Dunia Cuma Selebar Daun Kelor

Sabtu, 10 September 2016 | 19:46 WIB
0
640
Dunia Cuma Selebar Daun Kelor

Serial Eneng & Aa: Pepih Nugraha

Pepatah lama mengatakan, dunia tak selebar daun kelor. Ya, itu pepatah lama yang Aa ingat benar sejak kanak-kanak, khususnya saat mulai beranjak dewasa. Orangtua dulu bilang kepada anak lakinya yang putus asmara, “Alaaaah.... dunia tak selebar daun kelor, Jang, cari lagi sana perempuan lain, masih banyak yang lebih cantik!”

Aa ingat betul pepatah kuno itu dan rupanya harus mengamininya terutama setelah dia mengalaminya sendiri. Bukan soal putus asmaranya, soal dunia tak selebar daun kelornya itu. Begini ceritanya...

Setelah perjumpaan pertamanya dengan orang yang dia panggil “Eneng” itu, Aa merasa dirinya bagai seorang Xi, si “Manusia Semak” seorang suku asli di gurun Kalahari, Afrika, dalam film “The Gods Must Be Crazy”. Aa pernah nonton film ini sambil tertawa campur getir di televisi milik tetangga kala ia masih taruna alias beranjak dewasa.

Bagi Aa, keberadaan iPhone6 berangka kuning keemasan itu adalah botol Coca-cola yang jatuh dari langit. Xi bingung ke mana botol minuman itu harus diletakkan, juga tidak tahu kepada siapa harus diberikan. Alhasil Xi berusaha mencari tempat tertinggi di dunia untuk melempar botol itu ke dasar jurang, ke tempat paling dasar di Bumi, berharap seseorang dapat menemukannya di dalam jurang sana.

Aa tidak mungkin meniru prilaku Xi, melempar alat komunikasi canggih itu ke dasar sumur terdalam misalnya. Tapi bukan berarti usaha pencarian tidak dilakukan.

Pernah ia minta pertimbangan pada beberapa teman kos-kosannya, tetapi tidak ada solusi tepat yang ditawarkan. Malah ada yang naksir iPhone6 itu. “Gini aja, gue beli deh henpon ini dua juta perak, jadi elo nggak usah repot-repot nyari pemiliknya, A!” kata Dulhamid merogoh kantungnya, siap buka dompet.

“Itu mah sama saja ngajarin Aa nggak amanah, Dul,” kata Aa ngeloyor pergi meninggalkan Dul, membawa lagi iPhone6 milik orang lain itu. “Atau coba tawarkan ke BukaLapak kek, ke OLX kek, siapa tahu bisa laku lebih mahal!” teriak Dul lagi, tapi Aa pura-pura tidak mendengarnya. Nih orang otaknya bisnis melulu, pikirnya.

Memang pada akhirnya henpon itu menjadi beban, padahal benda itu sudah lebih dari sebulan berada di tangannya. Pada awal-awalnya sebelum baterai habis, Aa masih sempat melihat ada beberapa penelepon, tetapi Aa tidak berani mengangkatnya.

Bukan tidak berani, lebih tidak tahu caranya di mana tombol terima panggilan telepon berada, sebab semua permukaan ponsel itu rata serata-ratanya, tidak ada tombol yang menonjol buat dipijit sebagaimana pada “Nokia Pisang” miliknya. Juga bunyi “clang-cling clang-cling” yang tiada henti sebagai penanda ada pesan masuk melalui media sosial.

Ada mungkin sehari-semalam henpon milik orang itu aktif dan bernafas. Tapi tepat pada jam ke-24, bateri henpon itu mengembuskan nafas terakhirnya. Aa semakin bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tidak mungkin juga dia beli charger-nya tok, buat apa juga.

Sebagaimana Xi dengan botol Coca-colanya, alhasil Aa membawa-bawa serta iPhone6 itu dalam hidupnya, dalam kesehariannya, Henpon itu selalu berada di tangannya, kecuali sedang berurusan dengan peturasan.

