Karena Musa Belok Kiri

Sekali lagi soal keamanan tergantung pertahanan kita dan di sana kita sulit membangun pasukan perang yang tangguh dengan persenjataan yang bagus.

Senin, 21 Oktober 2019 | 08:36 WIB
0
319
Karena Musa Belok Kiri
Ilustrasi sepakbola (Foto: indosport.com)

Perjalanan melintasi dasar Laut Merah (tepatnya Teluk Aqaba) sudah hampir berakhir. Tepi selatan Laut Merah sudah menutup kembali, menelan Fir’aun dan pasukannya yang berusaha mengejar Musa. Akhirnya Musa dan pengikutnya sampai di pantai Tabuk, sekarang bagian dari Arab Saudi. Seolah ingin memberikan selamat kepada Musa, Laut Merah pun kembali menutup seperti semula. Berangin sepoi dan beriak tenang.

Sesampainya di pantai seberang, Musa bertanya kepada salah seorang muridnya yang mengetahui daerah itu, Yusya.

“Wahai Yusya, setelah kita menyeberangi Laut Merah ini, sebaiknya kita berjalan ke arah mana?” tanya Musa.

“Begini wahai pemimpin kami. Kalau kita belok kiri dan berjalan sekitar empat hari, kita akan sampai di Tanah Bangsa Kanaan (Palestina). Lokasinya menghadap ke Laut Tengah dengan pantai-pantai yang indah. Tempat-tempat itu sangat romantis untuk bersantai di sore hari menyaksikan matahari tenggelam sambil makan sandwich, segelas anggur, sambil membuka-buka facebook,” kata Yusya.

Mendengar kata sandwich dan anggur, Musa langsung memotong.

“Sanwich, anggur, dari mana semua itu?” Musa penasaran.

“Oooh..., sandwich atau roti itu dari gandum yang bisa kita tanam di dataran Negev. Sementara sayuran dan daging untuk isinya, serta anggur, kita akan dapatkan dari kibutz-kibutz di dataran tinggi yang subur, yang sepanjang tahun memberikan hasil panen berlimpah,” jelas Yusya.

Musa sepertinya mulai tertarik dengan apa yang dijelaskan Yusya, dan ia bertanya lagi.

“Tapi apakah di sana aman buat kita?” kata Musa.

Pertanyaan mengenai keamanan membuat Yusya menarik napas panjang lalu menjawab.

“Soal aman atau tidak, tergantung pertahanan kita. Karena kita akan menempati tanah milik orang lain (Bangsa Kanaan) sangat mungkin kita akan selalu dalam ancaman penyerangan. Jadi kita harus memiliki pasukan perang yang tangguh dan peralatan yang mumpuni,” kata Yusya lagi.

“Untuk membangun sistem kemiliteran yang tangguh, apa sajakah yang dibutuhkan?” Musa bertanya lagi.

“Begini,” lanjut Yusya

“Di sana terdapat banyak bahan mineral seperti bijih besi untuk membuat senjata, belerang untuk membuat mesiu, sampai uranium pun ada kalau kita mau menggalinya.”

Mendengar penjelasan Yusya, Musa terlihat lega. Tapi dia bertanya lagi.

“Tapi bagaimana kalau yang menyerang kita, terutama dari utara yang pasukannya sangat besar dan peralatan perangnya sudah modern seperti yang dimiliki Romawi, Syam, Turki, Persia, bahkan Mongol atau China? Apakah di sana ada benteng yang strategis dan dapat melindungi kita?” cerocos Musa.

“Ooohh… ada. Di bagian utara Tanah Kanaan yang berbatasan dengan Lebanon, terdapat gunung kecil bernama Gideon atau Zion. Tempat itu bisa kita andalkan untuk menghentikan serangan dari bangsa-bangsa di utara. Sementara di bagian timur laut, ada dataran tinggi Golan. Dataran itu sekarang dikuasai oleh Negeri Syam (Suriah). Kalau suatu hari nanti kita bisa kuasai, kita akan sangat aman,” Yusya bersemangat.

“Lalu bagaimana kalau serangan itu datang dari laut (Laut Tengah)?” tanya Musa.

Yusya terdiam, lalu ia menoleh ke seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya dan berkata.

“Mungkin kawan saya, Lorentinovich, bisa menjawab wahai Musa, dia adalah seorang ahli nujum (peramal),” kata Yusya.

“Bagaimana pendapat anda?” tanya Musa kepada perempuan bertubuh gemuk dan tinggi itu.

“Yang mulia, sejak beberapa tahun lalu sudah banyak kaum Bani Israil, termasuk beberapa paman saya, yang meninggalkan Mesir dan merantau di Eropa. Berdasarkan pengamatan saya, suatu hari nanti saudara-saudara kita itu akan membangun sebuah negeri yang besar dan kuat di seberang Atlantik. Bahkan paman saya itu berjanji akan membantu kita dalam segala hal, termasuk menempatkan sebuah kapal perangnya, USS Nimitz di lepas pantai Laut Tengah. Jadi, nanti kita akan terlindungi dari serangan yang datang dari laut,” papar Lorentinovich.

Mendengarkan penjelasan Lorentinovich Musa tampak puas. Sebelum Musa melanjutkan kalimatnya, Yusya memotong karena ada yang ingin disampaikannya.

“Oohh.. ya baginda. Jika kita memilih jalan ke kiri menuju Kanaan, kelak tim bola sepak kita akan bersaing dengan negri-negri Eropa untuk bisa tampil di pentas bola sepak dunia. Demikian juga dengan klub-klubnya, akan masuk liga juara-juara Eropa bersama Barcelona dan Real Madrid dari jazirah Iberia. Liverpool dan Manchester United (diganti City) dari tanah Inggris,” kata Yusya.

“Oke!” Sahut Musa, “Lalu bagaimana gambarannya kalau dari sini kita ke kanan? Ke negeri mana kita akan sampai? Dan seperti apa daerah itu?” tanya Musa kepada kedua orang di hadapannya.

Kembali Yusya menjawab dengan penuh semangat.

“Kalau dari sini kita berjalan ke arah kanan selama dua minggu, kita akan sampai di negri Yaman, negri itu menghadap ke Samudra India. Negri itu sebagian besar hanya berupa gurun pasir, sedikit sekali tanah yang bisa ditanami gandum dan kurma tentunya. Di sana tidak ada galian mineral seperti di Kanaan, tapi di dalam tanahnya banyak minyak. Tapi kalau Baginda suka menikmati matahari dan bulan purnama terbit di ufuk timur sambil makan nasi kebuli dan kambing guling, minum arak sambil diringi musik perkusi bertempo sedang sampai cepat dengan tarian perut para perempuan bercadar, kita berjalan ke kanan saja,” kata Yusya.

“Soal keamanannya bagaimana?” tanya Musa lagi.

“Sekali lagi soal keamanan tergantung pertahanan kita dan di sana kita sulit membangun pasukan perang yang tangguh dengan persenjataan yang bagus. Di sana hanya berbatasan dengan Arab di sebelah barat. Di utara ada Persia yang kuat dan hanya dipisahkan oleh sebuah teluk. Di sebelah selatan, seberang Laut Merah ada negeri Somali yang sepanjang tahun selalu kekeringan. Jadi, meskipun Bangsa Arab dan Persia selalu bermusuhan, kalau mereka mau mengusir kita ke laut hanya perlu satu kali serangan saja. Karena jika Baginda membelah Laut Merah lagi untuk menyeberang kembali ke Jazirah Maghribi, saya khawatir akan merepotkan Tuhan, dan Dia marah. Karena kalau kita mau ke Somali, Baginda tidak perlu membelah Laut Merah, dari Mesir tinggal berjalan saja menuju arah timur,” kata Yusya.

“Asal kalian tahu, tongkat saktiku ini bisa membelah semua lautan! Mungkin ada daratan di seberang Samudra India sana?” suara Musa meninggi setengah bertanya.

“Betul Baginda,” jawab Yusya. “Tongkat sakti Baginda mungkin bisa membelah Samudra India. Tapi kita kita harus berjalan berbulan-bulan untuk sampai di India, Negeri Seribu Pulau, atau Australia. Kita akan mati kelaparan di dasar laut karena perbekalan kita tidak akan cukup,” kata Yusya.

Musa terlihat manggut-manggut lalu bertanya lagi.

“Apakah pamanmu yang di seberang Atlantik itu tidak punya pangkalan kapal perang di Samudera India?” Musa penasaran.

”Bukan paman saya, tapi paman dia, Baginda. Dia yang tahu,” Yusya menunjuk Lorentinovich.

Lorentinovich terkaget dan langsung menjawab.

“Punya Baginda. Tapi sangat jauh dari Yaman, di Diego Garcia dekat India,” kata Yusya.

“Terus bagaimana dengan pentas bola sepak antar negeri-negeri itu?” kata Musa.

Kembali Yusya menjawab.

“Karena daerah Yaman lebih ke Timur dan dekat ke Asia, mungkin tim bola sepak kita harus bersaing dengan negeri-negeri Asia, klub-klub juara bola sepak kita juga harus bertanding dengan klub-klub juara negeri-negeri Asia. Saya khawatir kalau klub bola sepak kita harus bertanding dengan klub Negeri Seribu Pulau di tenggara Asia,” kata Yusya.

Dahi Musa berkerut keheranan dan dia bertanya.

”Kenapa dengan Negeri Seribu Pulau itu? Apakah mereka punya klub bola sepak yang kuat?” Musa mengejar.

“Bukan begitu Baginda,” kata Yusya.

“Lalu kenapa kamu khawatir kalau klub bola sepak kita bertanding lawan mereka?” sergah Musa.

“Di Negeri Seribu Pulau skor bola sepak bisa ditentukan sebelum pertandingan. Selain itu pemain dan penonton bola sepak di sana nyaris tidak bisa membedakan antara permainan bola sepak dengan peperangan. Jadi, bisa-bisa para pemain kita dilempari batu bahkan dipukuli ribuan orang,” kata Yusya.

“Ooohhh… mengerikan sekali kalau begitu,” Musa paham.

“Kalau begitu kita akan mendirikan negeri yang kuat di Tanah Kanaan. Walaupun kita harus hidup di bawah ancaman serangan sepanjang tahun, kita bisa menikmati indahnya matahari terbenam di Laut Tengah sambil makan sandwich dan minum anggur. Semoga itulah tanah yang dijanjikan Tuhan. Dan para pemain bola sepak kita bisa bertanding dengan tenang. Wahai para pengikutkuuuuu… kita belok kiriiiiii… kita ke Tanah Kanaan!!!” teriak Musa sambil melangkah pasti, diikuti para pengikutnya sambil bernyanyi “... you know what miracleee… when you believeee… !!”

***