Semoga segala kompleksitas dan paradoks yang kau hidupi di dunia bisa dilampaui, dan kau bisa menemukan rumahmu yang sebenarnya.
Bernardinus Herry Priyono, seorang pemuka agama Katolik, seorang Jesuit sekaligus salah seorang pemikir filsafat-ekonomi-politik terbesar yang pernah ada di Indonesia. Perjumpaan saya dengannya terjadi pada 2003 lalu. Saya mahasiswa semester 3 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Romo Herry baru pulang dari studinya di London, dan kini mengajar di tempat kami. Saya sering melihatnya berjalan ke perpustakaan. Pikirannya tampak penuh dengan pergulatan.
Saya mengenalnya tidak di kelas langsung, tetapi di dalam tulisan-tulisan. Karya-karyanya tentang globalisasi kerap menjadi acuan banyak mahasiswa. Ia setia di dalam tradisi STF Driyarkara untuk berkarya seluas mungkin di ruang publik. Tradisi yang tampaknya meredup sekarang ini.
2006, setelah lulus S1 di STF Driyarkara, sambil bekerja, saya melanjutkan ke program pascasarjana di kampus yang sama. Jumlah mahasiswa tidak banyak pada waktu itu. Namun, staff pengajarnya luar biasa, mulai dari Franz Magnis-Suseno, Mudji Sutrisno, F. Budi Hardiman, dan, tentu saja, B. Herry Priyono. Mereka adalah para pemikir besar pada masanya.
Kuliah pertama yang saya ambil langsung diampu oleh Romo Herry. Judulnya Masyarakat: Fakta atau Hipotesa? Saya sangat terkesan dengan cara mengajar beliau. Cara berpikir dan bertuturnya ketat, jelas dan mencerahkan. Bersama F. Budi Hardiman, mereka adalah, dari sudut pandang saya, pengajar sekaligus pemikir terbaik di dunia.
Dengan jelas dan ketat, Romo Herry menjelaskan inti pemikiran Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu. Cara mengajarnya sangat khas. Pada hal-hal penting, cara bicaranya melambat dan menekan. Gaya itu sangat menginspirasi saya juga di dalam mengajar.
Saya langsung merasa dekat dengannya. Beberapa kali, kami berdiskusi. Saya mengeluhkan cuaca STF Driyarkara pada masa itu yang semakin teologis, dan kehilangan daya tajam kritis filosofisnya. Romo Herry hanya meminta saya bersabar, dan terus melanjutkan proses belajar sebaik mungkin.
Saya juga banyak belajar soal ekonomi politik darinya. Pada suatu semester, bersama para mahasiswa S2, kami membaca bersama dan berdiskusi tentang karya-karya Adam Smith. Teks tersebut sulit, kering dan membosankan. Namun, dengan penuh kesabaran dan ketajaman intelektual, Romo Herry membuatnya menjadi terang benderang.
Di Masa Krisis
2008, saya memasuki krisis. Beberapa ketidakadilan menimpa saya. Hidup saya memasuki persimpangan yang sulit. Romo Herry hadir sepenuhnya, dan membimbing saya keluar dari krisis yang mendalam.
Ia hanya mengingatkan, bahwa semua kesulitan haruslah dipeluk sedalam-dalamnya. Penolakan itu percuma, karena tidak akan membawa kita ke arah kebijaksanaan. Pengalihan juga sia-sia, karena akan membuat kita tetap dangkal. Ketika krisis datang, dengan penuh kesadaran, saat demi saat, kita perlu memeluknya secara mendalam.
Romo Herry juga mengajarkan saya untuk hidup dalam paradoks. Artinya, hidup itu tidak pernah mutlak dan sederhana. Keadaan yang sebenarnya adalah keadaan yang kompleks. Ia bisa sekaligus benar ataupun salah pada saat yang sama. Belajar untuk memahami kompleksitas yang paradoksal itulah tanda kebijaksanaan yang sebenarnya.
Dua hal itu saya pegang erat dalam hidup saya, sampai saat ini. Setelah 2008, saya meninggalkan Jakarta untuk merantau. Hubungan dengan Romo Herry terus berlanjut dalam kehangatan email-email kami. Sampai satu titik, Romo Herry mengunjungi saya di Jerman.
Saya senang sekali. Selama tiga hari, kita bersama mengelilingi Bavaria, Jerman. Dari kereta ke kereta, kami berbincang banyak soal kehidupan. Bersama beberapa teman yang sedang studi di Jerman, kami saling berbagi ilmu dan pengalaman.
2014, krisis terbesar dalam hidup saya menerpa. Romo Herry Priyono, dengan kebijaksanaan dan kesabarannya, juga terus hadir. Ia mengingatkan saya untuk dengan sadar memeluk paradoks kehidupan. Jangan pernah jatuh ke dalam kemutlakan semu yang membuat kita dangkal, begitu pesannya.
Di Jakarta, setelah selesai studi, hubungan kami berlanjut. Beberapa kali, kami berjumpa. Ia menceritakan soal pergulatannya memimpin STF Driyarkara, sekaligus memperjuangkan keberadaan demokrasi yang utuh dan adil di Indonesia. Saya selalu mengingatkan Romo Herry untuk menjaga kesehatan. Jangan terlalu capek.
Rupanya, peringatan saya tersebut terlupakan olehnya. Dengan kesibukan yang begitu banyak, serta olahraga yang seringkali amat melelahkan, tubuh Romo Herry tak lagi mampu menahan. 21 Desember 2020, berita mengagetkan sampai kepada saya. Romo Herry meninggal, karena serangan jantung mendadak.
Saya tersedak. Tanpa banyak pikir, saya langsung berkunjung ke RS Carolus, tempat jenazahnya berada. Dibalik rasa kaget, saya merasa bersyukur masih berkesempatan untuk berjumpa dengan Romo Herry. Saya masih diberi kesempatan menyentuh dan mengangkat tubuhnya untuk terakhir kalinya.
Melampaui Paradoks
Apakah kematian sekompleks kehidupan itu sendiri? Apakah terkandung paradoks di dalamnya? Itulah yang kiranya ingin saya tanyakan kepada Romo Herry. Jawabannya hanya bisa ditemukan di dalam kesunyian.
Namun, kompleksitas dan paradoks dari kenyataan adalah buah dari pikiran itu sendiri. Inilah kiranya yang tak pernah bisa sungguh dipahami Romo Herry dalam hidupnya. Akibatnya, ia terjebak pada konsep-konsep indah dan tajam yang ia buat sendiri. Ia hidup dalam kompleksitas yang merupakan ciptaan dari pikirannya.
Kelelahan dan tegangan yang ia hidupi tak mesti ada. Keduanya bisa dilampaui. Disinilah kiranya saya mencoba mengritik pendekatan yang diajarkan oleh Romo Herry. Pikiran, kegelisahan dan tegangan akibat kompleksitas hidup adalah sesuatu yang bisa serta harus dilampaui. Namun, dibutuhkan pendekatan lain di luar filsafat Eropa dan Spiritualitas Ignasian yang ia hidupi.
Mungkin ini jugalah yang membuat Romo Herry menjadi begitu lelah, dan kemudian jatuh sakit. Pikiran dan kegelisahan yang terus menghantui malam-malamnya. Tubuhnya tak pernah bisa sungguh istirahat. Sungguh kehilangan besar bagi Indonesia dan dunia.
Ketajaman intelektual dan sikap welas asihnya berakar pada ketegangan batin yang tak berkesudahan. Ada hal bijak di dalamnya. Namun, jalannya tak harus seperti itu. Ketajaman nalar dan kepekaan nurani bisa lebih berkembang dalam hening dan sukacita yang mendalam. Asal, pikiran bisa dilihat sebagaimana adanya, yakni sebagai produk kebiasaan yang hubungan tak berkesudahan dengan dunia sosial. Mungkin, dan hanya mungkin, jika menempuh jalan ini, Romo Herry bisa bersama kita lebih lama.
Akhir kata, selamat jalan Romo Herry. Terima kasih atas sikap welas asih dan kebijaksanaan yang kau tunjukkan pada dunia, terutama untuk hidupku. Selamat menempuh hidup baru. Semoga segala kompleksitas dan paradoks yang kau hidupi di dunia bisa dilampaui, dan kau bisa menemukan rumahmu yang sebenarnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews