Punya Program untuk Membangun Jakarta, Tunjukkan Saja!

Selasa, 26 Juli 2016 | 12:40 WIB
0
553
Punya Program untuk Membangun Jakarta, Tunjukkan Saja!

Pemilihan Kepala Daerah untuk menjaring Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya akan berlangsung tahun depan. Namun, gaung dan getarnya sudah terasa saat ini. Tidak ada Pilkada lainnya di Tanah Air ini yang seheboh Pilkada Jakarta. Mengapa?

Pertama, karena Jakarta dianggap miniatur Indonesia di mana seluruh suku bangsa yang menjadi kekayaan Indonesia ada di wilayah seluas 664 kilometer persegi ini.

Kedua, sering disebut 70 persen perputaran uang negeri ini terjadi di Jakarta dan karenanya perputaran ekonomi ada di sini.

Ketiga, Jakarta adalah Ibukota Negara di mana simbol-simbol Negara ada di kota ini; mulai Istana Negara, kantor-kantor kementrian dan BUMN, kantor kedutaan besar negara-negara sahabat, dan simbol-simbol kemajuan lainnya. Tidak salah kalau gengsi Jakarta sebagai Ibukota sekaligus kota metropolitan melekat sejak lama.

Keempat, boleh jadi jabatan Gubernur DKI Jakarta lebih bergengsi dari sekadar Menteri Negara. Buktinya, terlepas dari motif apapun, ada dua mantan menteri yang rela “turun derajat” sebagai bakal calon gubernur yang akan bertarung di Pilkada di Jakarta nanti.

Serenceng jawaban kelima, keenam, ketujuh dan seterusnyanya masih akan Anda temukan dengan mudah. Sebagai ilustrasi, cukuplah sampai empat jawaban di atas saja.

Sebagai petahana, Basuki Tjahaja Purnama boleh disebut diuntungkan oleh garis tangan selain tandatangan. Garis tangan adalah keberuntungan, yakni keberuntungan Ahok, sapaan akrabnya, yang pernah mengakui dirinya “hoki”. Hoki karena Ahok yang semula Wakil Gubernur di era Gubernur Joko Widodo, langsung menjadi Gubernur tatkala boss-nya itu menjadi Presiden RI.

Selain itu, Ahok juga diuntungkan dengan tandatangan dukungan warga melalui Teman Ahok yang berusaha mengumpulkan KTP dalam jumlah tertentu sebagai syarat jalur perseorangan. Tak pelak lagi, garis tangan dan tanda tangan ada pada Ahok saat ini.

Keuntungan lain Ahok sebagai petahana. Meski hanya melanjutkan jabatan gubernur tersisa yang ditinggalkan Jokowi, adalah senjata “telah” yang dimilikinya. Kelak senjata “telah” ini akan berhadapan dengan para pesaing atau penantangnya, siapapun mereka, dengan senjata “akan” pada kampanye atau debat terbuka yang biasanya disiarkan langsung televisi itu.

Warga Jakarta yang telah memiliki hak pilih atau warga lainnya di seluruh dunia yang minat terhadap berlangsungnya proses Pilkada DKI Jakarta bakal dihadapkan pada pilihan “telah” dan “akan” ini. “Telah” senjata petahana dalam hal ini Ahok, sedangkan “akan” senjata para penantangnya. “Telah” biasanya nyata, sementara “akan” sudah pasti baru sekadar wacana.

Sesungguhnya, perang “telah” melawan “akan” ini telah dilancarkan sejak sekarang melalui berbagai jenis media dan menjadi makanan sehari-hari pembaca, khususnya oleh para pemilik senjata “akan”.

Mari kita simak senjata “akan” sebagai amunisi yang telah dilancarkan sejak dini oleh mereka yang berkhidmat sebagai pesaing Ahok....

Yusril Ihza Mahendra melontarkan gagasan “akan” melikuidasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta  sehingga menjadikan Jakarta sebagai daerah khusus yang dipimpin pejabat setingkat menteri.

Marco Kusumawijaya menyampaikan ide “akan” mengadopsi paradigma ekologis dalam membangun kota Jakarta.

Musisi Ahmad Dhani yang semula digadang-gadang Partai Kebangkitan Bangsa “akan” memasukkan pendidikan seni dan budaya sebagai kurikulum wajib di DKI Jakarta bagi para pelajar. Selain itu, dia “akan” akur dengan DPR jika terpilih sebagai gubernur.

Sandiaga Salahudin Uno “akan” menciptakan lapangan kerja baru dan “akan” mengatasi harga sembako yang tinggi dengan cara memotong distribusi barang.

Djarot Syaiful Hidayat yang kini menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta berjanji “akan” melakukan kerja nyata jika terpilih sebagai Gubernur, sebagaimana terlihat dalam kampanye yang dilakukan Sahabat Djarot.

Abraham Lunggana yang akrab disapa Haji Lulung berjanji “akan” mempercepat proses pembangunan Jakarta dan “akan” membuat program yang memungkinkan penyerapan anggaran bisa dilakukan dengan sebesar-besarnya.

Hasnaeni Moein yang dijuluki “Wanita Emas” berjanji “akan” melakukan pembangunan tujuh kali lebih cepat dari yang Ahok lakukan sekarang ini.

Mantan Menpora di zaman SBY, yakni Adhyaksa Dault, berjanji “akan” membangun Jakarta ke arah yang lebih baik.

Ahmad Taufik dan Mujtahid Hashem, dua warga Tanah Abang, saat mendeklarasikan diri sebagai bakal calon gubernur dan wakilnya berjanji “akan” bangkit melawan konglomerat hitam yang mereka sebut menguasai Jakarta.

Mungkin masih ada bakal calon gubernur DKI lainnya yang tidak tersebut di sini. Akan tetapi yang jelas, semua para pesaing atau Ahok ini punya senjata program berupa “akan” dalam setiap kampanye, pun dalam setiap pernyataan pers kepada sejumlah media.

Tidak pelak lagi, perang terbuka antara “telah” milik Ahok melawan “akan” milik para lawannya, akan terus berkobar dan mencapai titik kulminasi saat debat terbuka di depan publik nanti.

Ahok, tentu saja punya senjata “akan” lainnya sebagai senjata simpanan. Setidak-tidaknya Ahok berjanji “akan” melanjutkan pembangunan kota Jakarta di segala bidang yang “telah” dilakukannya selama ini. Sebagai senjata simpanan, tentunya hanya digunakan di saat diperlukan saja.

Memang agak repot bagi para penantang Ahok yang tidak bisa mengatakan “telah” dan hanya bisa mengatakan “akan” dalam hal membangun kota Jakarta ini. “Akan” masih berupa cita-cita dan wacana, sementara “telah” nyata adanya. Pertarungan menjadi tidak seimbang dan Ahok mendapat hoki dari “telah” versus “akan” ini.

Namun demikian, para penantang Ahok, siapapun mereka, jangan berkecil hati hanya karena memiliki senjata “akan” yang baru berupa wacana dan masih jauh dari realita. Percayalah, “akan” juga bisa mengalahkan “telah”.

Tunjukkan saja

Caranya? Sederhana. Yakni, cukup dengan menunjukkan (show), tetapi usahakan jangan  mengatakan  (tell).   Meminjam istilah jurnalistik, “Show it, do not tell”.

Tunjukkan bahwa apa yang “telah” Ahok kerjakan selama menjabat sebagai Gubernur DKI sesungguhnya kurang bermanfaat bagi masyarakat luas. Tunjukkan bahwa kebijakan Ahok tidak tepat sasaran dan banyak mudarat daripada manfaatnya. Tunjukkan bahwa Ahok sebenarnya tidak bisa mengatasi banjir yang bukannya semakin surut tetapi semakin menenggelamkan kota Jakarta.

Tunjukkan pula bahwa kemacetan lalu-lintas bukan semakin lancar malah semakin mampat di mana-mana. Tunjukkan pula bahwa tidak ada upaya Ahok untuk mengatasi banjir dan kemacetan itu selama ia menjabat.

Tunjukkan bahwa program “penggeseran” sebagai pengganti “penggusuran” penduduk yang biasa dilakukan rezim gubernur sebelumnya juga membuat warga Jakarta resah meski diberi tempat yang nyaman.

Jangan lupa tunjukkan pula bahwa Ahok tidak membuat alih fungsi waduk dan kawasan resapan berhasil. Tunjukkan bahwa taman-yaman kota dan kawasan hijau Jakarta semakin sempit atau tergusur untuk pembangunan gedung-gedung beringkat.

Tunjukkan bahwa pegawai di lingkungan pemerintah tidak mendapat fasilitas dan gaji yang baik. Tunjukkan bahwa pelayan publik sedemikian parah dan tidak ada kartu pintar serta pendidikan gratis bagi anak-anak di Jakarta.

Tunjukkan saja bahwa tidak ada program pemberantasan kemiskinan bagi penduduk Jakarta dan berobat ke rumah sakit semakin susah dan mahal.

Ya, tunjukkan saja! Bagaimana cara menunjukkannya? Tunjukkan dengan fakta, bukti, dan angka-angka. Fakta bisa menunjuk lokasi, hasil penelitian mutakhir, kajian, pemetaan, dan sebagainya. Bukti bisa menunjuk lokasi. Sedang angka diperlukan sebagai instrumen statistik untuk mendukung kebenaran suatu fakta.

Bagi para penantang Ahok, harus berpikir dua kali jika hendak melancakan serangan dengan politik identitas dan isu-isu bernuansa SARA alias Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Pasalnya, sudah terbukti politik identitas dan SARA gagal dan berakhir dengan posisi “senjata makan tuan”.

Merujuk pada Pilkada DKI Jakarta 2012 sebelumnya dan Pilpres 2014, politik identitas dan isu SARA gagal mencapai tujuannya, yaitu kemenangan. Lebih harus dipertimbangkan lagi apabila senjata itu digunakan di kota Jakarta yang dikenal sebagai melting pot budaya beraneka ragam suku bangsa.

Sudah sejak kelahirannya Jakarta dikenal sebagai kota plural, heterogen, dan rasional, bukan kota dengan penduduk yang homogen dalam segala aspek. Boleh jadi politik identitas dan SARA hanya efektif dilancarkan pada “enclave” tertentu dan karenanya bersifat niche.

Akan tetapi, untuk menarik perhatian warga Jakarta yang lebih moderat dan toleran di mana “enclave-enclave” hanya tinggal sejarah, cara menunjukkan jauh lebih efektif daripada sekadar mengatakan.

Sssst.... don’t tell, just show it!

**

Catatan: tulisan saya ini sudah ditayangkan sebelumnya di Kompas.com.