Berburu DKI Jakarta Melepas Jatim, PDIP Galau

Selasa, 9 Agustus 2016 | 20:08 WIB
0
413
Berburu DKI Jakarta Melepas Jatim, PDIP Galau

Menaikkan Tri Rismaharini alias Risma ke atas ring Pilkada DKI 2017 menjadi "plus-minus" bagi PDIP. Plusnya, kapabilitas Risma diyakini akan bisa menandingi juara bertahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, meski secara elektabilitas dan popularitas Risma masih jauh di bawah Ahok. Minusnya, PDIP bakal melepas Jawa Timur yang tak kalah prestisius dengan Jakarta.

Situasi dilematis inilah yang membuat PDIP galau. Indikasinya, sampai sekarang partai berlambang banteng nyeruduk itu belum juga berani mengumumkan calonnya, padahal secara syarat minimal 22 kursi DPRD sudah terpenuhi.

Sebagai pemilik 28 kursi DPRD DKI, PDIP tidak harus menjalin koalisi dengan siapapun, juga tak usah hirau dengan manuver "7 Pendekar dari Rawabuaya" yang kemarin mendeklarasikan Koalisi Kekeluargaan alias KoKeluar. Tetapi sinyal percaya diri belum juga terlihat dari markas besar partai di LA ini. Bukan Los Angeles, tetapi Lenteng Agung.

Selain Jakarta, yang tidak kalah seksi dari sisi berita sebenarnya Pilkada Jawa Timur 2018. Namun karena dari sisi waktu Pilkada Jakarta lebih dahulu dilaksanakan dan para kandidatnya adalah "newsmaker", maka magnet politik lokal untuk sementara tersedot ke provinsi khusus di utara Jawa bagian barat ini.

Menengok sejenak pada konstelasi politik lokal Jatim, saat ini calon kuat yang menjadi "sri panggung" bukanlah perempuan, melainkan seorang pria. Maka sebutan yang paling pas untuknya adalah "kangmas panggung". Dan pria yang sangat populer bin moncer saat ini adalah Gus Ipul.

Dari namanya, dia sodaraan sama Gus Dur yang mantan Presiden RI itu. Karena sodaraan sama Gus Dur, Gus Ipul tentulah berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) tradisional yang kuat dan mengakar di Jatim. Gus Ipul tidak lain Saifullah Yusuf yang kini menjabat wakil gubernur Jatim di bawah Gubernur Soekarwo.

Soekarwo sudah dua kali menjabat gubernur Jatim sehingga tidak mungkin mendaftarkan kembali untuk ketiga kalinya, kecuali dia berhasil mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi agar Jatim diberi kekhususan boleh menjabat gubernur sampai tiga kali berturut-turut. Intinya, Soekarwo harus keluar gelanggang. Wakilnya, Gus Ipul, digadang-gadang sebagai calon kuat gubernur Jatim berikutnya menggantikan kedudukannya.

"Nasib" Gus Ipul dari sisi popularitas hampir sama dengan Ahok di Jakarta. Sama-sama posisinya pernah menjadi wakil gubernur, namun mereka berbeda agama dan suku bangsa, yang tidak perlu diributkan. Mereka juga sama-sama "newsmaker" di lokal masing-masing, dan masing-masing punya istri dan anak.

Yang membedakan antara keduanya adalah, Ahok lebih beruntung karena dari wakil gubernur bisa langsung jadi gubernur setelah gubernur sebelumnya, Joko Widodo alias Jokowi , menjadi Presiden RI. Gus Ipul tidak mungkin mengikuti langkah Ahok, sebab sulit bagi Cak Karwo untuk menjadi Presiden RI sekarang ini.

Namun demikian, di Jatim yang moncer bukan hanya Gus Ipul. Ada anak muda yang lebih junior darinya, yakni Abdullah Azwar Anas yang sekarang menjabat Bupati Banyuwangi. Juga ada Khofifah Indar Parawansa yang pernah dua kali bertarung di ring Pilkada Jatim meski nasibnya hampir sama dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di ring Pilpres, kalah secara menyakitkan dalam dua kali pertarungan di level nasional.

Selain tiga nama itu, tak pelak lagi nama Tri Rismaharini alias Risma yang kini menjabat walikota Surabaya, adalah "bintang baru" yang bersinar terang di ujung timur Pulau Jawa ini. Tanpa harus dipoles banyak pun, nama Risma adalah jaminan mutu bagi Jatim bahkan saat harus melakukan "ultimate fight" melawan Gus Ipul.

Dengan Risma, PDIP tak harus repot-repot melamar Gus Ipul yang sudah punya basis partai dan massa yang masif. PDIP bisa mencalonkan sendiri Risma, tinggal cari gandengannya saja yang bisa saling melengkapi.

Bayangkan jika punai yang sudah di tangan tiba-tiba harus lepas ketika Risma diseret ke Jakarta untuk dihadapkan melawan Ahok. Iya kalau menang. Kalau kalah, bisa-bisa PDIP tidak mendapat kedua-duanya; Jakarta maupun Jatim. Nelangsa, bukan?

Politik Kuasai Pulau Jawa

Sekadar memetakan, dalam bayangan PDIP dalam konteks kekuasaan dan diterjemahkan sebagai menguasai Pulau Jawa, maka usaha PDIP tinggal selangkah lagi. Ketika gubernur DKI Jakarta masih dipegang Jokowi dan kemudian Ahok, Jakarta adalah PDIP. Demikian juga Banten dan Jawa Tengah yang sudah dikuasai PDIP. Jawa Barat tinggal melamar Ridwan Kamil saja, umpanya, dan Pulau Jawa pun akan "memerah" alias menjadi merah.

Maka ketika Jakarta dan Jawa Timur harus lepas, penguasaan politis atas Pulau Jawa menjadi mengendur dan bahkan bisa hilang kendali.

Itu sebabnya hal paling realistis bagi PDIP adalah menyatakan dukungan kepada Ahok sebagai calon gubernur petahana DKI Jakarta, mempertahankan Risma di Surabaya untuk merebut kursi Jatim-1 di Pilkada 2018, menyuruh Rano Karno bertarung kembali merebut kursi Banten-1, lalu mengelus-elus Ridwan Kamil dengan senonoh untuk Pilkada Jabar yang juga akan digelar pada 2018. Lengkap, bukan?

Variasi kemungkinan inilah yang menjadikan PDIP galau tingkat tinggi sekaligus menjawab mengapa sampai sekarang PDIP belum mengumumkan sosok yang pasti untuk calon gubernur DKI Jakarta.

***