Manusia Lemah, Manusia Serakah

Kamis, 4 Agustus 2016 | 21:20 WIB
0
798
Manusia Lemah, Manusia Serakah

Sesungguhnya manusia itu makhluk yang lemah. Mungkin ada yang protes kalau saya mengatakannya demikian.

"Tidak bisa, manusia justru makhluk hebat dan paling perkasa," demikian kira-kira protes yang mungkin saya terima. Boleh jadi memang benar apa kata banyak orang, bahwa manusia adalah makhluk paling perkasa di dunia ini. Mungkin hanya saya saja yang berpikir sebaliknya.

Tentu saya harus menunjukkan bukti bahwa apa yang saya katakan, yaitu manusia makhluk yang lemah, mengandung kebenaran. Paling tidak, sedikit kebenaran karena saya memandangnya dari sisi yang terbatas. Sangat terbatas.

Sebagai contoh, saya melihat ketika bayi sebagai anak manusia dilahirkan ke dunia. Terlihatlah, betapa bayi ini lahir sebagai makhluk yang sangat lemah, tidak berdaya, tidak bisa apa-apa, selain hanya merengek dan menjerit tatkala perutnya lapar.

Ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, mungkin satu sampai dua tahun anak manusia belum bisa makan sendiri, belum bisa mandiri, dan tidak bisa mencari makan sendiri. Saat dilahirkan, bayi tidak serta-merta bisa berdiri, apalagi berlari. Untuk bisa membolak-balikkan badan pun cukup makan waktu lama.

Bandingkan dengan bayi kucing atau kambing yang baru lahir. Bayi kucing atau kambing memang terlihat buta saat dilahirkan. Terlihat lemah, tetapi hanya sebentar saja. Sebagai gantinya, mereka punya naluri untuk bisa langsung berdiri. Memang masih terhuyung-huyung seperti orang mabuk, tetapi itu upaya luar biasa anak kambing atau anak zebra untuk bisa berdiri tegak. Baru setelah mulai bisa menopang tubuhnya, ia berusaha berjalan dan dengan dibimbing nalurinya ia berjalan perlahan mencari susu ibunya.

Demikian pula bayi-bayi kucing. Disebut "bayi-bayi" (banyak) karena jarang induk kucing melahirkan anak tunggal. Ditinggal sebentar saja oleh ibunya, mereka berusaha merangkak mencari makan sendiri. Pun anak itik beberapa saat usai menetas, mereka bisa langsung diajak ibunya berenang di kolam. Kalau anak manusia dipaksa berenang, yang terjadi malah kematian akibat tenggalam ke dasar kolam.

Apakah itu bukti bahwa manusia makhluk yang lemah?

Seperti saya katakan sebelumnya, jika saya melihatnya dari sisi yang terbatas, tampaklah bahwa bayi manusia kalah kuat dibanding bayi kucing, bayi kambing atau itik. Lihat pula dari sisi si ibu manusia yang melahirkan. Dengan susah seorang ibu mengandung sembilan bulan setelah melalui rintangan yang berat bukan kepalang. Kepala pening dan muntah-muntah hanya salah satunya.

Saat perut si ibu membesar, ingin bisa tidur tengkurap cuma khalayalan, paling tidak memiringkan badannya ke satu sisi untuk sekedar merayu pinggang yang sakit bukan kepalang. Ia hanya bisa tidur telentang memandang langit atau langit-langit.

Belum lagi tradisi yang dipegang sebagian masyarakat mengharuskan jabang bayi yang baru dikandung 4 bulan atau 7 bulan sudah harus memasuki ritual yang kadang merepotkan, tidak jarang menyedot biaya yang tidak sedikit. Pendeknya, ribetlah.

Simak pula saat si ibu melahirkan bayi tunggal. Sedemikian banyak orang terlibat saat persalinannya; mulai dukun beranak, bidan, sampai dokter kandungan, semua beraksi menyelamatkan si bayi. Pendarahan yang di luar batas bisa merenggut nyawa si ibu, bahkan nyawa si ibu dan bayinya sekaligus.

Pernah mendengar induk kucing atau kambing mati saat persalinan? Pun bayi-bayi yang mereka lahirkan, tidak terdengar mati sebelum menginjak bumi. Dengan mengedan dan mengerang luar biasa, seorang bayi manusia yang lemah lahir ke dunia dengan susah payah.

Bandingkan dengan kucing. Induk kucing terlihat sabar membawa bayi-bayi yang dikandungnya di dalam perutnya yang membuncit. Ia juga tidak pusing memikirkan siapa ayah dari jabang bayi yang dikandungnya. Meski demikian, ia tidak lelah mencari makan ke tempat lain kalau majikan kurang memberinya makan. Belum lagi dia harus kuat mengusir kucing jantan lainnya yang masih juga "berhasrat" kendati perutnya sudah membuncit.

Mungkin agak sedikit berbeda dengan ibu si jabang bayi yang tidak tega menolak "hasrat" calon bapak si bayi yang dikandungnya kendati perutnya sudah membuncit. Dan hebatnya si ibu kucing, saat melahirkan bayi-bayinya, dia sama sekali tidak memerlukan bantuan atau pertolongan manusia, bahkan pertolongan sesama kucing. Tidak perlu bantuan dukun beranak, bidan atau dokter kandungan. Dia cuma butuh tempat yang tersembunyi agar bayi-bayi yang dilahirkannya bisa aman.

