Ahok dan "Papa Ngasih Saham" Berpotensi Langgar Aturan

Sabtu, 27 Agustus 2016 | 00:04 WIB
0
522
Ahok dan "Papa Ngasih Saham" Berpotensi Langgar Aturan

Beberapa waktu lalu Setya Novanto menerima sebutan "Papa Minta Saham" terkait dugaan dirinya meminta saham dalam kasus negosiasi Freeport. Kini publik berpotensi menyebut Setya sebagai "Papa Ngasih Saham" terkait sumbangan dana sebesar Rp 100 juta kepada tim pemenangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Tidak ada makan siang gratis atau "no free lunch", itu adalah pameo dalam dunia politik dan bisnis. Apa yang kelihatannya gratis dan pemberian, hibah atau sumbangan, dalam politik bisa dimaknakan sebagai "harus dibalas" dan wajib dikembalikan.

Jika aksi "Papa Minta Saham" dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kini aksi "Papa Ngasih Saham" dilakukan Setya yang kehilangan jabatan Ketua DPR tetapi menjadi Ketua Umum Partai Golkar ini secara terang-terangan, diliput media dan dilakukan pada malam remang-remang.

Setya menyampaikan uang Rp 100 juta itu ketika menghadiri peresmian "Rumah Lembang" sebagai posko pemenangan Ahok di Jalan Lembang, Kamis, 25 Agustus 2016 kemarin.

Konon Setya yang mendadak dermawan itu tergerak hatinya untuk menyumbang tim pemenangan saat ditanya Nusron Wahid, Ketua tim pemenangan, dan Yorrys Raweyai politisi Partai Golkar, tentang berapa dana yang ingin ia sumbangkan. "Ya sudah saya kasih Rp 100 juta nih. Kalau kurang, minta lagi," kata Setya Novanto.

Tentu saja sikap dermawan Setya kepada tim pemenangan itu disambut hiruk-pikuk relawan serta warga pendukung Ahok yang hadir pada malam itu. Bahwa Setya Novanto pada malam bertabur rupiah itu juga menyampaikan alasan partainya mendukung Ahok pada Pilkada DKI 201, tidaklah penting. Adanya potensi peraturan yang dilanggar Setya dan Ahok, setidak-tidaknya dari "fatsoen" dan etika politik.

Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada secara khusus menjabarkan batasan sumbangan bagi pasangan calon, baik mereka yang diusung oleh partai politik maupun jalur perseorangan. Pada ayat 7 Pasal 74 undang-undang dimaksud disebutkan, sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp 50 juta, sementara sumbangan dari badan hukum swasta paling banyak Rp 500 juta.

Anak SD juga tahu, jumlah Rp 100 juta dari seorang Setya Novanto lebih besar dua kali lipat dari Rp 50 juta sebagaimana batasan undang-undang. Setya bukanlah badan hukum swasta, melainkan masih makhluk hidup alias manusia, masih orang-peroranan.

Tentu saja sebagaimana niat para dermawan di manapun, sumbangan itu diniatkan untuk hal-hal baik. Misalnya alasannya disebutkan, Ahok membuat permukimam kumuh menjadi sehat dan telah melakukan berbagai hal yang berguna untuk masyarakat. Tetapi, aturan tetap aturan. Hukum tetaplah hukum. Dalam setiap aturan, ada wasit dan eksekutornya. KPUD harus bereaksi, jangan hanya diam.

Bahwa terbuka alasan Setya dan tim pemenangannya terkait apa yang diberikannya itu bukanlah sebagai dana kampanye melainkan sumbangan untuk posko pemenangan. Juga alasan bahwa pendaftaran sebagai calon gubernur pun belum didaftarkan ke KPUD sehingga aturan itu tidak berlaku, bisa diajukan. Tetapi ujung-ujungnya "Papa Ngasih Saham" tentu ada maunya, setidak-tidaknya ada udang di balik uang.

Setya juga bisa berkilah dirinya merupakan anggota tim pemenangan atau anggota parpol pendukung Ahok sehingga aturan itu tidak berlaku untuknya. Namun perlu diingat, dalam politik itu ada yang disebut "fatsoen" dan bahkan etika itu tadi, yang kadang sering ditempatkan di atas aturan itu sendiri.

Kemarin peresmian Rumah Lembang dihadiri sejumlah politisi dari tiga partai pendukung Ahok, yaitu dari Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura yang biasa disebut Koalisi GaNahan. Rumah Lembang ini dimaksudkan sebagai posko tempat berkumpul tim pemenangan Ahok.

***