Menurut Prof. Mahfud MD, Indonesia sudah termasuk berbentuk Khilafah. Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dan di negeri ini dari mulai Presiden hingga RT juga mayoritas dipimpin oleh kaum Muslimin. Jadi kalau ada yang mau mengubah Indonesia menjadi Khilafah, patut dipertanyakan: Khilafah apa lagi?
Begini penjelasan sederhananya. Khilafah yang dimaksud oleh Professor kita tentu saja bukan seperti definisi Khulafaur Rosyidin al Mahdiyyin secara letterlijk. Tapi bentuk pemerintahan yang berlaku secara umum.
Sebab pasca pemerintahan 4 sahabat utama Nabi Muhammad SAW itu, para pemimpin yang notabene adalah para Raja, mulai dari Dinasti Umayyah hingga Dinasti Turki Utsmani umumnya mengklaim dirinya sebagai kholifah dan dilegitimasi oleh ulama dan kaum Muslimin di masanya.
Mari kita simak sejarah yang nyata, fakta, tidak bohong:
Ketika Dinasti Abasiyah berdiri pada saat yang sama berdiri juga Dinasti Umayyah Cordova, Dinasti Mamluk dan Dinasti Fatimiyah.
Begitu juga ketika Turki Utsmani di puncak kejayaannya, masih berdiri juga Kerajaan-kerajaan Islam di seantero belahan dunia termasuk kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang merdeka dan berdaulat.
Ada Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Palembang Darussalam, Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Banten, Kerajaan Makassar, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Kerajaan Pontianak, Kerajaan Banjar dan berbagai Kerajaan Islam lainnya.
Setelah masa Kerajaan Turki Utsmani tumbang, negeri Umat Islam di seluruh dunia hampir semuanya menjadi negeri jajahan imperialis Barat atau menjadi negeri protektorat. Tidak ada satupun yang benar-benar merdeka 100%. Artinya, kondisi secara global berbeda.
Pasca Perang Dunia II, semua negara Muslim yang berdiri pada masa itu (hingga kini) baik menyebut dirinya Negara Islam atau Negara Demokrasi atau sejenisnya, tetap menggunakan konsep Negara Bangsa. Termasuk di dalamnya ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian, satu persatu Kerajaan-kerajaan Islam mulai mengubah dirinya menjadi Negara. Hanya sedikit sekali yang tersisa tetap menjadi Kerajaan.
Dan yang tetap menjadi Kerajaan juga tidak berfungsi sebagai Kerajaan seperti pada masa lalu, melainkan sudah menjadi Monarkhi Konstitusi, bukan lagi Monarkhi Absolut.
Hal ini membenarkan nubuwat Kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam Hadits Kanzul Umal pada Bagian Kitabul Imaroh di sana dijelaskan, “ Setelah Jaman Kenabian Nabi Muhammad SAW, Umat Islam akan dipimpin oleh Khulafaur Rosyidin Al Mahdiyyin, setelah itu masa Kerajaan, setelah itu masa Keamiran hingga hari kiamat”.
Masa Khulafaur Rosyidin dan masa Kerajaan telah selesai, saat ini masuk masa Keamiran. Jika bentuk pemerintahan Islam bisa disebut sebagai bentuk khilafah, maka jangan pernah ragu lagi, dengan segala kekurangan yang ada maka kita harus yakin bahwa NKRI tercinta ini juga sesungguhnya merupakan khilafah.
[irp posts="5597" name="Dilema Negara Menghadapi Khilafah"]
Barangkali tidak banyak di antara kita yang tahu, bahwa Guru Mulia Kita Simbah Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah ketika mengemban amanah sebagai Rois Am NU masa khidmah 1947-1971 secara tegas memberikan gelar kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno sebagai: "WALIYUL AMRI DLORURI BISSYAUKAH."
Jadi, kita tidak perlu bingung, tidak perlu bimbang. Indonesia memang bukan bentuk ideal sebagai sebuah pemerintahan. Tapi NKRI adalah yang terbaik yang bisa kita usahakan saat ini. Jangan sampai mau diprovokasi membubarkan negeri tercinta ini, hanya untuk membentuk khilafah Islamiyah yang periodenya sudah berakhir.
Masalah Imam Mahdi pemersatu Umat Islam? Itu bukan porsi kita gagah-gagahan mempersiapkan kedatangannya. Itu urusan umat Islam kelak akhir zaman, akan kita bahas berikutnya.
Yang paling urgent saat ini ialah kita perangi saja kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kita jadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju. Bersatu padu, bergandengan tangan dengan sesama anak bangsa. Apapun sukumu, apapun agamamu, apapun golonganmu, kita adalah satu: Keluarga Besar Bangsa Indonesia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews