Melampaui Paradoks: Bernardinus Herry Priyono dalam Kenangan

Semoga segala kompleksitas dan paradoks yang kau hidupi di dunia bisa dilampaui, dan kau bisa menemukan rumahmu yang sebenarnya.

Senin, 28 Desember 2020 | 11:54 WIB
0
120
Melampaui Paradoks: Bernardinus Herry Priyono dalam Kenangan
Saya dan Herry Priyono (Foto: dok. pribadi)

Bernardinus Herry Priyono, seorang pemuka agama Katolik, seorang Jesuit sekaligus salah seorang pemikir filsafat-ekonomi-politik terbesar yang pernah ada di Indonesia. Perjumpaan saya dengannya terjadi pada 2003 lalu. Saya mahasiswa semester 3 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Romo Herry baru pulang dari studinya di London, dan kini mengajar di tempat kami. Saya sering melihatnya berjalan ke perpustakaan. Pikirannya tampak penuh dengan pergulatan.

Saya mengenalnya tidak di kelas langsung, tetapi di dalam tulisan-tulisan. Karya-karyanya tentang globalisasi kerap menjadi acuan banyak mahasiswa. Ia setia di dalam tradisi STF Driyarkara untuk berkarya seluas mungkin di ruang publik. Tradisi yang tampaknya meredup sekarang ini.

2006, setelah lulus S1 di STF Driyarkara, sambil bekerja, saya melanjutkan ke program pascasarjana di kampus yang sama. Jumlah mahasiswa tidak banyak pada waktu itu. Namun, staff pengajarnya luar biasa, mulai dari Franz Magnis-Suseno, Mudji Sutrisno, F. Budi Hardiman, dan, tentu saja, B. Herry Priyono. Mereka adalah para pemikir besar pada masanya.

Kuliah pertama yang saya ambil langsung diampu oleh Romo Herry. Judulnya Masyarakat: Fakta atau Hipotesa? Saya sangat terkesan dengan cara mengajar beliau. Cara berpikir dan bertuturnya ketat, jelas dan mencerahkan. Bersama F. Budi Hardiman, mereka adalah, dari sudut pandang saya, pengajar sekaligus pemikir terbaik di dunia.

Dengan jelas dan ketat, Romo Herry menjelaskan inti pemikiran Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu. Cara mengajarnya sangat khas. Pada hal-hal penting, cara bicaranya melambat dan menekan. Gaya itu sangat menginspirasi saya juga di dalam mengajar.

Saya langsung merasa dekat dengannya. Beberapa kali, kami berdiskusi. Saya mengeluhkan cuaca STF Driyarkara pada masa itu yang semakin teologis, dan kehilangan daya tajam kritis filosofisnya. Romo Herry hanya meminta saya bersabar, dan terus melanjutkan proses belajar sebaik mungkin.

Saya juga banyak belajar soal ekonomi politik darinya. Pada suatu semester, bersama para mahasiswa S2, kami membaca bersama dan berdiskusi tentang karya-karya Adam Smith. Teks tersebut sulit, kering dan membosankan. Namun, dengan penuh kesabaran dan ketajaman intelektual, Romo Herry membuatnya menjadi terang benderang.

Di Masa Krisis

2008, saya memasuki krisis. Beberapa ketidakadilan menimpa saya. Hidup saya memasuki persimpangan yang sulit. Romo Herry hadir sepenuhnya, dan membimbing saya keluar dari krisis yang mendalam.

Ia hanya mengingatkan, bahwa semua kesulitan haruslah dipeluk sedalam-dalamnya. Penolakan itu percuma, karena tidak akan membawa kita ke arah kebijaksanaan. Pengalihan juga sia-sia, karena akan membuat kita tetap dangkal. Ketika krisis datang, dengan penuh kesadaran, saat demi saat, kita perlu memeluknya secara mendalam.

Romo Herry juga mengajarkan saya untuk hidup dalam paradoks. Artinya, hidup itu tidak pernah mutlak dan sederhana. Keadaan yang sebenarnya adalah keadaan yang kompleks. Ia bisa sekaligus benar ataupun salah pada saat yang sama. Belajar untuk memahami kompleksitas yang paradoksal itulah tanda kebijaksanaan yang sebenarnya.

Dua hal itu saya pegang erat dalam hidup saya, sampai saat ini. Setelah 2008, saya meninggalkan Jakarta untuk merantau. Hubungan dengan Romo Herry terus berlanjut dalam kehangatan email-email kami. Sampai satu titik, Romo Herry mengunjungi saya di Jerman.

Saya senang sekali. Selama tiga hari, kita bersama mengelilingi Bavaria, Jerman. Dari kereta ke kereta, kami berbincang banyak soal kehidupan. Bersama beberapa teman yang sedang studi di Jerman, kami saling berbagi ilmu dan pengalaman.

2014, krisis terbesar dalam hidup saya menerpa. Romo Herry Priyono, dengan kebijaksanaan dan kesabarannya, juga terus hadir. Ia mengingatkan saya untuk dengan sadar memeluk paradoks kehidupan. Jangan pernah jatuh ke dalam kemutlakan semu yang membuat kita dangkal, begitu pesannya.

Di Jakarta, setelah selesai studi, hubungan kami berlanjut. Beberapa kali, kami berjumpa. Ia menceritakan soal pergulatannya memimpin STF Driyarkara, sekaligus memperjuangkan keberadaan demokrasi yang utuh dan adil di Indonesia. Saya selalu mengingatkan Romo Herry untuk menjaga kesehatan. Jangan terlalu capek.

Rupanya, peringatan saya tersebut terlupakan olehnya. Dengan kesibukan yang begitu banyak, serta olahraga yang seringkali amat melelahkan, tubuh Romo Herry tak lagi mampu menahan. 21 Desember 2020, berita mengagetkan sampai kepada saya. Romo Herry meninggal, karena serangan jantung mendadak.

Saya tersedak. Tanpa banyak pikir, saya langsung berkunjung ke RS Carolus, tempat jenazahnya berada. Dibalik rasa kaget, saya merasa bersyukur masih berkesempatan untuk berjumpa dengan Romo Herry. Saya masih diberi kesempatan menyentuh dan mengangkat tubuhnya untuk terakhir kalinya.

Melampaui Paradoks

Apakah kematian sekompleks kehidupan itu sendiri? Apakah terkandung paradoks di dalamnya? Itulah yang kiranya ingin saya tanyakan kepada Romo Herry. Jawabannya hanya bisa ditemukan di dalam kesunyian.

Namun, kompleksitas dan paradoks dari kenyataan adalah buah dari pikiran itu sendiri. Inilah kiranya yang tak pernah bisa sungguh dipahami Romo Herry dalam hidupnya. Akibatnya, ia terjebak pada konsep-konsep indah dan tajam yang ia buat sendiri. Ia hidup dalam kompleksitas yang merupakan ciptaan dari pikirannya.

Kelelahan dan tegangan yang ia hidupi tak mesti ada. Keduanya bisa dilampaui. Disinilah kiranya saya mencoba mengritik pendekatan yang diajarkan oleh Romo Herry. Pikiran, kegelisahan dan tegangan akibat kompleksitas hidup adalah sesuatu yang bisa serta harus dilampaui. Namun, dibutuhkan pendekatan lain di luar filsafat Eropa dan Spiritualitas Ignasian yang ia hidupi.

Mungkin ini jugalah yang membuat Romo Herry menjadi begitu lelah, dan kemudian jatuh sakit. Pikiran dan kegelisahan yang terus menghantui malam-malamnya. Tubuhnya tak pernah bisa sungguh istirahat. Sungguh kehilangan besar bagi Indonesia dan dunia.

Ketajaman intelektual dan sikap welas asihnya berakar pada ketegangan batin yang tak berkesudahan. Ada hal bijak di dalamnya. Namun, jalannya tak harus seperti itu. Ketajaman nalar dan kepekaan nurani bisa lebih berkembang dalam hening dan sukacita yang mendalam. Asal, pikiran bisa dilihat sebagaimana adanya, yakni sebagai produk kebiasaan yang hubungan tak berkesudahan dengan dunia sosial. Mungkin, dan hanya mungkin, jika menempuh jalan ini, Romo Herry bisa bersama kita lebih lama.

Akhir kata, selamat jalan Romo Herry. Terima kasih atas sikap welas asih dan kebijaksanaan yang kau tunjukkan pada dunia, terutama untuk hidupku. Selamat menempuh hidup baru. Semoga segala kompleksitas dan paradoks yang kau hidupi di dunia bisa dilampaui, dan kau bisa menemukan rumahmu yang sebenarnya.

***