih muda dan tampan, ia juga memang cukup menjadi magnet terutama bagi kalangan hawa. Kenapa kaum hawa? Terlepas para perempuan sudah moderen dan terpelajar, tapi jika sudah berhadapan dengan yang muda dan tampan, tak semua mereka akan mampu menutup mata. Katakanlah dari 10 perempuan, hanya tiga di antaranya yang "tergiur", dan tiga dimaksud itu mewakili tiga juta orang, tentu saja menjadi sumbangan angka sangat penting.

Maklum, konon angka pemilih mencapai enam jutaan orang, hampir tujuh juta, maka angka tiga juta itu bukan kecil. Apalagi jika satu juta saja dari kalangan pria yang bersedia memilih jagoan mantan presiden tersebut, tentu saja calon lain harus segera turun ranjang dan lekas-lekas mandi dan tidur pulas. Tapi lagi-lagi ini estimasi saya pribadi yang sejujurnya berbau cocokologi. 

Sementara petahana atau incumbent, yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi kandidat paling tak mudah dibaca. Lawan-lawan politiknya pun saya yakini takkan gampang membaca peta kekuatan petarung yang satu ini. Itu teraba sejak dia melempar rencana maju lewat independen hingga kemudian justru melaju lewat partai politik, di sini saja sudah menunjukkan bahwa lawan-lawannya bukanlah pembaca yang baik.

Apalagi fakta yang melingkari calon yang mencicipi kursi eksekutif Jakarta berawal dari wakil ini, dapat dipastikan sebagai calon paling banyak musuh, juga paling banyak menjadi sasaran fitnah. Serangan-serangan lewat ranah hukum sampai dengan yang terpampang di dunia jejaring sosial sangat memperlihatkan hal itu. Bahwa para pembencinya sangat banyak dan musuhnya tak sedikit.

Apakah mereka yang memiliki lebih banyak musuh lantas akan lebih mudah ditaklukkan? Apakah yang paling banyak menjadi sasaran fitnah akan lebih gampang dibuat patah? Saya takkan berteori menjawab itu. Tapi sepengalaman saya di masa kecil, saat memaksa nekat mengincar mangga tetangga, terlihat bahwa mereka yang paling diburu oleh anjing tetangga itu justru mendapatkan tenaga luar biasa untuk berlari!* (Twitter: @zoelfick)

***