Jumpa Pertama, Amboiiiii...... Rasanya!

Rabu, 7 September 2016 | 12:32 WIB
0
490
Jumpa Pertama, Amboiiiii...... Rasanya!

Serial: Pepih Nugraha

Perjumpaan Aa dan Eneng terjadi dalam suasana Minggu siang yang tidak biasa. Tidak biasa karena tidak lumrah terjadi pada kebanyakan orang. Biasanya pertemuan romansa antara dua insan berbeda jenis kelamin didahului peristiwa bertabrakannya antara si jejaka dan si dara, sebagaimana terlihat di sinetron-sinetron dan roman picisan.

Kemudian buku dan lembaran kertas si dara jatuh, lalu si jejaka mengambilkan buku dan lembaran yang berserakan di lantai dan menyerahkannya ke si dara yang masih galau antara marah dan jengkel. Setelah itu tatapan saling beradu, saling kenal, dan berlanjut ke pacaran, tapi tidak sampai terceritakan berakhir sampai pelaminan.

Begitulah kalau itu terjadi dalam sinetron atau roman picisan. Tetapi kekecualian pertemuan Eneng dan Aa.

Kala itu panas mentari sedang terik-teriknya, bola raksasa panas tepat sedang berada di ubun-ubun kepala setiap orang, kecuali mereka yang sedang berteduh di bawah pohon rindang atau ngadem di kantor dan pertokoan sambil menikmati embusan AC gratis. Car Free Day sudah berakhir dua jam lalu. Warga yang tadi mengental seperti ingus, sekarang mulai meleleh, lalu mencair.

Aa sedang berdiri di sebuah shelter pemberhentian bis bersama penjual asongan koran dan majalah yang di zaman internet ini satu-dua orang masih bertahan di ibukota, sedang mencari-cari buku TTS kesukaannya. Penjual koran biasanya menyediakan majalah mini seukuran buku tulis yang semua halamannya; mulai dari pendahuluan sampai penutup, berisi TTS dan sesekali tebak-tebakan kata.

Saat itulah seorang gadis berambut pendek dan berponi menghampiri Aa. Nafasnya tersengal-sengal seperti dikejar Wewe Gombel di siang bolong, bedanya dia tidak melirik ke belakang saja memastikan tidak ada lagi hantu yang mengejarnya. Aa jarang bertemu gadis manis, apalagi dihampiri dan kemudian disapa seperti itu. Makanya dia kembali memilih buku TTS untuk dibelinya.

Pasti salah alamat, pikirnya mencoba tidak GR. Tetapi sapaan terengah-engah gadis manis itu mengganggunya. “Mas, Mas.... boleh saya minta tolong! Please, Mas!”

“Panggilan saya ‘Aa’, Neng, bukan ‘Mas’, Aa dari Jawa Barat,” balasnya menatap sebentar, lalu kembali ke buku TTS yang akan dibelinya. Ada cahaya yang bersinar terang dari wajah gadis itu sehingga Aa tidak tahan menatapnya terlalu lama. Silau.

“Iya, Mas... eh, Aa... Bisakah aku minta tolong, A!?”

“Panggil saja dirimu ‘Eneng’, ya, bukan ‘aku’, biar gampang Aa manggilnya,” kata Aa menyerahkan selembar uang duapuluh ribuan rupiah kepada pemilik kios majalah. “Apa yang bisa Aa bantu, Neng?”

“Begini A, please.... Eneng pinjam uang sepuluh ribu saja, Eneng butuh buat bayar ojek. Ini Eneng ngejar waktu buat sesi pemotretan, biar tidak macet, Eneng harus pakai ojek pangkalan. Eneng ‘kan fotomodel, A. Tapi tadi Eneng terburu-buru, lupa bawa dompet, hanya bawa uang receh buat mikrolet. Nah, sekarang Eneng butuh buat bayar ojek... Please, A!”

“Selain fotomodel, Aa kira Eneng seorang pemain sandiwara radio,” Aa siap-siap mengambil kembalian lembaran sepuluh ribu rupiahan dari tukang koran.

“Kenapa gitu, A? Please A," kaki Eneng menginjak-injak Bumi seperti kesal. "Eneng buru-buru nih!”

“Soalnya ngomongnya panjang bener, seperti orang cerita di sandiwara, Neng.”

“Tapi Eneng bukan lagi bersandiwara, A, Eneng serius,” kata Eneng dengan wajah memelas, ekpresi yang tidak menyembunyikan kemanisannya. “Eneng butuh sepuluh ribu rupiah saja. Kalau Aa tidak percaya, nih Eneng taruh iPhone6 milik Eneng sebagai jaminan!”

