Peristiwa Malam Purnama (Anita 2)

Selasa, 13 September 2016 | 06:00 WIB
0
545

Cerber: Pepih Nugraha

Anita berdiri dan mendorong tubuh Raka biar menjauh. Raka yang bertubuh tegap bergeming, seakan-akan menempel di reremputan. Ia menyusul berdiri kemudian, mensejajari Anita yang mulai melangkah pergi menerabas cahaya rembulan. "Anita, maafkan aku!"

Seekor katak yang sedang mencari serangga melompat saat kaki telanjang Anita nyaris menginjaknya. Di atas pohon akasia sepasang burung hantu menerawang bulan, masih enggan untuk beranjak terbang, pun masih enggan bersuara. Anita menenteng sandal dan memilih berjalan dengan kaki telanjang. Setengah berlari Raka mengejarnya.

"Anita, dengar dulu!" Raka terus mengikutinya, mensejajarinya, dan pada satu titik ia harus berhenti karena Anita berhenti di samping pohon jati yang rimbun. Raka seperti terkena sihir. Ikut berhenti, tetapi tak kuasa memandang kekasihnya itu.

"Selain menyakitiku, kamu juga telah menghinaku, Raka!" sembur Anita sambil melayangkan tangan kanan ke pipi kiri Raka. Mendarat telak dan menerbitkan kekagetan luar biasa. Raka tertunduk. Sekali lagi, ia tidak berani menatap Anita yang sedang murka. "Kamu seharusnya sadar diri siapa kamu sebenarnya! Kamu tak pantas menolakku, paham!?"

"Tapi tidak seharusnya kita melakukan itu, Anita, belum saatnya," bisik Raka. "Itu artinya aku sayang kamu."

"Ah sudahlah...! Kamu jangan pernah cari aku lagi, ya!"

"Maafkan aku, Anita!"

Sejak peristiwa malam purnama itu, Raka tidak pernah lagi bertemu Anita. Lebih karena ia patuh pada Anita yang memintanya tidak menemui atau mencarinya lagi.

Kini malam purnama telah berganti lagi. Raka duduk mencangklong di atas sebuah batu datar di pinggir jalan setapak sembari melepas lelah setelah seharian bekerja. Sendiri saja. Suara alam mulai jelas terdengar ketika malam semakin tua.

Meski rumah Anita tidak terlalu berbilang jarak, tetap saja ia tak kuasa menemuinya. Ada rindu yang menekan dadanya, tetapi ia bersyukur tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak mengganggu kesucian kekasihnya. Itulah cara Raka memaknai cinta pertamanya pada Anita.

Dari kejauhan, terlihat cahaya samar seperti dari senter besar yang sinarnya berpendar dan bergoyang-goyang. Seiring dengan itu terdengar deru suara sepeda motor. Raka masih tetap duduk mencangklong di atas batu.

Naluri menuntunnya untuk segera berdiri seperti hendak menyambut kedatangan kendaraan roda dua yang tergolong mewah di kampungnya. Terlebih lagi, dia mencium aroma parfum yang biasa dipakai kekasihnya. Itu mungkin cuma ilusi. Kalau benar dia Anita, mengapa ia bisa malam-malam begini naik sepeda motor di tempat sesunyi ini, batin Raka.

Tatkala sepeda motor semakin mendekat, Raka bisa melihat seorang perempuan muda yang tubuh bagian depannya menempel erat di punggung pengendara sepeda motor itu. Dari kegelapan, Raka tak paham siapa pria di balik stang sepeda motor, tetapi ia paham betul siapa perempuan muda yang diboncengnya.

"Anita..!!" teriak Raka tak ragu saat sepeda motor itu tepat melewatinya. Meski tidak terlalu keras, suaranya cukup mengatasi bunyi mesin sepeda motor itu dan didengar pengendaranya.

Sejenak sepeda motor berhenti. Rupanya si pengendara paham suara itu ditujukan kepada perempuan yang berada di balik punggungnya. Maka lelaki itupun menghentikan sepeda motornya demi ingin memuaskan rasa ingin tahunya.

