Cara Partai Demokrat Redam Kecurigaan terhadap PPP, PKB, dan PAN

Selasa, 27 September 2016 | 07:58 WIB
0
522
Cara Partai Demokrat Redam Kecurigaan terhadap PPP, PKB, dan PAN

Apa yang menautkan ikatan batin selain kepentingan politik praktis Partai Demokrat dengan Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional? Tidak ada yang tahu, kecuali Susilo Bambang Yudhoyono selaku ketua umum partai.

Dalam konteks Pilpres 2014, ikatan batin antara PD dengan ketiga “partai hijau” bernafas Islam itu boleh dibilang tidak ada. Dari sisi ideologis, Demokrat mengusung nasionalisme, sementara PPP, PKB, PAN lekat dan warna agamanya, dalam hal ini Islam. Di saat partai riuh-rendah berlabuh di dua dermaga besar Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), PD memilih “mengambang”.

Posisi “mengambang” adalah sikap yang bukan hanya ragu, tetapi menunjukkan luar biasa gamang dan galau menentukan pilihan. Bayangkan, memilih KIH atau KMP saja tidak mampu. Tetapi jangan salah, inilah barangkali sikap dan strategi politik yang diambil PD sebagai “partai mengambang”.

Untuk itulah sebagian publik republik ini bertanya-tanya, bagaimana mungkin dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 PD bisa berkawan dengan tiga “partai hijau” yang secara nota bene adalah pendukung pemerintah yang berkuasa, yang dulu bernama KIH?

Sekali lagi thesis “politik adalah seni segala kemungkinan” atau “tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi” menemukan kebenarannya.

 

Dalam politik pertemanan gampang terjalin sesuai kebutuhan sesaat, tetapi demikian mudah pertemanan ditelikung dari dalam untuk kepentingan yang lebih besar. Sebagaimana dalam militer, strategi intelijen kerap digunakan dalam dunia politik.

 

Dengan perolehan 10 kursi DPRD pada Pileg 2014 lalu, PD sebenarnya masuk golongan “partai tengah” dibanding PKB (6) dan PAN (2). Perolehan kursi PD sama dengan PPP. Tetapi dalam hiruk pikuk pemilihan bakal pasangan calon yang berlangsung di Cikeas, jelas terlihat siapa yang paling dominan dan menentukan di antara empat partai politik itu.

PD yang selama ini gamang dan mengambil sikap mengambang tampil mendominasi gelanggang. Pemilihan Cikeas sebagai markas saja sudah menunjukkan dominasi itu. Lantas, keputusan penting apa yang dihasilkan, tiga “partai hijau” itu seperti mengikuti irama tarian Susilo Bambang Yudhoyono sebagai boss PD.

Kita tahu bersama, keputusan penting yang dihasilkannya adalah melahirkan “pengantin baru” Cikeas, yakni pasangan Agus Harimurti dan Sylviana Murni. Apakah pasangan itu mewakili partai politik? Tidak sama sekali!

Agus yang putera sulung SBY adalah militer aktif berpangkat Mayor. Pasangannya, Sylviana, adalah birokrat di Pemprov DKI Jakarta, yang berarti anak buah Basuki Tjahaja Purnama yang maju sebagai calon petahana bersama Djarot Saiful Hidayat.

Di mana peran PPP yang sama-sama punya 10 kursi? Nyaris tidak ada. Padahal, kader PPP juga tidak kurang banyaknya. Abraham Lunggana alias Haji Lulung adalah salah satu contonya. Peran PKB dan PAN sebagai “gurem” apalagi, cukup ngikut sajalah. Bahkan Edhie Baskoro alias Ibas sendiri selaku kader partai, pemangku jabatan sekjen partai, yang tidak lain adik Agus sendiri, tidak SBY lirik.

Jelas ini strategi SBY di kancah politik lokal. Jangan lupa, SBY adalah strategist  ulang di mana di dua kali Pilpres, 2004 dan 2009, dengan partai debutannya SBY berhasil menumbangkan Megawati Soekarnoputri yang sudah lebih berpengalaman dalam mengelola partai.

Namun dengan adanya tiga “partai hijau” PPP, PKB, PAN yang merupakan bagian dari pemerintah, bisakah PD tetap menaruh percaya saat mengusung Agus-Sylviana?

Sudah menjadi rahasia umum, pemerintah yang berkuasa saat ini adalah PDIP dengan anggota koalisinya seperti PKB, Nasdem, dan Hanura, yang tidak lama kemudian bergabunglah sempalan KMP seperti Golkar, PPP, dan PAN. KMP praktis tinggal koalisi dua partai alias Koduapa, yakni Gerindra dan PKS, tercermin dari pasangan yang didukungnya, yaitu Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Bagaimana PD? Ya itu tadi, takdirnya memang harus terus “mengambang”, bahkan sampai polarisasi KIH dan KMP terbentuk pun PD masih tetap “mengambang”.

Sampai pada Pilkada DKI Jakarta inilah PD kemudian menunjukkan sikapnya. Kalau cuma “mengambang” sendirian terbawa hanyut dan entah nyangkut di mana, dengan 10 kursi saja tidak cukup mengusung pasangan calon. Kini PD punya determinasi menentukan calonnya dengan dukungan PPP, PKB, dan PAN.

Kalau percaya atas kata-kata SBY sendiri bahwa “Pilkada rasa Pilpres” sedang terjadi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta, rasanya SBY harus ekstra hati-hati atas ucapannya itu. Kenapa?

Jika konteksnya “Pilkada rasa Pilpres”, jelaslah bahwa tiga “partai hijau” yang jadi penyokong Agus-Sylviana itu adalah bagian dari pemerintah yang berkuasa, bagian dari koalisi yang dulu bernama KIH yang dimotori PDIP. Sementara, meski tidak mendukung secara terang-terangan salah satu calon, publik yang awam politik saja tahu kemana arah dukungan pemerintah itu diberikan!

Teori konspirasi pengamat politik jalanan dengan lantang mengatakan, tiga “partai hijau”, yaitu PPP, PKB dan PAN itu sengaja dipasang pemerintah untuk menggembosi dari dalam pasangan “pengantin baru” dari Cikeas itu.

Jika Agus-Sylviana terpental di putaran pertama, sudah pasti PPP, PKB, dan PAN akan menunjukkan sikap aslinya, yaitu mendukung pemerintah yang berkuasa. Tidak mungkin mendukung pasangan Anies-Sandiaga di putaran kedua Pilkada.

Untuk kepentingan Pilkada 15 Februari 2017, sudah seharusnya PD lebih proaktif untuk berakrab-akrab lagi dengan tiga partai pendukung pemerintah saat ini, PPP, PKB, PAN. Jangan hanya jadikan Cikeas markas pusat, tetapi sesekali ajaklah pasangan “pengantin baru” Agus-Sylviana ke markas PPP di Jalan Diponegoro, PAN di Jalan Senopati, dan markas PKB di Jalan Raden Saleh.

Lho kok ke kantor Dewan Pimpinan Pusat partai, bukankah ini Pilkada sehingga harusnya ke kantor Dewan Pimpinan Wilayah?

Tidak ada salahnya kok. Dari sisi pencitraan malah baik sehingga gaungnya  menjadi isu nasional. Pers suka dengan acara seremonial seperti ini. Lagi pula seperti apa kata SBY, ini “Pilkada rasa Pilpres”, bukan?

***