Narapidana

Sabtu, 20 Agustus 2016 | 00:47 WIB
0
497
Narapidana

Cerpen: Pepih Nugraha

Bukan pagi biasa. Hari dibuka dengan perjalanan lintang kemukus terakhir berona kuning kemerahan, memberkas di atas langit Nusakambangan. Selepas solat Subuh, Salman berbenah diri.

Tidak banyak yang harus ia siapkan untuk dibawa pulang selain baju dan celana yang menempel pada tubuhnya. Kalaupun ada ransel tipis pembagian lembaga, isinya tidak lebih dari kain sarung dan sajadah lusuh.

“Beruntung kamu, Sal, remisi tujuhbelas agustusan kali ini membuatmu langsung bebas, sedang aku masih lama di sini,” Mozes menepuk pundak Salman sebelum melepasnya pergi. “Kuharap jangan kamu lupakan aku di sini, sambutlah saat aku bebas sepertimu nanti!”

Salman tersenyum dan memeluk salah satu sahabat seselnya, yang melepasnya tatkala sipir sudah memintanya segera beranjak. “Kapalmu sudah menunggu di dermaga, jangan sampai telat, ya!” pintanya setengah memerintah.

Bebas dari keterkungkungan terungku beku seharusnya disambut dengan tawa-riang. Salman sebaliknya. Pekan lalu, ia malah bingung sendiri tatkala petugas lapas memberitahukannya akan segera bebas. Ia merasa diri sebatang kara, tidak punya siapa-siapa. Pembunuhan keji yang dilakukan terhadap seorang bandot tengik yang tidak lain bapak kandungnya sendiri sebelas tahun lalu pasti telah menjadikannya sesosok monster menakutkan bagi siapapun; bagi ibunya, bagi kakak, adik-adiknya, orang sekampung, dan mungkin saudara-saudaranya.

“Kau ‘kan masih punya Rania, ke sanalah kamu pergi,” Mozes memberi saran tatkala kebingungan menyergapnya. Salman menarik napas panjang, tidak juga mengiyakan. Namun, ia harus berterima kasih kepada sahabat kristennya yang asal Flores itu, yang selama ini mau mendengar keluh-kesah dan curhatnya, khususnya saat bercerita tentang Rania. Ya, Rania.

Rania.... Sebuah nama. Nama itulah yang menautkan ingatannya kini akan masa silam, sepuluh tahun yang telah lalu...

**

Rania adalah kembang desa tetangga paling menawan yang pernah ada. Usianya beranjak 17, sedang mekar-mekarnya. Orang Kampung Suargawana sering membandingkannya dengan Hema Malini muda, bintang film India yang pada masa lalu sering berpasangan dengan Dhamendra. Hidungnya mancung di atas rata-rata gadis sekampungnya. Sorot matanya sayu menghanyutkan. Kulit yang membungkus tubuhnya, meski tidak seputih Hema Malini, tetap saja lebih putih dibanding Marlina, Sumiati, Kaonah, atau bahkan Nengsih putri kepala desa di kampungnya.

Kepada Rania itulah cinta pertama Salman berlabuh.

Rania menanggapi cinta pemuda kampung seberang itu biasa saja. Selain belum punya pekerjaan tetap, Salman masih terlalu muda, terpaut dua tahun saja dari usianya. Pekerjaan adalah ukuran sukses seseorang. Selain itu, terlalu banyak pilihan bagi Rania kalau hanya untuk menerima Salman. Ada Kemod, anak juragan batik di kampungnya yang telah sering mengambil hati ayahnya, ada Marmo yang baru saja lulus dari Mesin ITB, juga ada Topik, duda kaya yang kemarin baru menceraikan isteri kelimanya. Kecuali Salman, semua lelaki yang mencoba mendekitanya itu punya masa depan.

Sedang Salman, selain dikenal sebagai pemuda putus sekolah dan sekadar buruh tani, juga berayahkan seorang pemabuk tuak yang paling parah. Ia juga dikenal sebagai bajingan tengik paling tidak punya perasaan, seakan-akan semua perempuan adalah miliknya. Istri dan anak-anak Madrais, demikian nama ayah Salman, sering menjadi bulan-bulanan kemarahannya tatkala sedang mabuk berat. Namun demikian, Madrais tidak pernah berani macam-macam kepada anak keduanya itu, bahkan sekadar menghardik. Sebaliknya, ayahnya itulah yang sering kena hardik Salman saat pulang ke rumah sempoyongan dengan mulut berbau alkohol murahan.

Terhadap Rania, Salman memang punya cinta yang tulus. Pun tidak hitung-hitungan, apa adanya. Itulah yang meluluskan hati Rania. Selain itu semua, Salman bukanlah siapa-siapa. Bagi Rania, ukuran cinta Salman cuma sebatas itulah. Tatkala ketulusan sudah tidak ada lagi, ia berhak menendangnya. Pun jika terlalu hitung-hitungan dan sudah mulai macam-macam, dengan mudah cintanya beralih ke pemuda lain.

“Salman, kau gambarkanlah diriku lewat angka sampai sepuluh, bisa?” rajuk Rania pada suatu petang di ujung pematang yang mengarah ke tebing kecil berumput tebal. Salman menyanggupi, “Satu, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh...”

“Lho, kok nggak ada duanya, Sal?”

“Ya, bagiku kamu memang ‘nggak ada duanya’, Ran!”

Rania mencubit pinggang Salman yang kekar. Hatinya bermekaran seketika bagai bebungaan yang ada di tepi tebing itu. Wajahnya merah bagai kepiting rebus. “Ah dasar laki, gombal!” diam-diam Rania memuji kecerdikan Salman. Meski putus sekolah menengah atas, Salman dikaruniai otak yang encer. Rania seringkali harus mengakuinya. Petang yang menawan. Hanya mereka berdua di tebing berumput tebal itu. Sepi. Hanya suara jangkerik dan burung pipit yang mulai akan beristirahat.

“Tahu ‘kan kenapa aku bisa menerimamu, Salman?” bisik Rania di telinga Salman. Duh, geliiii.... batin Salman senang. Salman menggelengkan kepala. “Karena kamu sangat membelaku, Sal.”

“Bukan karena aku ganteng, Ran?”

“Oh kalau soal ganteng, kurasa Topik Si Duda Kaya pun jauh lebih ganteng darimu, Sal!” Kali ini Salman yang mencubit pinggang Rania. Rania diam tak berontak, malah menarik lengan kekar Salman agar melilit pinggangnya.

Dua pasang mata bersitatap, dua ujung hidung hampir saling menyentuh, dan perpaduan dua desah napas berbeda sudah berbaur. Rumput tebing tersibak saat tubuh Rania berguling.

Salman sigap menangkapnya. Kini dua bibir hampir saling menyentuh. Hanya kampret sial melintas di kepala mereka sajalah yang membatalkan tumbukan halus kedua bibir itu, juga suara kodok sember yang membuat mereka terhenti.

“Belum waktunya, Rania!” bisik Salman. Wajah Rania membeku. Kecewa. Ia berdiri dan melangkah pergi ke arah tenggelamnya matahari. Salman mengikuti. “Maafkan aku, Rania!” Permintaan itu tak digubrisnya. Rania terus melangkah di atas pematang sawah.

Hal yang kemudian memisahkan Salman dengan Rania berbilang tahun lamanya adalah peristiwa kelam di suatu senja yang temaram.....

Entah kenapa, senja itu naluri membawanya ke rumah Rania di desa tetangga, Suargawana. Desa itu terletak di kaki bukit yang dikelilingi pinus dan akasia. Di belakangnya terbentang hutan lebat pegunungan Putri Kembar. Ke sanalah pada senja itu Salman berlari. Wajah Rania tak lepas dari ingatannya, tidak seperti biasa. “Ada apa dengannya?” batinnya.

Belum sampai ia ke rumah Rania, Salman tercegat suara lolong perempuan yang meminta tolong. Suara dari tepi hutan pinus. “Tolong.... Salman, tolong...!!” Jelas itu suara Rania, bukan suara yang tadi malam menyelinap dalam mimpinya. Oh, dia memanggil namaku! batinnya. Salman kemudian lari menembus senja yang mulai berganti gelap ke arah datangnya suara. Ia mencari si pemilik suara yang nadanya antara pekik ketakutan dan kemarahan.

Apa yang Salman lihat dan saksikan kemudian di dekat tanaman salak serta rimbunnya pohon jati adalah pemandangan menyeramkan.... sangat menyeramkan!

Dalam keremangan senja, seorang lelaki kekar berkepala botak sedang menindih tubuh perempuan, Rania. Pakaian Rania sudah compang-camping, rok yang membungkus tubuhnya sudah terlepas. Sebuah perundungan sadis yang baru pertama kali ini dia lihat. Dan itu menimpa Rania, kekasihnya. Bukan hasil pemikiran yang tajam atau keputusan baik kalau tiba-tiba kejernihan berpikirnya yang mulai berperan.

Salman meraih sebongkah batu runcing sebelum benar-benar mengetahui pasti siapa lelaki pemerkosa itu. Ia memang tidak perlu tahu siapa dia. Salman mendekatinya tanpa suara, tanpa kata. Hanya tindakan dengan kekuatan terpusat di tangannya saja yang bicara ketika batu besar itu mulai mendarat di kepala bagian belakang pria pemerkosa yang sudah nyaris telanjang itu.

Adegan berikutnya bisa ditebak, pria itu mengerang namun kemudian tidak bersuara lagi ketika hantaman kedua membuat darah segar memancar dari batok kepalanya.

“Bajingan, kau!” Salman sudah akan menghujamkan kembali batu tajam itu untuk ketiga kalinya, namun kemudian dicegah Rania sendiri. Salman sedikit tertahan.

“Sudahlah Salman..... Dia ini bapakmu!” jerit Rania memecah keheningan pergantian hari.

