Pahami Relativisme Budaya, Modal Saling Menghormati

Selasa, 6 September 2016 | 07:56 WIB
0
486
Pahami Relativisme Budaya, Modal Saling Menghormati

Kepintaran seseorang tidak selalu sejalan dengan kebijakan orang itu dalam bersikap. Itu yang saya yakini dalam menyikapi pandangan dan perilaku orang lain.

Memahami "relativisme budaya" menjadi sedemikian sulit, padahal itu adalah titik mula saya pribadi dalam memahami orang lain. "Relativisme budaya" adalah konsep pemikiran Barat dan telah menjadi kajian filsafat Barat sejak lama. Dengan dijadikannya "relativisme budaya" sebagai kajian filsafat, mestinya para pemikir Barat, sebut saja umumnya orang-orang Barat, memahami makna dan kedalaman pengertiannya, syukur kalau bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

"Relativisme budaya", dalam pemahaman saya, adalah cara pandang seseorang (suatu suku, agama, bangsa) dalam melihat kebiasaan (budaya) orang lain yang sudah tertanam kuat dalam hidup dan dipraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia membentuk perilaku khas yang bisa dibedakan dengan perilaku lainnya.

Definisi ini bukanlah definisi canggih seperti halnya para filsuf berpikir, ini definisi saya pribadi selaku orang awam. Tanpa bermaksud menyudutkan Barat, atau sebagian orang Barat dalam hal ini penggiat majalah satir Perancis,  Charlie Hebdo, boleh jadi mereka tidak atau kurang memahami hukum "relativisme budaya" ini. Argumen yang sering mereka kemukakan adalah "kebebasan berpendapat dan berekspresi seluas-luasnya" sebagai ruang sakral di mana semua orang harus menghormatinya.

Ada cara pandang yang berbeda di sini yang terkait dengan pemahaman "relativisme budaya" tersebut, bahwa bagi Islam sosok Nabi Muhammad, misalnya, haram hukumnya jika divisualisasikan. Cara pandang (sebagian) Barat kebalikannya, tidak haram hukumnya memvisualisasikan sosok Nabi Mumahammad sebagaimana sosok Nabi Isa, Buddha, Tao atau lain-lainnya.

Saya baca dan mengikuti kasus penembakan barbar dan brutal di Paris yang menewaskan 12 orang dari Media Barat, rata-rata mereka tidak mau mengangkat "akar persoalan" atau duduknya perkara, tidak mau mencari tahu apinya dan yang mereka lihat hanyalah asapnya, peristiwanya, plus dengan gampang mengarahkan telunjuk ke kelompok agama tertentu (baca Islam) sebagai biang keladinya.

Kalau saja penggiat Charlie Hebdo paham akan konsep atau hukum "relativisme budaya" yang sebenarnya tumbuh dan berasal dari pemikiran Barat, boleh jadi tidak hanya mengandalkan pikirannya (rasio) semata, tetapi juga tenggang rasanya (hati) dalam memahami setiap fenomena sosial yang terjadi.

Dalam "relativisme budaya", tidak ada budaya yang diklaim sebagai mutlak benar atau mutlak salah. Penghormatan pada masing-masing budaya adalah yang terpenting. Itulah sebabnya saya berani mengatakan bahwa kepintaran seseorang (katakanlah orang Barat) tidak selalu sejalan dengan kebijakannya ketika luput tidak menggunakan tenggang rasanya, hati nuraninya.

Saya pahami, filsafat atau pemikiran Barat sangat melawan dan bahkan konfrontatif terhadap cara pandang Timur yang mereka anggap punya pemikiran kolot, tradisional, hidup dalam mitos dan khayal, dibodohi oleh kitab kuno, memegang tradisi turun-temurun (baca kearifan lokal) yang primitif, menyembah tuhan yang tak tampak, destruktif, musuh rasionalitas, dan cap buruk lain yang diterakan kepada mereka, khususnya kepada Muslim atau kaum beragama lainnya.

Yang mereka agungkan semata-mata rasionalitas, bahwa yang benar adalah yang mereka pikir benar. Mereka lupa, dengan mengedepankan rasionalitas sebagai "agama", mereka juga tengah menyembah "sebuah keyakinan" baru, yakni "berhala baru" atau keyakinan akan "rasionalitas" itu sendiri sebagai yang paling benar.

