Arcandra Tak Senyaman Prabowo dan Habibie

Senin, 15 Agustus 2016 | 17:40 WIB
0
737
Arcandra Tak Senyaman Prabowo dan Habibie

Nama Arcandra Tahar menjadi "trending topic" beberapa hari lalu dan bisa jadi sampai sepekan mendatang. "Muka Padang" menjadi kosa kata baru terkait penegasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu saat ditanya status kewarganegaraannya.

"Lihat muka saya apa? Orang Padang begini," katanya kepada sejumlah wartawan di Istana, Sabtu 13 Agustus 2016 lalu.

Penegasan Arcandra jelas tidak nyambung dengan penjelasan yang ingin dikehendaki publik, apakah benar ia telah menjadi warga negara Amerika Serikat sejak 2012 lalu. Publik ingin jawaban, "ya" atau "tidak".

Jika jawabannya "tidak", maka persoalan selesai, "case closed". Namun jika pertanyaannya '"ya", ini ada masalah besar, terbentur dan terantuk Undang-undang Kewarganegaraan yang tidak mengakui dwikewarganegaraan alias kewarganegaraan ganda.

Jika seorang warga negara Indonesia mendapatkan kewarganegaraan negara lain bagaimana pun caranya, otomatis yang bersangkutan bakal kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Undang-undang bicara demikian. Berkewarganegaraan ganda beda dengan beristri ganda (poligami) yang bahkan bisa diakui sampai empat istri tanpa harus meninggalkan istri-istri sebelumnya.

Lalu, sama atau bedakah kasus Arcandra dengan mantan Presiden BJ Habibie yang diisukan berkewarganegaraan Jerman dan mantan calon Presiden Prabowo Subianto yang menjadi warga kehormatan Yordania?

Tentu saja menyebut dua nama itu, Prabowo dan Habibie, sensitivitas sebagian warga negara muncul tiba-tiba dan bawaannya tidak bisa terima, khususnya jika menyebut nama Prabowo. Para warga negara pecinta Prabowo misalnya berargumen bahwa memang benar Prabowo sempat ditawarkan Raja Yordania untuk menjadi warga negara kehormatan, tetapi konon Prabowo menolaknya.

"Minimal tunjukkan paspor Jordania Pak Prabowo sebagaimana paspor Amerika Arcandra yang banyak beredar," demikian kilah pecinta Prabowo sebagaimana banyak tersiar di media sosial Facebook.

Pada saat Habibie diangkat sebagai Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto pada 1998, media Jerman menyebut Habibie sebagai "Orang Kita (Unsere Mann) di Jakarta". Tetapi, publik tidak meributkannya. Mungkin karena sosial media belum lahir. Juga sebagian warga negara Indonesia di sini mengatakan, Habibie memang ditawarkan sebagai warga negara kehormatan Jerman, tetapi dia menolaknya.

Demikian pula saat Prabowo mencalonkan diri sebagai Presiden RI tahun 2014, juga tidak ada yang meributkannya, meski media sosial sudah lahir dan cikal-bakal media Jonru baru akan bertumbuh. Prabowo disebut-sebut pernah mendapatkan status kewarganegaraan Yordania pada 1998 dari Raja Yordania Hussein melalui dekrit raja yang isinya menganugerahkan status kewarganegaraan kepada seorang warga negara Indonesia bernama Prabowo Subianto Kusumo.

Habibie dan Prabowo selamat dari badai "amuk massa" media sosial dan tidak ada yang mempersoalkan kewarganegaraan ganda mereka jika benar mereka memilikinya. Berbeda dengan si "Muka Padang" Arcandra, yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan banyak orang.

Lalu mengapa Arcandra diributkan dan menjadi bulan-bulanan "bully" yang merembet pada dugaan ketidakmampuan pemerintah Jokowi, melalui Badan Intelijen Negara (BIN), mendeteksi orang yang akan dijadikannya petinggi negeri sekelas menteri?

Direkayasa atau tidak, pekerjaan intelijen atau bukan, kasus ini baik muncul ke permukaan untuk diketahui publik. Warga biasa menjadi sadar akan jati dirinya sebagai warga negara. Betapa pentingnya memiliki identitas, memiliki jati diri bangsa, dan betapa berharganya NKRI.

Orang-orang Indonesia yang berdiaspora ke luar negeri dan berada di negeri orang untuk waktu yang sekian lama harus lebih sadar dan mawas diri mengenai kewarganegaraannya. Hidup memang pilihan, tidak bisa mengambil dua-duanya.

Memang bagi mereka yang berdiaspora lebih nyaman berkewarganegaraan ganda, sebab selain mempermudah urusan ulang-alik ke negeri sendiri, mereka sesungguhnya anak bangsa yang masih mencintai negerinya sehingga sulit baginya untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesia.

Tetapi hukum tidak bisa menampung keinginan kaum diaspora ini, sebagaimana yang terjadi pada Arcandra. Aturan tidak boleh memiliki kewarganegaraan ganda harus diamandemen (diubah) jika kaum diaspora seperti Arcandra masih ingin menjadi warga negara Indonesia dengan paspor NKRI.

Pemerintah memang wajib menjelaskan untuk kasus yang sangat penting bin genting ini; soal jati diri bangsa!

Arcandra sebagai aset bangsa, itu jelas. Tidak mungkin Presiden Jokowi membujuknya datang ke Indonesia kemudian menunjuknya sebagai Menteri ESDM. Bahwa dari sisi intelijen kecolongan, harus diakui "ya". Intelijen seharusnya bekerja lebih tangkas dan cermat. Menyisir biodata seseorang tidaklah sulit, tidak seperti mencari jarum di tumpukan jerami, apalagi sekaliber Arcandra untuk dijadikan pejabat negara.

Merisak dan merundung Arcandra juga tidak ada manfaatnya, toh dia anak bangsa berprestasi di bidang yang saat ini dibutuhkan negara. Yang dibutuhkan adalah penjelasan resmi pemerintah Jokowi, meskipun isu ini muncul atas pekerjaan orang-orang iseng yang ingin "mengitik-itik" pemerintah saja.

Bolehlah sesekali pemerintah menjelaskan persoalan yang diembuskan "orang iseng" tanpa niat baik membangun bersama bangsa sebelum memutuskan hal penting seperti mengganti Kepala BIN, misalnya.

***