Melihat Jokowi, Prabowo, dan SBY Bertarung di Pilpres 2019

Rabu, 7 September 2016 | 15:47 WIB
0
618
Melihat Jokowi, Prabowo, dan SBY Bertarung di Pilpres 2019

Saat singgah di Kota Makassar, seorang teman di satu kendaraan yang kami tumpangi membaca baliho besar ucapan “Dirgahayu Republik Indonesia Ke-71” dari anggota DPRD Fraksi Partai Gerindra di kota “Anging Mamiri” itu. Namun yang dibaca keras-keras oleh Si Teman adalah kalimat imperatif di bawahnya; “Prabowo Harus Jadi Presiden!”

Adakah yang salah secara substansif dari baliho raksasa yang mencolok itu? Kecuali kesalahan berbahasa Indonesia yang baik dan benar karena kalimat yang pas seharusnya “Dirgahayu Ke-71 Republik Indonesia”, tidak ada yang salah dari poster berisi ucapan selamat sekaligus harapan itu; harapan agar Prabowo Subianto menjadi Presiden Ke-8 RI di tahun 2019 nanti. Itu harapan Gerindra.

Namanya juga media sosial yang punya nose for jokes –sebagai ganti nose for news dalam khasanah jurnalistik- tidak lama kemudian beredar meme berupa montase kata, yakni kata “Harus” pada kalimat Prabowo Harus Jadi Presiden! diganti “Haus” dan bahkan “Hangus”.

Bisa diduga, suasana Pilpres 2014 pun terulang lagi dengan saling lempar sindiran, yang ujung-ujungnya isi kebun binatang berhamburan keluar, termasuk kecebong dan kampret yang sebenarnya tidak ada di kebun binatang meskipun mereka sama-sama hewan. Perang di medan medsos yang belum usai.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dari ucapan selamat dari Gerindra itu, juga harapan akan lahirnya pemimpin baru di masa mendatang. Satu hal, karena beberapa baliho atas nama anggota DPRD Gerindra Kota Makassar yang berbeda-beda dengan kalimat dan bentuk yang sama, maka sulit dipungkiri bahwa ini sebuah skenario dan kerja tim. Tidak mungkin masing-masing anggota DPRD dari Gerindra berjalan sendiri-sendiri.

Jika ini skenario partai, maka pemasangan baliho di kota Makassar itu harus atas sepengetahuan pucuk pimpinan parpol di pusat. Juga, tidak mungkin kader partai di level provinsi berani mencatut nama Prabowo jika tanpa izin terlebih dahulu. Alhasil, ini sebuah skenario partai yang dipersiapkan untuk Pilpres 2019 yang masih akan berlangsung tiga tahun dari sekarang. Sebuah ancang-ancang.

Jauh sebelumnya, politisi senior Gerindra Mayjen TNI (purn) Asril Hamzah Tanjung menyatakan Gerindra akan tetap mengusung Prabowo sebagai calon Presiden RI pada Pilpres 2019. Bahkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon pun menyatakan hal yang sama bahwa tidak ada pilihan lain selain Prabowo untuk Pilpres mendatang.

Bagaimana dengan Presiden Joko Widodo? Apakah dia juga akan maju kembali sebagai calon presiden petahana? Hitung-hitungan politiknya “ya”, karena dia berkepentingan menyelesaikan proyek insfrastruktur besar-besaran lima tahun pertamanya, juga mewujudkan janji peningkatan ekonomi dan investasi. Tidak ada cara lain selain meminjam slogan kampanye mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk yang kedua kalinya, “Lanjutkan!”

Pertanyaannya, dari mana dan dengan cara bagaimana Jokowi bisa melanjutkan jabatan keduanya?

Jawaban paling tepat adalah melalui mekanisme pencalonan oleh partai politik sebagaimana diamanatkan Undang-undang No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni oleh partai politik atau gabungan partai politik yang minimal memiliki 20 persen kursi DPR.

Namun untuk Pilpres 2019, aturan ini sudah tidak berlaku karena Pilpres 2019 akan dilakukan serentak bersama Pemilu Legislatif (Pileg). Sampai sekarang, pembahasan RUU Pileg dan Pilpres serentak itu belum dibahas baik oleh pemerintah maupun DPR.

Itulah kemudian yang dijadikan alasan Partai Golkar langsung mengusung Jokowi setelah partai berlambang beringin rimbun ini lepas dari Koalisi Merah Putih (KMP). Alasannya, bakal calon presiden dan wapres harus dikenalkan sejak dini. Terkesan terburu-buru dan “prematur” memang, namun Golkar di bawah Setya Novanto ingin “bermain cepat” dengan memberi dukungan pada Jokowi di saat PDIP, partai yang mengusung Jokowi pada Pilpres 2014 masih adem ayem saja.

Bahkan atas instruksi partai, baliho dan spanduk dukungan Jokowi untuk menjadi calon presiden disandingkan dengan foto Setya Novanto sendiri sebagai “wakil bayangan”. Publik kelak akan mambacanya, “Oh, ini toh wakilnya Pak Jokowi nanti!”

Lalu SBY, apakah mantan Presiden yang sudah dua kali menjabat Presiden RI dapat mencalonkan diri kembali?

Berpatokan pada Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan, masa jabatan Presiden maksimal hanya dua periode, yakni 10 tahun. "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan," demikian bunyi pasal tersebut.

Kalau disela oleh jeda waktu alias tidak berturut-turut, tentu saja penafsirannya menjadi boleh-boleh saja mencalonkan kembali. Ada sejumlah pakar hukum tata negara membolehkannya, yang kemudian disambut politisi partai berlambang mirip “Mercy” itu.

“Cawe-cawe”-nya SBY di Twitter, facebook atau Youtube yang mengeritik pemerintah Jokowi dimaknakan sebagai panggung maya untuk menjaga eksistensinya. Publik harus mengingat sekaligus tahu bahwa “Gue masih ada loh, Bro!”

SBY sendiri pernah menyatakan tidak akan maju ke Pilpres 2019, tetapi itu dulu. Nanti? Siapa yang tahu. Memang ada yang mengembuskan isu yang bakal maju bukan SBY, tetapi bekas Ibu Negara, yakni Ny Ani Yudhoyono.

Memang sah-sah saja siapapun berharap jadi Presiden, termasuk taifan penyiaran Hary Tanoesiedibjo. Bahkan dari ketiga nama yang disebut di atas, yakni Prabowo, Jokowi, dan SBY, Hary Tanoe adalah yang paling siap.

Coba saja “lagu kebangsaan” Partai Perindo yang bakal mengusungnya kelak, sudah menyesaki ruang publik dari berbagai stasiun televisi miliknya. Juga foto dan baliho raksasa bergambar Hary Tanoe dalam posisi “cakep” terpancang di mana-mana, bahkan di sudut kota kecamatan seperti Ciawi, Tasikmalaya.

Akan tetapi yang terlupa oleh Hary Tanoe, pemilu mendatang dilakukan secara serentak baik Pileg maupun Pilpres. Maknanya, kamerad atau partai lain calon pengusung tidak bisa mengukur kekuatan rakyat yang akan memilih Perindo pun kekuatan kursi DPR yang akan diperolehnya. Alhasil, pemilihan pasangan calon Presiden dan wapresnya masih akan mengintip pada perolehan Pileg 2014 lalu alias kekuatan kursi DPR yang kini ada.

Untuk itulah, Hary Tanoe harus bekerja lebih keras lagi melobi dan kalau bisa “membeli” partai-partai lain yang bersedia mendukungnya, bukan hanya menjajakan foto-foto raksasa yang terpancang di ruang-ruang publik seluruh negeri, lalu mengepung ruang keluarga dengan “lagu kebangsaan” partai di televisi yang penayangannya melebihi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang hanya sekali putar di awal siaran.

Kunci pertamanya ada di partai politik lain, bukan di hati publik. Kalau tidak ada partai lain yang melirik dan menggandengnya, lumayan sia-sialah upaya Hary Tanoe yang dilakukannya selama ini meski yang dihamburkan baginya sekadar uang recehan.

***