Barat yang nyinyir

Menjadi pertanyaan besar bagi saya (dalam upaya mencari "api" atau akar persoalan), adakah orang Timur, yakni orang-orang beragama (yang saya persempit lagi sebagai Islam), yang kemudian menghina, mempersoalkan, atau nyinyir terhadap "agama rasionalitas" yang mereka (baca penggiat Charlie Hebdo) anut? Adakah mereka mempersoalkan seseorang itu memeluk agama/keyakinan lain atau bahkan mempersoalkan karena seseorang tidak memeluk agama tertentu atau atheis lalu memvisualisasikannya lewat gambar atau kata-kata?

Mungkin saya keliru, tetapi sepengetahuan saya tidak ada gelombang protes dari kaum atheis atau umat rasional Barat karena tersinggung oleh sebuah kartun yang dibuat kaum beragama dari Timur. Kenapa? Karena orang beragama dari Timur itu nafsi-nafsi, tidak usil, tidak pula nyinyir.

Saya ambil kesimpulan terburu-buru untuk kasus ini, bahwa dalam hal-hal tertentu, orang Timur (Islam) sebenarnya jauh lebih toleran! Nafsi-nafsi itu tadi. Mereka, Muslim itu, bagaikan sekumpulan semut yang hidup tenang di dunianya. Atau sekawanan Singa yang sedang terlelap tidur. Tetapi ya.... jangan sekali-kali mereka ganggu apalagi mereka injak, semut bisa melawan juga. Jangan bangunkan kawanan singa itu, bisa marah.

Pengembaraan batin saya terus berjalan dan sampai pada pertanyaan; mengapa orang-orang Barat itu (dipersempit ke penggiat Charlie Hebdo) justru sering mengganggu keyakinan orang lain yang sudah dianut sejak turun-temurun itu? Apakah Charlie Hebdo merasa terganggu dengan kaum beragama sehingga reaksinya adalah menistakan mereka?

Mungkin saja mereka orang-orang pintar, tetapi tidak cukup bijak dalam bersikap. Maka dalam konteks ini penting mengingat pernyataan yang pernah dilontarkan Menteri Luar Negeri Perancis Fabius Laurent, "Apakah suatu sikap yang cerdas menuangkan minyak ke atas api yang sedang menyala?" Pernyataan ini ditujukan kepada penggiat Charlie Hebdo yang tanpa lelah terus-menerus membuat kartun Nabi Muhammad dengan cara menistakannya pula, meski sudah ada reaksi dengan kemarahan Muslim di berbagai belahan dunia.

Benar ada argumen Barat yang sering terlontar bahwa hendaknya "kartun balas kartun", "tulisan balas tulisan", atau "ejek nabi balas ejek nabi". Dalam konteks ini saya yakin, para penggiat kartun itu sebenarnya sedang menantang dan sedang mencari musuh, mereka sedang menyulut api dengan minyak yang mudah terbakar.

Mengajak (atau tepatnya) memaksa orang lain pandai menulis atau menggambar kartun, sama tidak bijaknya. Lagi pula, dalam pandangan Islam, ada nabi-nabi yang sangat dihormati (termasuk Nabi Isa atau Yesus), yang tidak mungkin dinistakan dalam bentuk kartun, film atau dalam bentuk tulisan.

Orang beragama dari Timur bisa saja membalas dengan kartun yang menggambarkan bahwa "holocaust" itu tidak pernah ada dan hanya khayalan belaka (ini sangat menyakitkan hati untuk Barat), tetapi itu bukan soal keyakinan, itu lebih kepada sejarah kemanusiaan saja. Terlebih lagi, kaum beragama tidak melakukannya. Mereka paham, itu sangat menyakitkan!

Bagi saya, wa bil khusus kepada peradaban Barat atau mereka yang memuja rasionalitas, lebih baik menjadi bintang di langit, yang walaupun panasnya tidak sampai ke bumi dan tidak pula sampai menghangatkan tubuh, tetapi kerlip bintang-gemintang di langit itu telah memperindah malam gulita, bahkan sering berguna sebagai penunjuk arah.

Catatan ringan ini hadir sebagai penghormatan kepada 12 orang yang tewas tanpa perlawanan beberapa waktu lalu, tanpa persiapan dan tidak dalam konteks berperang. Itu sebabnya saya tidak ragu menyebut para pelakunya sebagai teroris pengecut, bukan orang-orang pemberani.

Ke depan, ciptakan suasana teduh dan damai yang mencegah orang-orang itu mengangkat senjata lagi dan memuntahkan peluru di sembarang tempat, ke sembarang orang-orang.

***