Psikologi Mantan

Selasa, 19 Juli 2016 | 11:53 WIB
0
507
Psikologi Mantan

Facebook dan Whatsapp telah mempertemukan jutaan pertemanan umat manusia yang terputus dan tercerai-berai, lalu berkumpul kembali dalam suasana berbeda setelah sekian lama terpisah jarak, ruang dan waktu. Dua aplikasi Internet itu adalah “lem” perekat dalam makna sesungguhnya.

 Sebagai situs pertemanan, Facebook menautkan dan merekatkan kembali pertemanan yang terpecah-belah. Sebagai aplikasi, Whatsapp memberi ruang eksklusif dalam kelompok terbatas.  Kopi darat menjadi ajang silaturahmi yang hangat di mana jabat tangan, peluk erat dan ciuman bersahabat berkelindan, menjadi sesuatu yang menyenangkan perasaan.

Dalam pertemuan ini, tidak terhindarkan bertemu mantan.

Mantan di sini tentu saja mantan pacar. Sebab sejatinya, tidak ada istilah mantan guru (yang ada mantan murid), mantan teman, apalagi mantan anak dan mantan orangtua. Mantan istri atau mantan suami, masih lumrah digunakan.

Agaknya, kata mantan tidak sembarangan bisa digunakan. Ia tidak bisa direkatkan begitu saja dengan kata lainnya. Makna bisa teraba, tetapi dalam realitanya tidak bisa begitu saja diterima oleh konvensi umum. Kalimat “Ini mantan anak saya” atau “Itu mantan orangtua saya”, hampir mustahil diterima.

Anda yang semasa duduk di bangku SMA merasa handsome dan merasa punya banyak pacar di satu sekolah, maka pertemuan para mantan Anda tak terhindarkan dalam sebuah acara reunian atau kopi darat puluhan tahun kemudian.

Sebaliknya, Anda yang memang cantik semasa SMA dan merasa punya banyak pacar lelaki, juga akan mempertemukan para mantan Anda yang ganteng-ganteng itu.

Akan tetapi, hal yang tidak bisa Anda antisipasi saat pertemuan atau kopi darat semacam itu adalah sering terbakarnya api cemburu antara para mantan.

Satu sama lainnya merasa bahwa Si Itulah yang paling Anda cintai, melebihi yang lainnya. Di sisi lain, Si Inilah yang merasa jauh lebih Anda cintai daripada Si Itu.

Api cemburu pun berkobar. Para mantan sibuk mencari muka dan pembenaran. Mereka sama-sama ingin kembali ke masa lalu dan ingin membuktikan; siapa di antara mereka yang lebih Anda cintai. Uniknya, keputusan dan jawaban ada pada Anda sendiri, tetapi jarang terungkapkan

Mantan juga sering sensitif. Cukup sebut “sensi” saja. Hatinya mendadak selembut salju seperti nyanyian Jamal Mirdad, mendadak berhati Rinto meski bertampang Rambo.

Sensi kalau kena sentil bahwa pada masa lalu Si Ini kurang berbuat sesuatu kepada Anda. Beda dengan Si Itu yang lebih banyak berbuat sesuatu dan ada monumennya. Nah, perasaan sensi yang terlalu melankolis tidak jarang berujung perang klaim.

Begitulah kelakuan para mantan!

Mantan yang sedang saya bicarakan ini bermakna “eks” atau “bekas”, juga tidak sekadar bermakna sempit, yaitu cuma sekadar mantan pacar thok. Ada cerita tentang mantan lainnya yang lebih luas.

Kata “mantan” konon berasal dari bahasa Basemah di Sumatera Selatan yang bermakna eks atau bekas itu tadi. Kata “mantan” menurut cuitan Wikipediawan Ivan Lanin di Twitter, diusulkan oleh Ahmad Bastari Suan di majalah Pembinaan Bahasa Indonesia beberapa tahun silam.

Dalam perjalanannya, kedudukan dan hierarki kata ini menjadi jauh “lebih tinggi” dibanding kata yang sudah ada, yaitu “eks” atau “bekas”.

Rasanya tidak pantas menyebut Perdana Menteri yang telah purnatugas sebagai “bekas Perdana Menteri” atau malah “eks Perdana Menteri”. Penyebutan yang lumrah dan terkesan sopan ya “mantan Perdana Menteri”, bukan?

Mana ada dalam berita wartawan atau penyiar menyebutkan, “Bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan....” dan seterusnya. Selalu dikatakan Mantan Perdana Menteri Malaysia.

Sebaliknya, alangkah terlalu sopannya kalau menyebut “mantan anggota G30S PKI” atau “mantan residivis”. Kata yang tepat untuk keduanya adalah “eks” atau “bekas”. Bahasa ternyata pilih kasih.

Tetapi, sebentar.... Ini bukan pembahasan soal bahasa, ini perihal mantan, tepatnya psikologi mantan.

Di Indonesia, kosakata mantan lebih banyak dipakai dalam urusan politik, bukan urusan lainnya. Contohnya mantan Perdana Menteri itu tadi.

Maka ada jajaran para mantan selain mantan Perdana Menteri, yakni mantan Presiden, mantan Wapres, mantan gubernur, mantan walikota, mantan bupati, mantan menteri, mantan KSAD, mantan ketua umum partai politik, dan bahkan mantan pemimpin redaksi sebuah koran.

Dari sisi si mantan, para mantan itu hanya diklasifikasikan menjadi dua saja; mereka yang menerima penuh kemantanannya alias istiqomah dan yang setengah menolak kemantanannya.

Mengapa tidak dikatakan menolak penuh kemantanannya yang merupakan lawan dari menerima penuh kemantanannya? Kenapa cuma dikatakan “setengah menolak”?

