Semua mengejek Jokowi, menyalahkannya, menghinadinakan dirinya. Tapi sesungguhnya tak punya alternatif, siapa figur lain yang lebih pantas jadi pemersatu NKRI. Semua ngarep dijawil Jokowi.
Seorang sahabat bertanya pada saya apakah Jokowi bisa melewati semua kekisruhan ini? Saya jawab, cara membacanya harus dimulai dari fenomena aneh yang terjadi nyaris seminggu terakhir.
Jadi begini, menurut sampean dengan ditersangkakannya Imam Nahrawi oleh KPK dalam kasus korupsi dana hibah Kemenpora itu apakah merugikan citra Jokowi? Padahal ia dianggap salah satu menteri paling berprestasi yang mengangkat nama negara dalam perhelatan Asian Games yang baru lalu.
Jelas itu anggapan yang salah!
Yang paling berjasa itu adalah para atlet yang berhasil meraih medali. Dan yang paling pantas disebut adalah Tim Kreatif di belakang panggung yang berhasil membuat Asian Games memiliki nilai entertainment yang dahsyat. Jangan lupa di sinilah peran kolaborasi manusia-manusia hyper-kreatif seperti Erick Thohir, Wisnutama, Addi MS, Jay Soebiakto, dll.
Imam Nahrawi itu hanya manusia yang beruntung muncul di tempat dan waktu yang (kebetulan) tepat.
Lalu tiba-tiba keberuntungan-nya lenyap begitu saja! Ia diduga menerima suap sebesar Rp26,5 miliar. Sial betul suap itu diduga diberikan secara bertahap sejak 2014-2018. Sejenis sequel korupsi, yang terentang sangat panjang. Sejak ia mulai menjabat, hingga nyaris di ujung jabatannya.
Aneh, ia menganggap dijadikannya ia sebagai tersangka adalah musibah!
Stereotyping sekali pejabat jaman kiwari. Kok rasanya sangat typical suatu agama tertentu ya? Sekali lagi, realitasnya apakah hal ini merugikan Jokowi. Sama sekali tidak! Justru ini blessing in disguise, berkah terselubung bagi Jokowi. Ia tiba-tiba punya seribu satu alasan untuk menolak tekanan Muhaimin Iskandar yang tiba-tiba ngelunjak minta jatah 10 kursi menteri untuk PKB.
Hal yang membuat kemenangan Pilpres kemarin jadi terasa hambar! Karena belum apa-apa, terjadi perebutan pengaruh antar partai dalam koalisi Jokowi. Dan bagian yang paling memalukan adalah pertarungan terbuka antara Nasdem dan PDIP. Yang kemudian dipuncaki manuver Megawati justru tanpa rasa sungkan mengajak selingkuh Prabowo dengan Gerindra-nya.
Politik oh politik, njijiki...
Pun demikian dengan kisruh KPK. Pelan tapi pasti, mulai terkuak bahwa keterlibatan KPK dalam permainan politik yang semestinya haram dilakukannya, terbuka nyaris secara telanjang bulat.
Satu persatu video (catat: video loh bukan sekedar foto apalagi cuma rekaman kaset!), bagaimana Novel Baswedan menerima uang suap dari Ade Komaruddin. Bagaimana ruang konferensi press KPK digunakan untuk membriefing kelompok mahasiswa Pro-Khilafah. Dan sangat jelas, di sana ada Jubir KPK "Yang Mulia" Febri Diansyah, seorang hipokrit, aktor pemain watak yang terbongkar topengnya.
Sori, sejak beralih dari Johan Budi, saya sudah mahfum ia tak lebih dari antek-antek PKS yang disusupkan. Di sini semestinya, kalau mau fair dan jujur menjadi tidak relevan lagi apakah tetap digunakan UU KPK lama, apakah tetap direvisi, atau perlu ada Perppu. Karena masalah sesungguhnya adalah manusia-manusia di dalamnya yang jauh dari amanah, bahkan pengkhianat negara yang sesungguhnya.
Semua fenomena itu, sesungguhnya tiba-tiba berpihak pada keluguan Jokowi, yang di permukaan tampak tanpa prasangka itu. Padahal saya yakin, ia sudah lama tahu kahanan dan paham permainan!
Mimpi menjatuhkan Jokowi itu boleh-boleh saja. Itu bukan cerita baru, gak ada yang baru sama sekali. Jangan lupa, sejarah untuk menjatuhkan Jokowi itu sejak sehari ia diangkat sebagai Presiden RI. Dan pembencinya tetap konsisten melakukannya, tanpa lelah tanpa jeda. Bahkan orang-orang yang dulu menjadi pemilihnya atau pembelanya sekarang ballk badan.
Sesungguhnya mereka semua itu sama, sedang mencari perhatian Jokowi. Di titik paling kritis mereka akan berbalik lagi membela lagi Jokowi. dan tentu lalu meminta imbalan!
Mau sebuah bukti kecil, lihatlah bagaimana Tempo mem-pinokio-kan Jokowi. Namun ketika sahamnya rontok dan para cebong marah, tiba-tiba sesepuhnya bilang: tidak bermaksud menurunkan Jokowi!
Jangan lupa anak haram kapitalisme adalah demokrasi. Ia diakui anak ketika dibutuhkan, tapi dienyahkan ketika dianggap menghambat jalan hidup orang tuanya. Siapa orang tuanya, nah di sinilah ia menjadi haram jadah karena di dalamnya ada perpaduan atau sindikasi konglomerasi hitam pemilik modal, kelompok militer-fasis yang ultra-nasionalis, dan tentu saja para politikus busuk yang sekarang hobi pakai topeng agama itu!
Saya hanya prihatin dalam satu hal, mahasiswa Indonesia itu tak pernah naik kelas, bahkan semakin turun mutunya. Ketika hari ini kita bisa nonton di Theater IMAX yang nyaman, saya melihat mahasiswa hari ini tak lebih bioskop lapuk dengan kursi kayu penuh rayap, yang di sela-sela waktunya hanya menunggu diputar selingan dengan bonus film blue murahan.
Kualitas yang semakin merosot, sejak pra-kemerdekaan yang nerhasil meletakkan dasar nasionalisme ke-Indonesia-an, lalu jatuh harga jadi stempel investasi asing di masa akhir Orde Lama. Lalu berlagak jadi pelopor reformasi, walau sesungguhnya pembuka pintu era banal awal mula "pemerataan korupsi dan manipulasi".
Hingga kini sekedar perpanjangan tangan kaum khilafah-radikal, yang suka demo, tapi ogah diajak dialog. Njuk karepmu piye?
Baca Juga: Jokowi, Wakil, dan Rakyat
Bila masih saja ada yang khawatir tentang keselamatan negeri ini. Pakailah adagium mengerikan tapi sekaligus paling melegakan: Pada awalnya semua adalah salah Jokowi, namun di ujungnya semuanya adalah Jokowi!
Semua mengejek Jokowi, menyalahkannya, menghinadinakan dirinya. Tapi sesungguhnya tak punya alternatif, siapa figur lain yang lebih pantas jadi pemersatu NKRI. Semua ngarep dijawil Jokowi....
Hal mana yang membuat saya justru khawatir: Jokowi pada akhirnya jadi sejenis Tuhan Baru, minimal Messiah Gaya Baru. Kenapa kita harus mulai mikir, apa jadinya setelah lima tahun ke depan.
Dyarwe....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews