Kawin Tangkap adalah Wajah Patriarki

Hanya dengan begitu, kita dapat memutuskan rantai kawin tangkap dan kekerasan terhadap perempuan yang terus berputar dari generasi ke generasi.

Kamis, 25 Juni 2020 | 17:40 WIB
0
378
Kawin Tangkap adalah Wajah Patriarki
Ilustrasi: perempuan dalam perangkap patriarki

Peristiwa tersebut  mengundang kemarahan dan kecaman sejumlah kalangan, baik itu gereja, organisasi perempuan maupun hak asasi manusia. Peristiwa tersebut sungguh melukai perasaan kemanusiaan kita. Bagaimana tidak, praktik kawin tangkap itu dia lakukan dengan mengatasnamakan adat, akan tetapi sangat merendahkan martabat kaum perempuan.

Persoalan kawin tangkap seperti ini bukan baru sekali dua kali terjadi. Melainkan sudah berlangsung berulang kali. Untuk itu, persoalan ini seharusnya sudah menjadi persoalan mendesak, yang tentunya, perlu dicarikan jalan keluar yang tepat. Sayangnya, sebagian orang masih beranggapan bahwa praktik kawin tangkap itu adalah sesuatu hal yang wajar. 

Pemakluman ini bukan tanpa sebab, bukan  datang dari ruang kosong. Melainkan lahir dari praktik yang dianggap sudah menjadi bagian dari budaya yang tentunya telah diwariskan turun-temurun.

Saat kita dihadapkan dengan berbagai kasus atau berita seperti itu, ada satu pertanyaan yang sering kita ajukan. Pertanyaannya adalah apa yang membuat sebagian masyarakat seakan mendukung atau "membiarkan" praktik seperti  itu?

Budaya patriarki

Dikriminasi, kekerasan, dan marjinalisasi terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang turun dari langit, tetapi diproduksi dan direproduksi, disosialisasi secara turun-temurun dan terus-menerus yang berlangsung sistematis, sehingga diterima sebagai sesuatu yang biasa saja atau benar. Hal itu kita kenal sebagai budaya atau sistem patriarki.

Istilah patriarki ini dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana laki-laki sebagai kelompok dominan mengendalikan kekuasaan terhadap kelompok perempuan. Sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai oleh laki-laki.

Jika orang menyebut patriarki, hal itu berarti sistem yang menindas serta merendahkan kaum perempuan, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam masyarakat(Bhasin & Khan,1999).

Kekuasaan laki-laki

Pada masyarakat patriarki, di dalam keluarga, perempuan adalah “hak milik” ayah, saudara laki-laki, dan  Om (paman) dari garis keturunan ayah maupun ibu. Karena itu, perkawinan perempuan dan anak sering menjadi “ladang” untuk laki-laki yang “menguasai” perempuan di dalam keluarga. Para lelaki ini sangat menentukan nasib seorang perempuan, termasuk ketika masih berusia anak.

Pada masyarakat patriarki, di dalam keluarga, perempuan ditempatkan sebagai “hak milik” ayah, saudara laki-laki serta om (paman). Pemilikan perempuan dalam kekuasaan laki-laki memberi keleluasan kepada sang pemilik untuk mendominasi dan mengatur semua urusan dan kehidupan perempuan.

Pada banyak kasus, pihak yang melamar seorang perempuan akan mencari ayah, saudara laki-laki dan om dari anak perempuan bersangkutan. Sekalipun si ayah atau si om tidak pernah mengasuh atau memelihara anak perempuannya, dia tetap menjadi penentu nasib anaknya. Laki-laki tetap “menguasai” perempuanya, termasuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya.

Dengan membaca dan beberapa kali melihat langsung sejumlah kasus yang menimpa kaum perempuan, kita tentu marah, dan menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun, persoalan ini tetap saja muncul, bahkan dengan tingkat yang semakin mengerikan. Kita lantas bertanya-tanya, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan hal ini?

Yang perlu dilakukan

Kita semua tentu sepakat bahwa kekerasan terhadap perempuan harus dicegah dan dihentikan. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan pendampingan kepada korban agar menghilangkan trauma yang sedang dialami.

Setelah melakukan pendampingan, hal lain yang tak kalah penting adalah mendesak pemerintah daerah agar segera membuat produk hukum berupa Perda Penghapusan Kawin Tangkap dengan melibatkan partisipasi perempuan khususnya perempuan yang selama ini menjadi korban.

Selain itu, kita harus terus mendukung berbagai lembaga, terutama lemabaga agama dan pendidikan agar secara kontinyu melakukan sosialisasi kepada jemaat dan melalukan kampanye serta memberikan perspektif pendidikan pada siswa dan anak-anak muda.

Hanya dengan begitu, kita dapat memutuskan rantai kawin tangkap dan kekerasan terhadap perempuan yang terus berputar dari generasi ke generasi.

***