Habib Luthfi, Antara Demokrasi dan Musik Klasik

Kamis, 17 Januari 2019 | 11:21 WIB
0
921
Habib Luthfi, Antara Demokrasi dan Musik Klasik
Habib Luthfi dan saya (Foto: Detik.com)

 
Bersama dua kamerawan tim 20detik, saya tiba di kediaman Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali Yahya ketika salat isya baru saja berakhir. Hari ahad terakhir di 2018 itu kami sebetulnya menyusul beliau hingga Pekalongan, setelah gagal menemuinya di Solo.

Usai mewawancarai tokoh Muhammadiyah dan cendekiawan Buya Syafii Maarif di masjid Nogotirto, Sleman – Jogjakarta, pimpinan mengorder kami untuk lanjut mewawancarai Habib Luthfi. Saya sempat merutuk ketika perintah via WA itu masuk Sabtu jelang tengah malam. Tugas dadakan itu membuyarkan kami untuk kembali ke Jakarta, merayakan malam tahun baruan bersama keluarga. Tapi tiugas ya tugas. Itu risiko profesi.

Selepas sarapan, kami mendapat konfirmasi bila sang Habib tengah berada di Solo. Toh, kami tak bisa segera berangkat. Rekaman wawancara Buya harus segera dikirim ke Jakarta. Karena warnet di dekat penginapan tak ada yang bisa ngebut seperti di Gedung Trans TV, akhirnya kami mampir ke kantor Biro Jogjakarta. Sial, kecepatannya sami mawon. Butuh dua jam untuk mengirim rekaman berdurasi 50-an menit.

Suasana libur panjang membuat hampir semua ruas jalan utama ‘Kota Gudeg’ itu mampet. Kami pun ketinggalan acara di Solo. Pun tak mendapatkan momen teriakan ‘Ganti Presiden’ di acara haul yang dihadiri Habib Luthfi.

Konon, mereka yang berteriak itu sebetulnya tetamu yang diorder khusus oleh pihak tertentu untuk mengiringi ‘Tamu Agung’ yang hadir di acara tersebut. Tak heran bila mereka rela bertingkah tak patut terhadap Habib Luthfi yang amat dihormati. Padahal beliau dikenal sebagai habib yang santun dan biasa menebar pesan-pesan keagamaan dan nasionalisme dengan teduh.

Dari Solo, kami memutuskan menyusul sang Habib ke Pekalongan. Selepas isya, kami baru tiba. Di sana Jemaah pengajian sudah berhimpun. Pun belasan tamu untuk mendapatkan pengobatan atau sekedar meminta sang Habib meniup ubun-ubun mereka. “Ngalap berkah,” begitu kurang lebih ungkapan yang terlontar.

Seorang tamu dari Semarang mengaku tiba di kediaman Habib Luthf sejak pukul 10 pagi. “Saya tidak tahu kalau Habib ada acara di Solo,” ujar si Bapak seraya menggenggam sebotol air mineral. Dia berharap doa sang Habib dapat ikut membantu menyembuhkan penyakit putrinya. Dia membawa beberapa lembar hasil rontgen, juga resep-resep obat dari dokter.

“Saya gak hapal penyakitnya mas. Anak saya sudah beberapa kali keluar-masuk rumah sakit tapi tak kunjung sembuh,” tuturnya. Si Bapak, juga belasan orang lainnya yang datang untuk ‘berobat’ malam itu tentu berharap sang Khalik dapat memberikan jalan kesembuhan lewat perantara doa-doa Habib Luthfi. Itu sisi lain Habib Luthfi yang baru saya ketahui malam itu.

Melihat perjuangan dan keikhlasan mereka menanti, tak elok rasanya kami meminta prioritas untuk bertemu Habib Luthfi. “Kita dikasih waktu wawancara ba’da salat subuh juga gak apa-apa, ya?” saya meminta persetujuan dua kamerawan tim 20detik. Mereka manut.

Pengajian yang diseling tarian sufi ala Jalaludin Rumi berakhir pukul 22.30. Dari situ, mulailah penanganan para pasien. Ketika hari berganti, Habib Luthfi baru menemui kami tanpa jubbah dan sorban yang biasa diikatkan di kepalanya. “Kita begini saja ya, santai,” ujarnya. Saya tahu beliau berusaha menentramkan tetamunya yang belingsatan karena kepergok tertidur di sofa.

Habib Luthfi pun sejatinya tampak sudah lelah. Beliau berkali-kali batuk panjang. Toh usai batuk reda, beberapa kali asap sigaret kembali mengepul dari mulutnya. AC dimatikan, digantikan dengan membuka dua jendela agar udara segar bisa masuk.
 
“Halah…kucing juga suka batuk-batuk padahal dia enggak merokok,” selorohnya membela diri saat saya menyarankan apa tidak sebaiknya berhenti merokok. Suaranya berat, berwibawa. “Kamu ingat tidak, ada menteri kesehatan yang kena kanker paru-paru? Apa dia merokok?” ujarnya kemudian. Saya cuma mengangguk takzim.

Ketika materi wawancara menyinggung soal kepiawaiannya bermain piano, Habib Luthfi memberikan paparan menarik. Rupanya, seperti Gus Dur dia juga amat menggemari musik klasik. “Mungkin bakat seni saya menurun dari ayah yang dikenal pandai memainkan biola,” ujar lelaki yang lahir dan besar di Kota Batik, Pekalongan itu.

Soal kemampuannya memainkan piano, pemimpin Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan itu antara lain pernah ‘memamerkannya’ di hadapan Presiden Joko Widodo pada 24 Februari 2018. Dalam acara yang berlangsung di Sentul International Convention Center Bogor, dia mengiringi Sharla Martiza yang melantunkan lagu Padang Bulan. Lagu yang diciptakan Habib Luthfi tersebut juga diiringi orkestra yang dipimpin oleh Konduktor Addie MS.

Bagi Habib Luthfi, orkestrasi dalam musik klasik mencerminkan sebuah nilai-nilai demokrasi yang amat luhur. Sebab di dalam sebuah orkestra, tiap pemusik akan memainkan alat musik mereka sesuai dengan notasi sebagai rambu-rambunya. Mereka juga patuh dan hormat kepada dirijen yang telah disepakati sebagai pengendali orkestra.

Dengan begitu, setiap alat kapan akan dimainkan, berapa durasi dan tinggi-rendahnya nada yang diinginkan tertata dengan penuh harmoni.
 
Di dalam orkestra musik klasik, kata Habib Luthfi, ada kebersamaan dalam keberagaman yang justru kemudian melahirkan sebuah atraksi yang harmonis. Para pemusik itu tahu kapan harus demo memainkan alatnya dan kapan membiarkan yang lain tampil. Di antara mereka tak saling serobot.

“Kalau pun terjadi improvisasi, karena dilakukan dengan sopan tetap menghasilkan irama musik yang indah untuk didengarkan,” kata lelaki kelahiran 10 November 1947 itu.

Merujuk filosofi tersebut, bila kemudian kita kaitkan dengan kehidupan demokrasi saat ini, perpolitikan di tanah air tercinta tak akan ada lagi ingar bingar oleh berbagai manuver rendahan para politisi.
 
Tak perlu ada propaganda ganti presiden, sebab waktu dan momen untuk itu sudah disediakan ruang dan jadwalnya sendiri. Banyak energi bisa dihemat untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif.
 
***