Semua Cuci Tangan, Meninggalkan Ratna Sarumpaet Sendirian

Selasa, 16 Oktober 2018 | 22:27 WIB
0
344
Semua Cuci Tangan, Meninggalkan Ratna Sarumpaet Sendirian

Kasus pengakuan bohong Ratna Sarumpaet yang disaksikan rakyat Indonesia se Tanah Air, ibarat lumpur Lapindo – melibas semua didekatnya jadi genangan lumpur. Maka buru-buru semua orang terdekat menghindar, cuci tangan, cuci kaki membersihkan semua dari lumpur lalu pergi menjauh. Kalau perlu, tutup buku semua yang berhubungan dengan Ratna Sarumpaet.

Ini tak mengherankan, lantaran Ratna Sarumpaet merupakan figur nasional yang memiliki segudang kompetensi yang diakui masyarakat. Tidak sebanding Neno Warisman, misalnya dalam hal teater, dunia panggung, layar lebar, dunia kesenian, apalagi sebagai sosok aktivis politik. Ratna Sarumpaet adalah sosok berkelas internasional.

Maka, bumi pun gunjang-ganjing ketika Ratna Sarumpaet pada 3 Oktober 2018 mengaku bahwa dirinya berbohong – tidak dianiaya sehingga mukanya bengep seperti diumumkan tim Capres Prabowo dan Cawapres Sandiaga Uno, tetapi karena operasi plastik. Orang pun mulai bertanya-tanya, benarkah Ratna bohong sendirian?

Bisa dirunut ke belakang, kehebatan sepak terjang Ratna Sarumpaet yang begitu meyakinkan, sehingga membuat jutaan orang bertanya-tanya, benarkah ia berbohong demi anak-anaknya tidak bertanya-tanya kenapa mukanya jadi bengep? Apakah anak-anak Ratna masih kecil-kecil? Anak Ratna pun bukan anak sembarangan, mereka memiliki rekam jejak prestasi yang meyakinkan.

Atiqa Hasiholan – satu dari empat anak Ratna dengan Ahmad Fahmy Alhady (menikah 1972, cerai 1985) – membintangi film “Jamila dan Sang Presiden” (2009). Film yang skenarionya dibuat Ratna Sarumpaet ini mendapat sejumlah perhatian internasional ketika diputar di berbagai festival filem seperti Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival.

Di Vesoul Asian International Film Festival, Jamila dan Sang Presiden memperoleh dua penghargaan, Youth Prize dan Public Prize. Di Asiatica Film Mediale Festival di Roma, dapat NETPAC Award. Dan lebih hebat lagi, tahun 2010, Film “Jamila dan Sang Presiden” ini diterima oleh Academy Awards ke-82 sebagai film yang mewakili Indonesia dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Luar biasa...

Film “Jamila dan Sang Presiden” ini skenarionya disadur oleh Ratna Sarumpaet dari karyanya sendiri (2007), sebuah naskah drama karyanya sendiri, “Pelacur dan Presiden” (2006) yang ditulisnya setelah melakukan serangkaian penelitian tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia (2005) dengan bantuan UNICEF. Ratna mengunjungi enam provinsi demi menguji dan mengetahui kebenaran mengapa perdagangan anak manusia di Indonesia bisa sedemikian marak?

Naskah drama karyanya, “Pelacur dan Sang Presiden” ini dipentaskan di lima kota besar Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini, memberi kesadaran pada Ratna untuk melawan jenis perdagangan manusia dalam sebuah kampanye besar. Tak cukup hanya sekadar pementasan drama.

Ratna juga jenis orang yang selalu ingin melihat dari dekat, apa yang ia dengar. Seperti ketika terjadi konflik Aceh bergolak di wilayah Cot Trieng, Ratna Sarumpaet juga mengunjungi para pengungsi yang tersebar di wilayah Aceh. Dia dituturkan, menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak dimana ribuan tulang-belulang rakyat Aceh terkubur di sana.

Ketika ada gagasan Aceh agar ditetapkan sebagai Darurat Militer menjadi pembahasan panas di kalangan wakil rakyat di DPR Senayan (2003-2004), Ratna menyurati Presiden saat itu dan memohon agar konflik Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna Sarumpaet yakin presiden saat itu akan menyelesaikan konflik Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Ratna Sarumpaet juga dikenal sebagai aktivis lapangan yang sulit disangkal, ia konsisten dan memiliki kepekaan akan penderitaan rakyat. Ia turun langsung dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkan. Dan boleh dibilang, Ratna adalah “musuh setiap presiden”. Termasuk juga Presiden yang adikuasa, Soeharto.

Tahun 1998, ARTE (stasiun televisi Perancis) dan juga Amnesty International mengabadikan perjalanan hidup Ratna Sarumpaet sebagai pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) berjudul “The Last Prisoner of Soeharto”. Pada peringatan 50 tahun HAM internasional, film ini diputar secara nasional di Perancis dan Jerman!

Pada momen yang bersamaan itu, Ratna Sarumpaet hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang tengah berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi di Paris itu, Ratna mengaku miris, mendengarkan Indonesia disebut sebagai “Negara Pelanggar HAM Terburuk”. Terutama yang terjadi di era Orde Baru. Ratna mendengar lengkap, beberapa laporan tentang pelanggaran-pelanggaran HAM semasa Soeharto yang dilakukan di Aceh dan Timor Timur...