Harap dicatat, jarang induk kucing melahirkan bayi tunggal. Ia bisa melahirkan bayi minimal tiga atau lebih. Toh ia melahirkan bayi-bayinya itu bahkan tanpa erangan atau jeritan sekalipun. Sunyi saja. Tahu-tahu, suasana sudah dipecahkan oleh isak-tangis dan rengek bayi-bayi kucing kalau itu diartikan sebagai tangisan atau rengekan meminta makan.

Naluri berkelahi

Apakah itu semua menandakan bahwa secara fisik manusia kalah kuat dibanding khewan?

Kalau dipandang dari satu sudut sebagaimana saya katakan tadi, dalam hal ini proses kelahiran, jelaslah manusia menunjukkan diri sebagai makhluk lemah. Adakah kelemahan lain manusia dibanding khewan yang menunjukkan atau memperkuat bukti bahwa manusia itu memang makhluk yang lemah?

Ada, yaitu perkelahian. Kucing paling sering berkelahi, saling seringai, saling cakar untuk memperebutkan makanan. Kadang kucing jantan berkelahi memperebutkan betina sampai salah satu yang lemah terusir oleh kucing jantan yang lebih kuat.

Singa demikian pula, sering berkelahi dengan sesamanya untuk berebut wilayah kekuasaan. Namun sejauh itu, di lingkungan di mana saya tinggal dengan populasi kucing yang lumayan tinggi, belum pernah kejadian melihat seekor kucing mati gara-gara berkelahi. Singa akan membiarkan lawan potensial yang dikalahkannya pergi untuk mencari wilayah lainnya. Tidak pernah singa mengejar lawan sejenis yang sudah menyerah kalah kemudian membunuhnya secara kejam.

Bagaimana kalau manusia berkelahi memperebutkan wilayah atau bahkan berebut sesuap nasi? Tidak jarang berakhir dengan kematian, bukan?

Manusia cenderung akan merasa aman jika lawan yang mengancam dirinya "dihabisi" daripada sekadar terusir begitu saja. Wilayah dan periuk nasi tidak boleh diganggu, sebab itu sumber kehidupan. Maka mempertahankan wilayah dan periuk nasi kerap disertai pembunuhan, penyingkiran lawan secara kejam.

Tampaknya sejarah pembunuhan purba sebagai prilaku tanpa belas kasih yang dipraktikkan anak Adam akan terus bergulir sampai manusia modern seperti sekarang ini. Kadang pembunuhan dianggap sebagai metoda ampuh untuk melenyapkan lawan. Kerap pula pembunuhan keji dilakukan untuk memaksakan kehendak, memaksakan ideologi tertentu, bahkan memaksakan "kewajiban" atas perintah agama.

Pembunuhan selain dianggap metoda, juga sebagai budaya dan kewajiban. Mengerikan, bukan? Membunuh atau melenyapkan nyawa saudara sendiri sudah dipraktikkan dua bersaudara anak Adam untuk berebut perempuan cantik calon istri masing-masing. Bahkan, seorang ibu manusia bisa melenyapkan nyawa bayi merah yang dilahirkannya agar terhindar dari aib atas bayi yang tidak dikehendakinya.

Sekejam-kejamnya ibu singa, tidak pernah ia membunuh anaknya sendiri, bukan? Apakah secara "iman" ini menunjukkan manusia sebagai makhluk yang lemah dibanding "keimanan" khewan dalam perkara melenyapkan nyawa lawan? Saya harus menjawabnya, "ya", kalau ini sekadar dipandang dari sudut sempit.

Manusia serakah

Satu contoh lagi kelemahan manusia sebagai makhluk, yaitu dalam perkara mencuri. Kucing mencuri sekadar mengisi perutnya saja. Kalau Anda sediakan sepuluh kerat daging sebesar kepalan orang dewasa, kucing hanya mencurinya satu kerat saja, tidak bisa mencuri dua kerat sekaligus atau lebih, apalagi seluruhnya.

Beda dengan manusia, ia bisa mencuri daging impor berkontainer-kontainer tanpa memikirkan apa yang diperbuatnya sebagai halal atau haram. Kucing tidak akan pernah mencuri uang meski ia berada di gudang penyimpanan uang. Manusia? Bergudang-gudang uang bisa ia sikat seorang diri dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan kelompoknya.

Perkara kemampuan mencuri, kelihatannya manusia lebih perkasa dibanding kucing atau khewan lainnya yang hanya mencuri sebatas kebutuhan perutnya saat ia lapar. Manusia? Bahkan ia bisa mencuri di saat perutnya masih kenyang.

Boleh jadi "keimanan" kucing dalam hal mencuri lebih kuat, karena ia masih "memikirkan" kebutuhan manusia, tidak tamak, dan tidak asal kenyang sendiri. Dalam perkara yang sama, yakni mencuri, iman manusia terbukti sangat-sangat lemah, karena ia tidak memikirkan nasib manusia lainnya, ia tidak peduli orang lain sengsara karenanya. Pokoknya sekali ada kesempatan mencuri, ya habisi saja dengan segala cara.

Apakah ini menunjukkan kekuatan atau kelemahan? Kalau melihatnya dari sisi "keimanan", saya melihatnya sebagai kelemahan. Manusia yang imannya lemah, yang tidak sekuat "iman" kucing.

Tulisan ini sekadar pembuka jalan diskusi, apakah yang saya katakan ini sebagai suatu kebenaran atau cuma isapan jempol belaka. Saya memang tidak memaksa pembaca untuk membenarkan atau menyangkal, sekadar mengajak berpikir dari satu sudut pandang yang sempit, sebagaimana saya wanti-wanti mengatakannya di awal tulisan.

***