Waktu

Senin, 8 Agustus 2016 | 16:17 WIB
0
473
Waktu

Saya punya jam tangan baru. Maaf, bukan untuk pamer barang baru, hanya sekedar cerita tentang jam tangan saja, penunjuk waktu yang biasa nempel di pergelangan tangan kanan saya. Bukan jam tangan mewah kok, harganya pun murah. Tetapi, cukuplah nikmat untuk dilihat. Artistik, karena talinya terbuat dari bahan transparan sehingga kulit tangan di bawahnya kelihatan.

Saya sering memperhatikan jam tangan. Ada jarum kecil yang bergerak atas nama denyut detik, berkeliling dengan durasi satu menit setiap satu putaran. Ada jarum lebih panjang sebagai penunjuk menit yang berputar dengan durasi satu jam setiap satu putaran. Ada juga jarum terpendek sebagai penunjuk jam yang berputar dengan durasi 12 jam setiap satu putaran .

Percaya atau tidak, saya sama sekali tidak terkesan dengan jarum penunjuk jam maupun jarum penunjuk menit. Saya lebih terkesan dengan jarum penunjuk detik! Loh, kok bisa? Saya punya sedikit cerita....

Tidak seperti anak saya yang sudah memakai jam tangan saat kelas tiga sekolah dasar, saya terbilang terlambat mengenakan jam tangan. Barangkali ini persoalan zaman dan kesempatan. Zaman saya hidup di kampung dulu, jam tangan tidaklah terlalu diperlukan. Rotasi kehidupan cenderung dibiarkan begitu saja. Berjalan alami. Waktu tidak terlalu mengekang kehidupan. Karenanya, orang tidak terlalu butuh jam tangan. Tidak tertekan karena waktu.

Juga kesempatan, karena orangtua saya tidak pernah sekalipun terpikir untuk membelikan anaknya, saya, sebuah jam tangan, yang dianggap suatu kemewahan. Jadi, pertama kali saya mengenakan jam tangan saat menginjak kelas dua sekolah menengah pertama, itupun karena salah seorang paman "membuang" jam tangannya, dan saya izin untuk memungut dan memakainya.

Aduh, selain terasa bergaya, dengan jam dengan merek "abal-abal" itu saya menjadi sadar waktu. Saya sempat diledek teman-teman karena badan saya berat sebelah, cenderung berat ke lengan kiri dimana saya melilitkan jam tangan buangan itu. Hahaha.... bisa saja kawan-kawan saya itu.

Nah, setelah saya punya jam tangan, saya bisa mengukur waktu kapan saya harus bangun pagi, kapan saya harus berangkat sekolah, kapan saya harus mencegat angkot ke kota Tasikmalaya untuk kursus gitar, kapan saya janjian ketemuan pacar saya di ujung lorong sekolah, dan seterusnya. Tidak terasa, waktu sudah mengatur-atur saya, kendati saat itu saya tidak pernah menyadarinya!

Seiring dengan bergulirnya kehidupan, entah berapa kali sudah saya gonta-ganti jam tangan. Terlebih lagi ketika saya sudah berpenghasilan, saya sesekali menyampatkan diri membeli jam tangan yang kira-kira terjangkau oleh kocek.  Dan seiring berjalannya waktu (nah, lagi-lagi soal waktu) pula, saya makin menyadari keberadaan jam tangan yang selalu lekat pada pergelangan tangan kanan saya.

Saya sadar, betapa seringnya dalam keseharian saya diatur-atur oleh waktu, oleh jam tangan saya. Tidak pernah saya bisa membantah kehendak waktu yang berjalan, tidak pernah saya mampu meminta waktu berhenti, apalagi meminta waktu berjalan mundur.

Saya tidak kuasa. Saya dikuasai waktu. Hidup saya dikuasai jam tangan yang tetap melekat pada pergelangan tangan saya. Saya kadang tertekan karena jam tangan. Meski kadang-kadang benci atas dominasinya, saya tidak pernah membenci jam tangan, apalagi sampai mencampakkannya. Saya tetap membiarkan jam tangan menemani kehidupan saya sehari-hari.

Ketika ada undangan acara atau rapat manajemen di kantor, hal yang pertama saya tanyakan adalah, "Kapan? Jam berapa?" Lagi-lagi, pertanyaan dalam konteks waktu. Ketika Hari "H"-nya sudah tiba, saya kerap melirik-lirik jam tangan saya. Ah, masih sejam lagi... ah, masih sepuluh menit lagi.... yah, sudah waktunya!

Tanpa saya sadari, waktu pada jam tangan saya begitu mendominasi kehidupan saya. Saya tak kuasa menyetopnya karena kopi saya belum habis, misalnya, apalagi memutar waktu ke belakang karena saya masih mau ngopi lebih lama. Tidak bisa.

Waktu begitu mendominasi kehidupan saya. Jam tangan, meski hanya sebuah benda mati, tetap seperti makhluk bernyawa yang kerap tersenyum puas saat saya tunduk pada kuasanya.

Hemmmm.... hampir lupa. Tadi saya bilang, saya paling terkesan (baca:takut) pada jarum penunjuk detik. Mengapa? Alasannya sederhana.... setiap kali saya memandang jarum kecil penunjuk pergantian detik, jatah umur saya berkurang detik demi detik. Satu detik bergulir, satu detik pulalah jatah umur saya berkurang!

Mengerikan, bukan? Jawabannya bisa "ya", bisa juga "tidak". "Tidak", kalau saya ikhlas dan bisa memanfaatkan waktu untuk kebaikan, untuk hal-hal yang bermanfaat; buat diri, keluarga, maupun sesama. "Ya", kalau saya menghambur-hamburkan waktu untuk kesenangan semu semata, untuk ambisi pribadi semata, tanpa bisa berbagi waktu sedikit untuk keperluan sesama, apalagi menghabiskan waktu untuk dendam dan menyakiti orang.

Saya tidak pernah membenci jam tangan penunjuk waktu yang membelit pergelangan tangan kanan saya, meski saya tahu betapa dia mengatur dan mendikte kehidupan saya dari berbagai sudut. Saya tidak pernah membenci waktu, kendati pada waktunya nanti... waktu jualah yang akan merenggut hidup saya.

Jalannya hidup bisa berhenti, sementara waktu tidak akan pernah berhenti berjalan.

Sekarang... saya lebih bisa menghargai waktu, selagi waktu masih memberi saya kesempatan!

***