Namun ketika di acara puncak, pada 10 Desember 1998, Ratna Sarumpaet berpidato (di samping juga tokoh-tokoh terkenal Dalai Lama pemimpin Tibet, serta Jose Ramos Horta pemimpin Timor Timur kala itu), tanpa membela pelanggaran HAM yang dilakukan regim Soeharto, Ratna juga mengecam negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris yang mensuplai senjata, pendidikan perang, peralatan perang di daerah-daerah konflik di Indonesia...

Dari Paris usai pidato itu, Ratna Sarumpaet terbang ke Tokyo untuk menerima penghargaan “The Female Special Award for Human Rights” dari The Asian Foundation of Human Rights. Sepulang dari Tokyo, Ratna Sarumpaet langsung terbang ke Aceh...

Semasa Soeharto berkuasa? Ratna boleh dibilang selalu menjadi incaran aparat untuk ditangkap. Perempuan kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1949 (kini 69 tahun) yang pernah dibesarkan di pentas Bengkel Teater Rendra ini juga pernah membuat penguasa berkerut jidat. Monolog Ratna Sarumpaet yang berjudul “Marsinah Menggugat” (1994) dicekal di berbagai daerah oleh administrasi Orde Baru.

Siapa pula Marsinah? Marsinah hanyalah seorang aktivis buruh pabrik pada tahun 1993. Ia bekerja pada sebuah pabrik di Porong, Sidoarjo di PT Catur Putra Surya (CPS). Marsinah diculik aparat Kodim setempat, dan mayatnya ditemukan di hutan Jegong desa Wilangan empat hari kemudian setelah hilang sejak 8 Mei 1993. Di tubuhnya ditemukan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Jahatnya, hasil peradilan memutuskan bersalah delapan petinggi PT CPS termasuk satu-satunya wanita, Mutiari, Kepala Personalianya. Yudi Susanto pemimpin pabrik divonis 17 tahun penjara, sedangkan staf lainnya dihukum berkisar 4-12 tahun penjara. Yudi dkk tidak terima, dan mereka banding. Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung menyatakan bebas murni.

Putusan ini menimbulkan gelombang ketidak puasan masyarakat luas, bahwa sebenarnya kasus ini direkayasa oleh aparat, sehingga kesalahan ditimpakan pada pemimpin perusahaan. Aksi solidaritas terhadap Marsinah – yang jadi korban penculikan dan pembunuhan aparat – akhirnya meluas, sampai ke tingkat nasional.

Selain di dunia perfilman, portefolio Ratna Sarumpaet di dunia kesenian pun dilengkapi dengan posisi dia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada periode 2003-2006. DKJ adalah sebuah lembaga otonom yang dibentuk oleh masyarakat seniman Jakarta, dan pertama kali dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada 7 Juni 1968. DKI bertugas sebagai mitra kerja Gubernur DKI sejak Ali Adikin untuk merumuskan kebijakan serta merencanakan berbagai program guna pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Jakarta.

Tentang kedekatan dengan keluarga Prabowo – yang mengaku telah ditipu Ratna Sarumpaet, dan mengaku baru dikenal sejak Pilpres 2004? Secara keturunan politik tentunya dekat, karena kedua orang tua mereka adalah pemimpin-pemimpin PRRI.

Dalam Kabinet PRRI (1958), di bawah Mr Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan, maka Saladin Sarumpaet adalah Menteri Pertanian dan Perburuhan. Sedangkan Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo adalah Menteri Perhubungan dan Pelayaran.

PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) adalah gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintahan Soekarno di pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat. Gerakan ini mendapat sambutan di wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.

Nah, ketika tiba-tiba muncul pengakuan Ratna Sarumpaet 3 Oktober 2018 bahwa itu bohong dirinya “dipukuli tiga orang tak dikenal, setelah diculik dari mobil di parkiran Bandara Husein Sastranegara Bandung pada 21 September 2018”. (Disiarkan luas di semua televisi di Tanah Air). Ratna mengakui ia berbohong untuk menyembunyikan operasi plastiknya dari pertanyaan keluarganya sendiri. Timbul keraguan meluas, benarkah ini kebohongan Ratna Sarumpaet sendiri? Atau ada kebohongan lain yang masih rapat disimpan?

Rangkaian peristiwa “pemukulan aktivis oposisi” atas diri Ratna Sarumpaet ini toh tidak berdiri sendirian. Sebelumnya masih ada rumah pemimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera dilempar bom molotov. Untung ybs tidak di tempat dan molotov tidak sempat meledak.

Juga, mobil tokoh 2019GantiPresiden Neno Warisman yang “dibakar” orang tak dikenal. (Ternyata menurut polisi, mobil yang terparkir di depan rumah itu terbakar karena korsluiting listrik mobilnya). Rangkaian peristiwa ini ibarat alunan simponi kampanye.

Di kepala rakyat awam seperti saya, pertanyaan-pertanyaan kecurigaan pun wajar timbul. Jangan-jangan peristiwa kebohongan yang spektakuler, yang disebut sebagai “hoax politik terbesar” dalam sejarah bangsa Indonesia ini adalah bagian dari orkestrasi kampanye untuk menjatuhkan Capres Petahana, Joko Widodo? Wallahu alam bishawab. Siapa bisa menjawab?

***

Sumber:

Detik.com, Kompas.com, Wikipedia dan berbagai sumber lain.