Pernah ada seorang temannya yang mengusulkan agar penemuan iPhone6 itu disebarkan melalui media sosial seperti Facebook atau Instagram. Tetapi Aa boro-boro fesbukan atau instragaman. Aa tidak pernah kenal dan tidak mau kenal internet, padahal media sosial hidup di internet, tidak hidup di majalah dinding apalagi buku TTS.

Lagi pula menurut cerita, di internet itu banyak penipuan. Orang menjual ini-itu dengan harga murah, tahu-tahunya akunnya dibajak, seolah-seolah mereka yang menawarkan dagangan murah itu mengenalnya. Itu cerita orang. Bagaimana jadinya kalau kehilangan barang elektronik seperti iPhone6 diumumkan begitu saja, salah-salah semua pengguna media sosial mengakuinya.

Pada hari ke-29, Aa membawa henpon milik orang lain itu, milik perempuan yang dipanggilnya “Eneng” ke tempatnya bekerja, Refleksi “Bugar”. Sudah selama setahun ini Aa menjadi therapis. Pekerjaannya memijit-mijit telapak kaki, telapak tangan, kepala, dan bahkan badan orang-orang yang mau direfleksi. Di Jakarta susah cari pekerjaan. Tetapi bagi Aa, pekerjaan apapun dia lakukan yang penting halal dan membuat orang senang, terhibur, atau apalah....

Menjadi therapis ternyata menyenangkan. Tapi itu pelipur lara saja sebenarnya, sebelum dia mendapatkan pekerjan selaku CEO perusahaan besar. Yah namanya cita-cita, boleh dong!

Memang sih saat memijit-mijit telapak kaki orang, biasanya orang itu menggeliat kesakitan, bahkan ada yang berteriak menjerit-jerit histeris seperti protes, “Adudududuh.... jangan-jangan keras dong, Mas, sakit!” Aa suka bingung sendiri. Ada orang yang datang padanya untuk disakiti, sudah begitu harus bayar pula atas rasa sakitnya.

Nah, pada suatu malam di akhir pekan saat Aa hendak pulang karena sudah selesai bertugas, datanglah seorang perempuan muda bergaya masa kini. Ia mengenakan seragam tank top lengkap dengan hot pan yang seperti salah ukuran; kesempitan. Tampaknya ia terburu-buru, wajahnya yang kusut masai menjadi temaram saat memasuki ruang refleksi. “Emh, maaf, Non, kami sudah tutup,” kata Aa spontan, membereskan perlengkapannya berupa cream pelicin.

“Yah, Mas.... satu lagi aja, Mas, pleaseeee..... Kepala saya pusing dan seluruh badan pegel-pegel, nih! Saya berani bayar tarif tiga kali lipat, Mas, swear!” kata si Nona sambil menjatuhkan badannya ke kursi rebah, tempat orang dipijit refleksi kaki. Sudah begitu, ia main buka sepatu hak tinggi saja dan meletakkan kedua telapak kakinya di sandaran jok kecil menandakan siap dipijat refleksi.

Biasanya kepada pelanggan Aa selalu menyediakan air panas buat membersihkan kaki sebelum dipijat. Gunanya selain membuat pelanggan relaks, juga untuk membersihkan berbagai kotoran yang menempel di kaki, termasuk bau tidak sedap dari kotoran kuku. Saat itulah Aa bisa menilai, si Nona ini memang cantik tapi jempol kukunya beraroma tidak sedap, cenderung bau busuk.

Kini Aa tidak bisa menolak, wong perempuan berwajah temaram itu sudah memejamkan mata. Dan ketika Aa mulai memijit-mijit telapak kaki si Nona, terdengar nafas dalam yang makin lama berubah menjadi dengkuran halus. Dari dengkuran halus kemudian berubah menjadi dengkuran hebat.

Antara ingin ketawa dan kasihan, Aa melanjutkan pijat refleksinya. Aa mencoba memijit sekeras mungkin telapak kaki itu, tapi tidak ada reaksi. Biasanya pada bagian atas jari-jari kaki selalu terjadi reaksi hebat tatkala dipijit lebih keras. Si Nona benar-benar tewas sepeti tidak sadarkan diri dan dengkurannya makin hebat.