Tiba-tiba di depan Aa sudah tersodor henpon mengkilat berlapis Emas, alat komunikasi canggih yang baru pertama kali ia lihat. Maklum, selama ini Aa hanya pegang henpon “pisang” keluaran Nokia tahun 1995, hampir seperabad lalu.

Mengapa disebut henpon “Nokia Pisang”? Panjang ceritanya. Tapi singkatnya begini... karena bentuknya melengkung seperti pisang ambon saat penutup papan ketiknya digeser, maka disebutlah "Nokia Pisang". Tentu henpon pisang itu tidak bisa digunakan untuk internetan, fungsinya hanya dua; untuk bicara dan kirim pesan pendek yang sangat terbatas. Kelir layarnya pun cuma dua; hitam dan putih saja.

Belum lagi kebingungan Aa habis, iPhone6 yang mengkilat seperti gigi emas kena sinar matahari itu sudah beralih ke telapaknya. Eneng menyerahkannya setengah memaksa. Pada saat yang bersamaan, selembar uang senilai sepuluhribuan warna keunguan itu sudah berpindah tangan disabet Eneng, belum sempat mampir ke tangan Aa. Copet jagoan aja kalah cepat nih, gumam Aa dalam hati, sementara penjual koran bengong sebelum melangkah pergi. Secepat Gundala pula Eneng berlari menuju salah seorang tukang ojek pangkalan dan terlihat menunjuk arah.

“Pegang saja henpon Eneng itu ya, A!” teriaknya ketika sudah berada di atas jok sepeda motor tukang ojek. Posisi duduknya menghadap ke depan seperti laki-laki, padahal dia mengenakan rok pendek di atas lutut. Alhasil warna kedua pahanya yang seperti pualam itu bersinar cemerlang terpapar radiasi sinar mentari siang. Aa menutup mata sejenak dan istighfar beberapa kali, tukang ojek yang duduk di depan sial karena tidak bisa meliriknya, jarang sekali Aa melihat pemandangan seperti itu.

Eneng kemudian melambaikan tangan kanannya ke Aa. Tangan kirinya memeluk pinggang tukang ojek erat sekali. Tukang ojek tidak sial lagi.

Kini Aa yang kebingungan sendiri. Di tangannya memang ada iPhone6 yang mahalnya minta ampun, tetapi tidak serupiahpun uang ada di dompetnya, pun di sakunya. Itu tadi uang terakhir yang dimilikinya, sebab Aa belum terima gajian bulan ini. Menjual henpon mahal itu jelas tidak mungkin, itu henpon titipan, punya orang, dan Aa harus pegang amanah. Mau mengembalikan kembali buku TTS yang sudah dibelinya, pedagang asongan koran dan majalah sudah berada di atas bus kota entah pergi ke mana.

Memang ada cara lain untuk mendapatkan uang, yaitu menawarkan buku TTS yang cuma sebiji itu kepada orang-orang di jalanan. Tapi ini hampir tidak mungkin, wong Aa tidak bakat dagang. Masak iya juga dagang cuma sebiji buku TTS, salah-salah dikira tukang gendam dan sihir orang berkedok jual buku TTS.

Karena ruko Refleksi “Bugar” tempatnya bekerja masih cukup jauh dan berbilang puluhan kilometer jaraknya, sementara jadwal mulai bekerja sudah ditentukan jam sembilan pagi sedangkan saat itu jam sudah menunjuk angka setengah sembilan, mau tidak mau Aa harus berlari-lari menuju tempat kerjanya. Naik mikrolet pun di Jakarta harus pakai duit, tidak bisa dibayar pakai buku TTS, apalagi pakai daun.

Untuk menghindari rasa malu, Aa menggulung celana panjang gombrongnya sampai di atas lutut agar sepatu Specs kusam dan kaus kakinya terlihat. Kanopi topinya ia arahkan ke belakang seperti orang Jawa kuno mengenakan blankon. Aa kemudian berlari-lari di jalanan yang sudah sangat ramai dan padat. Minimal orang-orang akan mengiranya orang yang kesiangan lari pagi.

Pada Minggu siang itu, hanya Aa yang berlari siang saat mentari sedang garang-garangnya memanggang di langit Jakarta, di saat orang-orang yang lari pagi sudah berakhir beberapa jam lalu.

***

Nantikan serial Eneng & Aa berikutnya....