"Dia memanggilmu, bukan?" tanya lelaki itu dari balik stang sambil melirik perempuan yang diboncengnya. "Siapa dia?"

"Ah, mungkin dia orang gila, ayo jalan!" balas si perempuan sambil mendekap pinggang si pria.

Panggilan "Anita..." terdengar untuk yang kedua kalinya, tetapi sepeda motor semakin melesak dan hilang ditelan sebuah tikungan. Bulan purnama menggantung di ujung awan. Gemercik rintik hujan menerjang pesawahan. Sunyi.

Raka hidup dalam kenangan indah bersama Anita yang kini sudah tak dapat digapainya. Terlebih lagi, Anita tak pernah mati dalam ingatannya. Kadang ingin ia membunuh kenangan dari ingatan itu, namun selalu gagal dan gagal. Waktu terus berganti, tetapi kehidupan tak pernah berganti. Berjalan seperti biasa, bergulir apa adanya.

Kini Raka semakin sering menyadap aren seiring dengan bapaknya yang sakit-sakitan, terlebih lagi ia menenggelamkan diri dalam kesibukan dan tuntutan kehidupan. Ia pula yang membuat gula merah dari air nira yang dipanaskan. Gula merah biasa ia jual ke pasar, sedangkan air nira yang manis biasa ia dagangkan di pinggir jalan menggunakan tabung bambu yang panjang, nyaris sepanjang tinggi tubuhnya.

Setiap hari ia menyusuri jalan raya yang terlewati kendaraan menanggung dua tabung bambu di pundaknya. Kadang sengaja berhenti di sebuah pohon rindang. Selain sambil meniriskan keringatnya, ia bisa menawarkan air niranya kepada pengendara yang lewat. Hasil dari kerjanya tidak seberapa, tetapi cukup menopang kehidupannya. Kebiasan yang tidak pernah ditinggalkannya adalah memancing ikan liar di danau, mengail belut di sawah, dan mencari udang atau ikan lele di sungai.

Dalam kesadarannya, Anita memang tak tergantikan. Ada Sukaesih, perempuan sekampungnya yang juga menaruh perhatian padanya. Sukaesih berwajah manis. Tiga tahun lebih muda dari usia Raka, tetapi ia sudah menyatakan ketertarikannya kepadanya. Sering ia mengantar makanan saat Raka sedang menyadap air enau di kaki gunung. Tetapi, Raka sebatas mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikannya itu. Tidak lebih.

Esih, panggilan gadis sekampungnya itu, tidak pernah lelah memberi perhatian kepada pemuda bertubuh padat itu meski pada satu titik ia sadar akan posisinya sebagai perempuan. Posisi perempuan yang tidak bisa menawar. Penguasa kata "ya" atau "tidak" masih kaum pria seperti Raka. Kadang ia berontak dan ingin protes atas "nasib" perempuan di manapun yang seakan-akan telah digariskan langit itu. Tetapi naluri membimbingnya demikian.

"Aku tahu kenapa kamu tidak pernah membalas perhatianku padamu, Raka," kata Esih suatu petang, "Itu karena di hati dan pikiranmu hanya ada Anita, bukan?"

Raka menarik napas panjang dan tersenyum, "Terima kasih kamu sudah paham itu, Nyi Esih. Itulah deritaku selama ini."

"Bahkan saat Anita sudah dilamar amtenar kaya dari kota itu?"

Tiba-tiba saja tenggorokan Raka seperti tercekat selesai Esih menutup kata. Mulutnya terkatup beku. Pandangannya menerawang jauh, sedang bola matanya tiba-tiba berkaca-kaca seperti berselaput embun. "Ah.... benarkah apa katamu itu, Nyi?"

"Kapan aku berbohong?"

"Lelaki amtenar bersepeda motor itu maksudmu?"

"Bukan, itu kekasih Anita sebelumnya. Sekarang jauh lebih kaya," potongnya. "Ia amtenar bermobil!"

Sukaesih berdiri dan berlalu pergi.

(Bersambung)

***

[irp posts="447" name="Stasiun Penantian (Anita 1)"]