Habis "Papa Minta Saham", Terbitlah "Papa Minta Wapres"

Senin, 15 Agustus 2016 | 20:38 WIB
0
537
Habis "Papa Minta Saham", Terbitlah "Papa Minta Wapres"

Pemilihan Presiden masih berbilang tahun, masih sekitar tiga tahun lagi, yakni tahun 2019. Akan tetapi, Partai Golkar telah mempersiapkan strategi Pilpres sejak dini. Partai berlambang pohon beringin rimbun ini tidak mengincar kursi Presiden, tetapi cukup menduduki kursi Wakil Presiden.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya di mana Golkar biasa menggelar konvensi partai untuk menjaring bakal calon presiden. Untuk Pilpres 2019 diperkirakan Golkar tidak akan melakukan penjaringan balon capres lewat konvensi, tetapi langsung mencalonkan kembali Presiden Joko Widodo alias Jokowi selaku capres petahana.

Lho, Golkar tidak mengincar kursi Presiden? Tidak. Di Pilpres 2019 Golkar cukup mengincar kursi Wakil Presiden!

Indikasi ke arah itu terlihat dari upaya Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto yang menyiapkan langkah pemenangan jika Presiden Jokowi kembali mencalonkan diri pada Pilpres 2019. Sebelumnya, Golkar menegaskan dukungannya terhadap Jokowi dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa serta Rapat Pimpinan Nasional beberapa waktu lalu setelah keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP).

Ibarat pembukaan dalam permainan catur, sebagai langkah awal Setya Novanto menginstruksikan seluruh kadernya di daerah untuk memasang gambar/foto Jokowi dalam bentuk poster, baliho, spanduk dan billboard di setiap acara yang diselenggarakan pengurus Golkar di daerah-daerah seluruh Indonesia. Dari gelagat ini, konvensi Partai Golkar memang tidak diperlukan lagi.

Dalam Pilkada 2017 di 100 daerah di mana Golkar memajukan calonnya, Setya juga menginstruksi agar gambar Jokowi diikutsertakan di dalam setiap baliho yang dipasang di jalan-jalan. Sebagai partai politik yang berpengalaman dan banyak makan asam-garam berpolitik, cara ini lumrah dilakukannya. Kamus politik Indonesia menyebutnya sebagai "mencuri start".

Apakah hanya gambar Jokowi yang dipasang? Tentu tidak. Jokowi tidak bakal kesepian sendiri, sebab gambar Setya Novanto kemungkinan juga akan menyertai dan bahkan mendampingi Jokowi.

Karena gambar itu berupa baliho, poster dan spanduk yang bisa dilihat publik secara luas, maka masyarakat akan terbiasa melihat "pasangan capres-cawapres 2019", yakni Jokowi dan Setya Novanto.

Anda boleh saja muntah atau berteriak "Impossible!" Tetapi Setya Novanto akan membalasnya dengan cukup bergumam, "I'm possible!"

Mencuri start? Jelas, wong partai-partai lain belum bicara Pilpres 2019, Golkar sendiri partai yang sangat bersemangat menyambut hajatan demokrasi besar lima tahunan itu. PDIP sebagai jawara Pemilu 2014, pemenang Pileg maupun Pilpres, masih adem ayem saja. Syukur kalau cuma adem ayem, yang berbahaya ketika PDIP belum menyadari "curi start"-nya Partai Golkar ini.

Sejatinya PDIP bersorak-sorai kegirangan tatkala kadernya yang jadi Presiden RI didukung partai lain, dalam hal ini Golkar, untuk Pilpres berikutnya. Tetapi, tidak ada manuver politik yang tidak dihitung, termasuk manuver Setya Novanto dengan "dukungan prematur"-nya yang terkesan "fait accompli". Selain mendahului, juga mengunci, sehingga seolah-olah dialah yang berjasa dan berkeringat telah mendukung Jokowi sejak awal.

Ujung-ujungnya, "telah berjasa" itulah yang akan digunakan sebagai kuncian bagi parpol lain untuk mendampingi Jokowi. Misalnya, tidak bisa lagi PDIP seenaknya menentukan calon wakil presidennya yang diperkirakan bukan lagi Jusuf Kalla. Terlebih lagi untuk meraup massa yang besar, mau tidak mau balon wapres harus dari partai yang memiliki basis massa yang besar. Golkar adalah jawabannya.

Apa yang dilakukan Setya dengan manuver-nya itu memang tidak dilarang, juga tidak bisa disalahkan. Soal etis tidaknya pun masih bisa diperdebatkan.

Namun yang tidak bisa dipungkiri, politik adalah seni "segala hal" termasuk seni mencuri dan menyalip, dalam hal ini mencuri start dan menyalip di tikungan. Setya juga sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai pemenuhan hasrat berkuasanya partai politik sekaligus strategi politiknya. Dan, itu tidak dilarang.

Jika kemudian PDIP ngambek dan "menendang" Jokowi, Golkar telah menyiapkan diri sebagai kendaraan menuju Pilpres 2019. Ini sesungguhnya yang dinantikan Golkar.

Selaku pemilik kader yang kini duduk sebagai Presiden, PDIP harus selalu mengasah kepekaan dan nalurinya, setidak-tidaknya naluri bahwa dia sedang tidak didahului atau dilangkahi partai lain secara diam-diam. Kursi bakal wapres di Pilpres 2019 masih terbuka dan ibarat gadis cantik, siap diincar pria normal manapun.

Jangan sampai setelah kasus "Papa Minta Saham" mereda, nanti muncul lagi istilah baru berupa "Papa Minta Wapres" di saat-saat Pilpres semakin mendekat.