Jawa Barat adalah mimpi buruk bagi Joko Widodo yang kini menjadi Presiden RI. Demikian juga provinsi lainnya seperti Banten, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Dalam konteks Pilpres 2014, Jokowi babak belur di tiga provinsi ini. Hanya karena unggul mutlak di Jawa Tengahakhirnya Joko Widodo bisa duduk di Istana Negara sebagai RI-1 sampai sekarang.
Sekadar memutar ingatan ke masa silam di mana Pilpres 2014 sedang hiruk-pikuknya, Jokowi boleh dibilang kalah telak di Tatar Sunda dengan perbedaan suara sekitar 4,5 juta. Di provinsi berpenduduk banyak dengan 23,6 juta suara yang diperebutkan, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa unggul dengan meraup 14,2 juta suara atas pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan 9,5 juta suara.
Selain Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat, Prabowo unggul di provinsi lain seperti Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Gorontalo, Riau, dan Maluku Utara. Namun dengan kemenangan besar Jokowi di provinsi kelahirannya, yaitu Jawa Tengah, kemenangan suara Prabowo-Hatta di provonsi-provinsi itu tergulung. Di Jawa Tengah ini, Jokowi menang telak dengan selisih lebih dari 6 juta suara!
Adalah cukup mengejutkan saat lembaga riset Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) melansir survei teranyarnya di mana untuk pertama kalinya Jokowi mampu mengungguli Prabowo dengan perolehan dukungan 48,8 persen melawan 43,5 persen di wilayah Jawa Barat. Dukungan terhadap Jokowi naik 7,3 persen sejak Mei 2017, sedangkan dalam periode yang sama dukungan terhadap Prabowo turun 8,5 persen.
Angka ini berubah dari tren Pilpres 2014 di mana saat itu Jokowi kalah dari Prabowo dengan perolehan suara 40,2 persen lawan 59,8 persen. Faktor penentu kemenangan Prabowo pada Pilpres 2014 lalu sedikit-banyak ditunjang posisi Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera.
Partai yang biasa disingkat PKS ini memang berkhidmat pada Prabowo Subianto, sehingga suara yang berhasil diraup Prabowo berasal dari massa pemilih PKS. Sampai sekarang, di level nasional PKS menjadi bagian "partai oposisi" bersama Gerindra yang dipimpin Prabowo.
Membaca peta politik tiga tahun lalu, adalah menjadi penting siapa Gubernur Jawa Barat yang akan terpilih pada Pilkada 2018 yang akan datang. Sebagai "partai berkuasa" di Tatar Parahyangan, PKS berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hanya saja, terjadi turbulensi yang mengejutkan menyangkut "cerainya" pasangan cagub-cawagub Deddy Mizwar dan Ahmad Syaikhu sebelum benar-benar dikawinkan.
Manuver Gerindra Jabar yang ogah memberi dukungan kepada Demiz merupakan guncangan di perpolitikan Jabar. Namun Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid menyatakan, partainya masih solid mengusung Deddy Mizwar di Pilkada Jawa Barat 2018 bersama Gerindra dan Partai Amanat Nasional. Kandidat wakil gubernur pun belum berubah, yakni Ahmad Syaikhu yang merupakan Ketua DPW PKS Jabar dan Wakil Wali Kota Bekasi.
Siapapun yang akan dipasangkan nanti oleh koalisi PKS-Gerindra-PAN, akan menghadapi lawan berat yang sampai sekarang mengusai elektabilitas, yakni Ridwan Kamil.
Jawa Barat memang dinamis. Baru-baru ini peristiwa ironis terjadi saat Partai Golkar malah mendukung Kang Emil, panggilan akrab Walikota Bandung itu, padahal Golkar punya kadernya sendiri, yaitu Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Belakangan PDI Perjuangan yang semula mendukung Ridwan Kamil mengalihkan dukungan pada Dedi Mulyadi. PDI Perjuangan menganggap Ridwan Kamil "Kumawani" karena telah menerima dukungan Partai Nasdem.
Kaitannya, jika jagoan PKS kalah memperebutkan posisi Gubernur Jabar dengan kata lain gubernur baru dijabat oleh sosok yang dijagokan partai lain, ini akan semakin sulit bagi Prabowo mengejar mimpinya menjadi Presiden RI saat elektablitas suaranya menurut SMRC tersalip Jokowi.
Sebaliknya bagi Jokowi, turunnya elektabilitas Prabowo di Jabar harus dimanfaatkan sebaik mungkin dengan tetap memelihara kemenangan pada provinsi pendulang suara. Terhadap provinsi-provinsi di mana pada Pilpres 2014 memenangkan Prabowo, Jokowi harus terus-menerus mengambil simpati rakyat minimal dengan sering menyapa dan mengunjungi mereka.
Jika dikaitkan dengan konteks pemilihan gubernur Jawa Barat, SMRC sebagaimana dikemukakan Djayadi mencatat bahwa suara pendukung Jokowi ini menyebar ke semua pendukung calon-calon gubernur potensial, kecuali Dedi Mulyadi.
Dari simulasi lima nama, Jokowi unggul di kalangan pendukung Aa Gym (51,3 persen berbanding 44,7 persen dengan Prabowo), Deddy Mizwar (49,2 persen berbanding 45,9 persen), Dede Yusuf Macan Effendi (61,3 persen berbanding 37,7 persen), dan Ridwan Kamil (49,9 persen berbanding 46,3 persen). Di kalangan pendukung Dedi Mulyadi, Jokowi kalah dari Prabowo dengan perolehan 38,6 persen berbanding 54,4 persen.
Menurut Djayadi, Pilkada Jabar penting karena provinsi ini menyumbang 18 persen pemilih nasional dan suara di Jawa Barat akan berpengaruh terhadap perolehan suara nasional dalam pemilu presiden 2019.
Dari survei itu Top of Mind, yaitu tanpa menyebutkan nama kandidat, Jokowi juga unggul dari Prabowo Subianto dengan 25,7 persen berbanding 22 persen. Keduanya unggul jauh dari kandidat lainnya seperti Susilo Bambang Yudhoyono (1,3 persen), Ridwan Kamil (0,7 persen), Hary Tanoesudibjo (0,6 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (0,6 persen), Megawati Soekarnoputri (0,5), Habib Rizieq Shihab (0,5), Gatot Nurmantyo (0,4), Ahmad Heryawan (0,4), Tri Rismaharini (0,2), Basuki Tjahaja Purnama (0,2), Anies Baswedan (0,2 persen), Wiranto, Susi Pudjiastuti, Surya Paloh, Rhoma Irama, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Hutomo Mandala Putra, Hidayat Nurwahid, dan Cellica Nurrachadiana yang masing-masing memperoleh 0,1 persen.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews