Kritik atau Intrik?

Katakan yang sebenarnya, bukan memaksakan yang bukan faktanya, karena resikonya anda akan tetap di sana, menikmati tabiat kebohongan, karena akhlak itu bentukan bukan datang sendirian.

Rabu, 28 Agustus 2019 | 21:26 WIB
0
484
Kritik atau Intrik?
Ilustrasi kritik (Foto: Hipwee)

Seperti sebuah wabah yang makin membesar pada 10 tahun terakhir, selain politisi yang memposisikan sebagai  oposisi, ada yang berlebel ulama, juga media televisi yang terus melakukan serangan kepada pemerintah dengan jubah kritik berisi intrik.

Dapat diihat dari keseharian kita, banyak orang yang kapasitasnya bukan dalam bidangnya berkomentar sesukanya, ada televisi yang selalu mengumpulkan manusia pembully tanpa risih, mereka menyasar pasar pembenci yang terus dibentuk agar kesadarannya terhadap kebenaran makin mati.

Dalam negara demokrasi dan masyarakat majemuk, serta perkembangan informasi yang cepat karena teknologi, sayangnya tidak dibarengi pengetahuan memadai, sehingga mereka sulit membedakan mana kritik mana intrik. Padahal sangat jelas bedanya, kritik adalah mengoreksi untuk tujuan kebenaran, sementara intrik hanya untuk menjatuhkan lawan dengan penyebaran kebohongan, yang sekarang lebih populer dengan sebutan hoaks.

Membudayakan kritik sangat diperlukan untuk tujuan kebaikan dan perbaikan, sebaliknya memelihara intrik akan menghancurkan. Dalam berpolitik, kritik dan oposisi dibutuhkan, tapi perlu diisi kecerdasan bukan asal disemburkan tanpa pemahaman yang bisa memghasilkan benturan dan pembodohan.

Kita lihat pra dan pasca pemilu, produksi intrik trendnya makin naik, semua lapisan yang merasa dikalahkan tidak pernah siuman, mereka yg pro oposisi terus membangun opini seolah yang benar itu salah dan sebaliknya.

Mereka masuk ke sendi sosial, baik agama, diskusi, ekonomi, dst. Mereka tidak menyisakan atau bahkan serpihan sebuah kebaikan untuk di yakan, semua disalahkan, agama tetangganya, warna kulit temannya, padahal raut mukanya nyaris tak beraturan antara gigi dan bibir berlomba melompat keluar.

Orang orang tua uzur semi dungu dijejer di ruang pamer sebuah stasiun televisi membahas ekonomi, padahal mereka cuma ngerti lenong betawi. Ini sama saja kita disuruh nonton katanya ada ikan memanjat pohon, sampai mati lemas, kehabisan oksigen, dia akan tetap diair.

Jadi, katakanlah yang sebenarnya, bukan memaksakan yang bukan faktanya, karena resikonya anda akan tetap di sana, menikmati tabiat kebohongan, karena akhlak itu bentukan bukan datang sendirian.

***