Menjadi Wartawan Tak Seharusnya Arogan, Mengapa?

Selasa, 13 September 2016 | 11:32 WIB
0
735
Menjadi Wartawan Tak Seharusnya Arogan, Mengapa?

Benarkah menjadi wartawan itu harus arogan?

Ada sementara anggapan bahwa agar orang menaruh hormat kepada wartawan, mereka harus arogan. Mereka harus dianggap sebagai warga dengan kelas tersendiri, warga yang serba tahu informasi, warga yang bisa kenal dekat dengan bupati, gubernur, kapolri, pangab, atau bahkan dengan presiden. Mereka warga yang bisa mendapat akses ke saluran birokrasi manapun, sehingga urusan bisa selesai dengan cepat. Mengurus apa saja, mulai mengurus kartu tanda penduduk, paspor, sampai surat izin mengemudi.

Tidak sedikit cerita wartawan yang kena tilang oleh polantas, langsung mengeluarkan kartu pers-nya dan menunjukkannya kepada si Polantas itu, "Saya wartawan, Pak, kita 'kan sama-sama tugas!" Anehnya, banyak Polantas yang ketar-ketir dan takut duluan saat diperlihatkan kartu pers.

Itu tadi, karena dalam pikiran si Polantas, barangkali wartawan itu punya akses ke pimpinannya sendiri, Kapolri. Bisa jadi dia akrab dengan Panglima TNI, bisa jadi dia meliput di Istana sehingga kenal dekat dengan Presiden RI. Padahal kalau Polantas yang menjalankan tugas dengan baik dan terbukti kalau wartawan melanggar lalu-lintas, tinggal bilang, "Emangnya siapa lu?" Bagusnya sih memang begitu. Tilang ya tilang saja!

Wartawan baik yang paham kalau dirinya telah melanggar, justru akan merasa risi mengaku wartawan saat kena tilang. Dia tambah risi lagi kalau harus mengeluarkan kartu persnya hanya untuk menakut-nakuti Polantas. Wartawan yang mengerti etiket, tentu tidak akan sembarang mengeluarkan kartu persnya. Kartu pers hanya digunakan untuk kepentingan yang terkait berita, misalnya menunjukkan kepada narasumber kalau yang bersangkutan memintanya.

Di medan perang, saat meliput konflik, kartu pers digunakan sebagai "penyelamat" dari ancaman kedua belah pihak yang berkonflik. Ringkasnya, kartu pers tidak digunakan secara semena-mena!

Soal arogan dan rendah hati, ini adalah sifat sekaligus sikap individual yang sebenarnya tidak terkait dengan profesi wartawan. Sifat ini adalah bawaan seseorang, tidak bisa dipukul rata. Arogan dan rendah hati bisa kena di profesi apapun, mulai dokter, guru, serdadu, sampai mahasiswa.

Saya ingin mengungkap sedikit pengalaman saya soal arogansi profesi ini, yang kebetulan menghinggapi diri wartawan. Tahun 1995 saya masih cub reporter. Anda tahu istilah cub reporter ini? Ini istilah bagi wartawan pemula yang harus punya sikap seperti anak singa (cub), yang lincah bergerak, loncat dan melompat ke sana ke mari tanpa harus disuruh-suruh. Saat itu, ada peristiwa penculikan di sebuah tempat.

Sebagai wartawan pemula, saya wajib meliput cerita kota (city story) di desk metropolitan, yang saat itu kepala desk-nya almarhum Bob Hutabarat. Saya diminta kepala desk untuk pergi ke tempat kejadian perkara. Di tahun 1995, handphone belum mewabah, sehingga perintah dari editor saya terima melalui pager yang searah. Tahunya perintah saja.

Ketika mendapat perintah itu, secara instingtif saya berusaha meminta telepon wartawan yang bertugas di wilayah tersebut kepada sekretariat redaksi. Bukan mau minta izin meliput karena itu wilayah "kekuasaan"-nya, tetapi sekedar bertanya rute tercepat ke arah lokasi tersebut. Setelah nomor telepon si wartawan di dapat, lewat telepon umum koin (masih adakah telepon umum sekarang?), saya berusaha menghubunginya. Tersambung.

Saya pun memperkenalkan diri sebagai wartawan baru di Harian Kompas dan saya cerita ada kejadian penculikan di wilayah di mana rekan wartawan yang saya telepon itu ditempatkan. Persis saat saya menjelaskan mengenai peristiwa tersebut, terdengar jawaban ketus dan pakai nada marah pula, "Ya elu liput aja sendiri, ngapain ngajak-ngajak gua!"

Klik, telepon ditutup...

Ya Allah! Inikah dunia wartawan? pikir saya waktu itu. Sedemikian enggankah yang bersangkutan menerima telepon bahkan itu dari juniornya sendiri? Bukan mengajak liputan bareng-bareng, apalagi memerintah. Justru sekadar bertanya rute tercepat ke tempat kejadian dan itu belum sempat terungkapkan, eh... sudah diputus dengan ucapan "Ya elu liput aja sendiri, ngapain ngajak-ngajak gua!"

Saya berprasangka baik saja. Mungkin saat itu yang bersangkutan sedang banyak pekerjaan atau baru bangun tidur siang, sehingga kepalanya masih pusing saat harus bangun dan menerima telepon saya.

Siapa dia? Tidak usahlah diungkap di sini, sebab sudah sejak lama dia bukan lagi wartawan Kompas, barangkali tidak lebih dari setahun seusai saya meneleponnya. Kalau saya mau mencapnya sebagai arogan, saya tentu tidak akan pukul rata bahwa rekan-rekan kerja saya khususnya dan rekan-rekan wartawan umumnya, semuanya arogan. Tidak seperti itu.

Saya mau cerita mengenai kebalikannya....

Ternyata tidak sedikit wartawan Kompas kolega saya yang baik dan rendah hati pula. Mau diajak diskusi, meski itu oleh cub reporter seperti saya. Banyak di antara mereka yang malah memberikan bimbingan dan pengetahuan. Percaya atau tidak, saya bahkan mendapat bimbingan menulis, pelajaran jurnalistik, dan bahasa Latin dari wartawan senior Kompas, AF Dwiyanta, di tahun 1990, saat saya masih bertugas sebagai pustakawan di Pusat Informasi Kompas (PIK).

Saat itu saya baru masuk lingkungan Kompas. AFD, demikian beliau sering dipanggil, adalah pengasuh "Pojok Kompas" yang sentilan-sentilannya bisa memerahkan muka yang disentil tetapi tidak kuasa melempar marah. Kerap AFD datang ke lantai 4 Gedung Kompas Gramedia dimana PIK berada untuk urusan buku. Kesempatan itu saya gunakan untuk memperkenalkan diri dan yang mengejutkan, AFD tahu kalau dia sudah membaca opini saya di Halaman 4 (Opini) edisi Rabu 20 Juni 1990 berjudul "Berharap dari KPAT Ke-8". Di situlah saya manfaatkan AFD sebagai guru saya untuk ketiga hal: menulis, meliput, dan bahasa Latin.

Jurnalistik bukan hal yang aneh buat saya, sebab di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran saya mendapat ilmu ini, juga saya pernah mempraktikkann sebagai jurnalis dan penulis semasa mahasiswa. Tentu lain kalau yang mengajari saya adalah wartawan senior Kompas seperti AFD, lebih berharga.

Dari AFD itulah saya mendapatkan modul-modul pelajaran yang sangat berharga, meski saya harus memfotokopinya. Mulai dari pelajaran menulis, meliput (jurnalistik) dan dasar-dasar bahasa Latin. Tidak lebih setahun kemudian, April 2001, AFD meninggal dunia, meninggalkan ilmu yang ternyata sangat bermanfaat buat saya.... sampai sekarang!

Pak AFD tidak mengajari saya kalau wartawan itu harus arogan! Dia mengajari saya yang bukan wartawan (saat itu) sebuah teladan -- sebagaimana yang ditunjukkannya -- bahwa wartawan yang berisi ilmu pengetahuan serta kebaikan itu justru tidak arogan... rendah hati dan mau berbagi. Terima kasih Pak AFD!

Harus diakui, menjadi wartawan itu, setidak-tidaknya yang saya rasakan, bisa mendapat akses luas, mulai dari Presiden sampai pemulung sampah. Saat bertugas saya pernah bertanya kepada Presiden, tetapi saya juga pernah bertanya kepada PSK di Bongkaran Tanahabang.

Bahkan secara kelakar bandingannya adalah saat saya kembali dari Seatle (AS) tahun 2000 lalu di mana menggunakan pesawat kelas bisnis, sampai di Cengkareng menggunakan taksi mampir ke kantor terlebih dahulu di Palmerah, dari Palmerah naik kereta api ke Sudimara, dan dari stasiun Sudimara naik ojek ke rumah!

Sebuah jenjang strata yang harus saya lalui dalam rentang waktu belasan jam saja. Ada lagi perbandingan yang sering saya alami. Siang hari makan siang di restoran eklusif di hotel bintang lima atas undangan, malam hari harus nangkring mengisi perut di warung kaki lima. Dan ini real, dunia yang sering saya alami. Kaki bisa berpijak di dunia dunia yang saling bertentangan frontal, ibarat langit bersih dan comberan butek!

Sekarang kalau wartawan arogan, saya bilang.... ke laut aja! Kenapa saya bilang begitu. Ya, tidak pada tempatnya saja warrtawan arogan karena kewartawanannya, karena profesinya yang dianggap "untouchable". Wartawan sekarang ini harus membekali secara berlebih dibanding profesi lainnya yang kelak menjadi pembacanya sendiri.

"Arogansi" wartawan harus ditunjukkan karena ia kaya fakta dan memiliki data-data akurat. "Arogansi" harus ditunjukkan lewat karya jurnalistik yang bukan saja memberi informasi, tetapi memberi pemahaman, duduk perkara peristiwa, dan menjelaskan berbagai kemungkinan ke depan dari sebuah fakta atau peristiwa!

Sekarang, pembaca atau pemirsa mestinya jauh lebih pintar lagi dari masa-masa sebelumnya, sebab akses terhadap informasi bisa dengan mudah mereka dapatkan dari internet, dari berbagai situs jejaring sosial. Mereka bahkan bisa lebih tahu lebih dahulu daripada wartawan itu sendiri. Mereka bahkan bisa menuliskannya sendiri sebagaimana Kompasianer Taiwan Okti Li menulis berita mengenai pelarangan mie instan produksi Indonesia di Taiwan. Pembaca tahu lebih dahulu dan menuliskannya lebih cepat dari wartawan itu sendiri.

Jadi apa yang harus dibikin arogan oleh wartawan? Tidak ada!

Bagi saya, wartawan sekarang harus lebih berisi dari sekedar berita selintas yang ditulisnya. Wartawan perlu menulis kedalaman sebuah peristiwa, membuka inside story cerita di balik berita, menginvestigasi jalannya peristiwa dan memberikan novelty (kebaruan) informasi bagi pembacanya.

Watawan harus memiliki narasumber yang kredibel, dekat dengan sumber yang dipercaya dan harus selalu berada di tengah-tengah pusaran peristiwa demi sebuah fakta. Tanpa upaya terus-menurus seperti ini (yang sesungguhnya membosankan), tidak pada tempatnya lagi wartawan bersikap arogan!

Sekali lagi kalau wartawan arogan.... ke laut aja!

***

Catatan: Tulisan saya ini pernah ditayangkan di Kompasiana dan ditayangulang di PepNews!