Semula Salman kaget dan nyaris tak percaya, namun selebihnya ia tak peduli kepada lelaki pemabuk yang hendak memperkosa kekasihnya. “Siapapun yang menyakitimu akan berhadapan denganku, Rania!”

Hantaman ketiga melayang lagi. Tubuh lelaki itu tidak bergerak lagi.

Setelah peristiwa berdarah itu tersiar, polisi kemudian menerungku Salman atas tuduhan pembunuhan keji terhadap ayah kandungnya sendiri. Wajah dan kisahnya memenuhi koran dan televisi. Pengadilan memvonisnya 15 tahun penjara. Jeruji besi Nusakambangan menerungkunya selama 11 tahun sebelum ia dibebaskan hari ini.....

**

Hari pembebasan. Bagi Salman, ini justru hari dimulainya ketidakpastian. Ke mana dan kepada siapa ia harus kembali? Ia paham, kembali menemui emakya di desa Maduwangi hanya akan mendatangkan penolakan dan itu pasti sangat menyakitkan. Lagi pula, apakah selama 10 tahun terakhir Emak masih hidup? Bukankah saat dinusakambangankan ia meninggalkan Emak dalam keadaan sakit parah, shock berat akibat kematian suaminya? Kakak dan adik-adiknya, juga tetangga-tetangganya, tentu akan menolak kehadirannya karena ia tetap berstatus pembunuh kejam. Satu-satunya tujuan adalah Desa Suargawana di mana Rania mukim.

O, ya.... tetapi apakah Rania masih tinggal di sana? Apakah ia masih setia menunggu sebagaimana yang ia janjikan saat vonis diketukkan lebih dari satu dasawarsa lalu? “Kau telah menyelamatkan nyawaku, tetapi kau juga telah membunuh bapakmu sendiri, Sal,” kata Rania beberapa saat setelah hakim mengetukkan palu, “Maka jalanilah hukumanmu dengan sabar dan tawakal, aku akan menunggumu..... Menunggumu, Sal!”

Menunggumu....

Salman yakin, Rania masih menunggunya, menunggu kedatangan dan kehadirannya. Keyakinan itu berhasil menyenyahkan keraguannya sendiri untuk segera menemui Rania kekasihnya. Desa Suargawana ternyata masih seperti dulu, seperti 11 tahun lalu tatkala ia meninggalkan desa itu untuk yang terakhir kalinya. Tidak banyak perubahan, kecuali muculnya beberapa masjid yang nampak berdiri lebih permanen.

Di sebuah pancuran, tempat di mana ia sering membantu Rania mengambilkan air, Salman tertegun. Sesosok perempuan berdiri bersama dua anak yang masih kecil. Guratan wajahnya menyiratkan Rania masa lalu. Itulah Rania yang kini berusia 27 tahun jalan, perempuan yang sudah menjelma menjadi dewasa dan matang!

“Kaukah, Rania?” Tetap saja Salman diliputi keraguan. Perempuan yang disapa ‘Rania’ tertegun. Ember tempat mengambil air nyaris terjatuh. Saat wajahnya kebingungan, kedua anak kecil itu merapat ke tubuh ibunya, seperti ketakutan juga terhadap pria yang sedang berdiri di depannya.

“Salman....!?”

“Ya, Aku Salman, Rania. Aku kini sudah bebas, aku bukan narapidana lagi. Semua dosa dan kesalahanku sudah kutebus. Sekarang, kamu mau menerimaku, bukan!?”

Salman bergegas mendekat. Tapi niatnya terhenti tatkala Rania mengangkat tangan kanannya dan memintanya berhenti. “Kenapa, Rania? Ada apa? Kamu tidak menyambutku? Bukankah kamu berjanji akan menungguku!?”

Rania terdiam. Wajahnya tertunduk. “Lupakan semua kenangan indah itu, Sal!” Rania mulai beranjak dan menuntun kedua anak kecil itu menjauh. “Sebaiknya kamu segera pergi sebelum bapak kedua anak ini datang!”

Giliran Salman terdiam.

“Jadi....?”

“Kukira aku tidak harus menjelaskannya, Sal. Kamu bisa melihat dua anak ini,” kata Rania lirih. “Kamu juga tidak perlu tahu siapa bapak anak-anakku ini........ Maafkan aku, Sal!”

Rania membalikkan badan berjalan terburu-buru semakin menjauhi Salman.

“Rania...!” Salman masih memanggil nama itu sekali lagi.

Dalam keremangan senja, sejenak Rania membalikkan badan, diiringi dua anak kecil itu. “Kamu memang telah menyelamatkan nyawaku, Sal, namun tidak cukup menyelamatkan tubuhku!”

Malam semakin hitam ketika Salman harus beranjak dari tempat di mana ia berdiri sekian lama. Kepak sayap kawanan codot pemburu buah-buahan hutan yang ranum melintas di atas kepalanya. Gemercik air pancuran menimpa batu masih terdengar seperti tadi.

Salman tidak tahu ke mana selanjutnya akan melangkah pergi.

***