Umumnya pelanggan pijat Refleksi “Bugar” memasrahkan kedua telapak kakinya tanpa perlawanan dan posisinya tetap telentang menatap lampu temaram di langit-langit. Therapis adalah penguasa di ruangan itu. Bagi pelanggan, tertidur di tempat juga hal biasa, sebab lama-lama pijatan itu akan terasa nikmat. Kata orang ibarat malam pertama; mula-mula sakit tetapi lama-lama bikin ketagihan.

Tetapi tidak bagi si Nona, yang bagi Aa merupakan pelanggan baru yang boleh jadi belum tahu aturan. Pada suatu momen di kala dengkurnya sudah mereda, badannya yang semula telantang tiba-tiba telungkup, mengubah posisi tubuh dan kakinya seperti tidur di kasurnya sendiri.

Hal yang tidak disangka-sangka terjadi beberapa detik kemudian. Epic sekali. Pada posisi pantat sedikit nungging seperti itu, Aa mendengar sebuah ledakan gas yang sangat keras yang ke luar dari bagian belakang tubuh si Nona, seperti benar-benar terkuras dari tabung penyimpanannya, “buuuuuusssss......!!!”

Aa spontan memijit hidungnya sebab reaksi gas metana itu begitu cepat menjalar. Ada aroma jengkol balado sebagai parfum yang memenuhi ruangan refleksi dalam sekejap, mengalahkan aroma parfum ruangan. Untunglah tidak ada pelanggan lain karena pijat refleksi memang sudah tutup.

Waktu pijat masih tersisa satu jam lagi, tetapi Aa langsung meminta si Nona berdiri dan pijat dianggap selesai. Aa kesal bukan kepalang, seperti dihina begitu. Toh si Nona tidak akan paham waktunya masih kurang karena ia tertidur. “Pijatnya sudah selesai, Non!” Aa sedikit ketus, tapi sudah tidak memijit lubang hidungnya lagi, khawatir menyinggung perasaan orang. Si Nona menggeliat bangun dan Aa menyalakan lampu. Teranglah suasana seketika, dan.... Aa dan si Nona saling pandang terpana.

“Aa!?”

“Eneng!?”

Oalaaaah.... si Nona itu ternyata Eneng yang pernah jumpa sebulan lalu!

Ia langsung menubruk Aa tanpa aba-aba saking senangnya, bukan karena kangen atau apalah. Sementara Aa harus menahan tubuhnya agar tidak terjengkang ke belakang ketika tubuh Eneng sudah menclok di atas dadanya. “Akhirnya Eneng bisa temukan kembali iPhone6 Eneng yang jadi jaminan... mana henponnya, A!?”

Ya Allah, nih orang matre betul, batin Aa. Orang harusnya nanya kenapa ada di sini, kerjakah di sini, kok mau-maunya jadi tukang pijat refleksi. Ah, tapi untunglah Eneng tidak menanyakan hal itu secara rinci. Aa segera merogoh saku celananya dan menyerahkan henpon yang sudah hampir sebulan berada di genggamannya kepada si Nona, eh... Eneng. Sepeti elang menyamber anak kelinci, henpon itu sudah berpindah tangan sedetik kemudian.

Bukan hanya itu... Setelah mengucapkan terima kasih bertubi-tubi sambil mengenakan sepatu high heel-nya, Eneng kemudian ngeloyor pergi ke luar mencari taksi. Boro-boro membayar upah pijit refleksi tiga kali lipat sebagaimana yang dijanjikannya tadi, membayar tarif wajib sebesar enam puluh ribu rupiah sekali pijit pun lupa. Duh, Eneng....

Aa geleng-geleng kepala sendiri, menyiapkan segala perlengkapannya untuk pulang ke kos-kosan.

Atas kejadian ini, Aa yakin harus segera mengoreksi pepatah lama “dunia tak selebar daun kelor” itu. Untuk kasus perjumpaan untuk yang kedua kalinya dengan Eneng, yakinlah Aa bahwa “dunia cuma selebar daun kelor”.

**

Ikuti serial Eneng & Aa berikutnya....