Boleh jadi, dalam skala tertentu saat mantan menolak penuh kemantanannya, ia sering sadar juga siapa diri yang sebenarnya, bahwa ada seseorang yang telah menggantikannya. Ini mantan yang istiqomah namanya.

Tetapi yang dikatakan setengah menolak kemantanannya itu bermakna, ia menolak menjadi mantan sepenuhnya.

Lho kok bisa? Ya bisalah, sebab ia merasa belum ada seseorang yang menggantikannya, atau setidak-tidaknya, belum ada yang pantas menggantikannya.

Nah, yang paling bahaya –atau mungkin paling lucu— adalah menyangkut psikologis di mana perasaannya masih berstatus bukan mantan alias masih berstatus seperti yang dulu sebelum menjadi mantan.

Apakah kondisi seperti ini yang disebut Post Power Syndrome? Belum tentu juga. Masak iya para mantan pacar Anda di SMA itu menderita PPS? Paling mereka butuh perhatian lebih saja dari Anda. Mereka adalah para mantan yang tidak mau kehilangan perhatian dan harus terus mencari perhatian.

Di ranah politik, kurang apa lagi bapak-anak yang pernah jadi orang nomor satu di Amerika Serikat, yaitu “Bush” senior-junior, demikian garang saat berkuasa sampai-sampai bisa melenyapkan satu negara berdaulat.

Toh setelah menjadi mantan mereka turun dari gelanggang politik yang gemerlap secara istiqomah, merelakan kekuasannya kepada penggantinya.

Bill Clinton setelah menjadi mantan, ia tidak merecoki Barack Obama yang menggantikannya. Ia istiqomah sebagai mantan dan hanya bergerak di bidang kemanusiaan, filantropi.

Atau, tidak usah jauh-jauh ke Amerika sana. Tengok negeri sendiri, ada BJ Habibie yang berstatus mantan, yaitu mantan Presiden RI. Ia memagari dirinya dari terpaan serta godaan politik. Ia cukup menjadi Guru Bangsa, Bapak Bangsa, dan sudah seharusnya menjadi Negarawan.

Tetapi, memang tidak ada larangan juga kalau ada mantan Presiden lainnya yang masih bersentuhan dengan dunia politik, bahkan masih mau mengurusi partai politik. Ini pilihan.

Selagi berkhidmat kepada dunia politik, meski ia seorang mantan sekalipun, maka “kepentingan” akan menjadi negasi dari sikap “kenegarawanan”.

Apa yang diucapkannya sampai berbusa-busa pun, dalam pidato di ruang terbuka, cuitan di Twitter, atau keluh-kesah di media sosial, tidak akan ada yang mau menggubrisnya. Salah-salah orang nyeletuk, “Biasalah, mantan memang begitu.”

Apa jabatan yang lebih tinggi dari Perdana Menteri atau Presiden yang bisa diraih biar terhindar dari sebutan mantan? Bisa saja membidik Sekjen PBB. Bukan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang, tetapi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.

Tetapi itu memerlukan upaya luar biasa. Selain “biasanya” bergiliran benua, jabatan Sekjen PBB haruslah orang yang aktif dan concern terhadap kemanusaiaan serta perdamaian dan itu mendapat pengakuan dunia.

Jadi memang sulit juga menjadi mantan. Terutama saat meminta orang lain untuk memahami gejolak jiwanya, kata hatinya, dan raungan emosinya karena menganggap dirinya sudah tidak berguna dan apa yang telah dilakukan serta dibangunnya sekian lama tidak dianggap sebagai sesuatu yang bermakna saat ini, saat seseorang telah menggantikan kedudukannya.

Maka salah satu cara yang sangat mungkin bisa dilakukannya adalah mencari perhatian. Dengan cara apapun, bila perlu mencuri perhatian, biar orang-orang tidak lupa bahwa mantan itu pernah ada dan berjasa.

Memang “kurang ajar” –kalau kata itu terlalu kasar ganti saja dengan “kurang bijak” —orang-orang yang kini berada dalam posisi “powerful” alias berkuasa membandingkan kesulitan yang dihadapinya akibat dari persoalan masa lalu yang belum terselesaikan.

Nah, masa lalu itu terkait mantan. Bisa saja itu dimaknakan sebagai pelarian dari ketidakmampuannya menangani masalah, bukan karena kesalahan masa lalu, bukan pula sepenuhnya kesalahan si mantan.

Tetapi menjadi persoalan, para mantan merasa terusik dan bahkan terganggu, sebab seakan-akan menjadi sasaran tembak. Reaksinya bisa macam-macam.

Ada yang menepis bahwa itu bukan bagian kesalahan masa lalu sembari menegaskan ketidakmampuan orang-orang baru dalam bekerja, ada juga yang memilih diam.

Mantan yang diam seperti ini tidak terusik sedikit pun karena telah memilih jalan hidupnya sebagai Negarawan.

Adakah jabatan yang lebih tinggi dan bergengsi dari sekadar mantan Presiden atau mantan Perdana Menteri? Ada, yaitu Sekjen PBB itu tadi. Tetapi untuk meraihnya tidaklah mudah.

Adakah jabatan lainnya? Masih ada, yaitu kembali jadi Presiden atau Perdana Menteri lagi agar predikat mantan bisa lepas. Memangnya undang-undang atau konstitusi melarangnya? Tidak,toh!?

Namun cara termurah untuk melepaskan sebutan mantan yang menyakitkan itu tidak lain dengan menjadi Negarawan. Sesederhana itu. Murah bukan  berarti mudah, tetapi setidak-tidaknya Habibie telah berhasil melakukannya.

**

Catatan: Opini saya ini sudah ditayangkan sebelumnya di Kompas.com