Entahlah, makin berat derap ini menapak tanah
Terbelenggu mati seakan tak ada lagi cahaya pelita
Di ujung gelap sana
Aku bertahan di atas kebisuan pujangga nan melukis awan
Bercengkrama di balik kelopak mewah bulan
Aku bernaung di bilik kecil gubuk tua
Bernostalgia dalam pelukan dingin ketidakberdayaan
Seakan hidup tak mengalir disungai kering.
Entahlah, tiada asa nan lapuk senja dalam kemarau
Nan berbunga.
Tiada harap nan tercipta diantara gugurnya dedaunan
Hijau diterpa angin.
Hanya hati nan mengasingkan harap di peluk pesakitan
Hiduplah tetaplah hidup
Berjalan dan terus berjalan
Melangkah dan bergerak setelah itu membisu dan sunyi
Ya hanya kesunyian
Tiada nada keangkuhan
Tiada sorak kesombongan
Ya, cerita berakhir dikesunyian
Kita adalah cerita kesunyian
*****
Ku menyepi seperti mati
Ku berkhayal seperti kuburan
Sejengkal harapanku coba ukur di tanah merah
Luka ini terlalu lama mengubur impianku
Aib ini terlalu telah lama lelap diranjang tidurku
Seraya menungguku kalah dan pasrah
Ku tak pernah melawan
Ku tak pernah bicara
Ku Cuma diam memakan luka dan sakitku
Ku lahap sampai ku lelah dan terlelap
Dunia telah menghitamkan kelahiranku
Mencoba mengalihkan sakitku
tetesan air mata nan berdarah
Kadang hidup tak cukup untuk ku ikhlaskan
Kadang nuranipun tak cukup untuk tertikam lebih dalam
Aku berkelana membawa luka didada dan ditangan kanan
Tersenyum seperti tak merasakan
Tertawa seperti beku dan dingin
Aku hanya manusia yang mencari jati diri
Mencari arti hidup
Mencoba ikhlaskan hidup untuk mati.
*****
Menabur buih angin di selatan mimpi
Menata mata tak berkedip di penjara langit malam
Itu adalah harapan ketika waktu senja menitipkan
dingin gerimis dipelukan
Menitipkan asin wangi pantai di meja hidangan
mimpi itu tersirat diparas pucat
Bibir nan bungkam
gerimis reda angin mencela
mencaci raga dan jiwa yang kalah akan resah
mengumpat asa dan impian nan tak terjangkau
dekapan hangat itu terlepas dibalik bayang
hanya resah menabur doa dalam titipan
menahan tangis dibalik pintu kamar
segudang sunyi memang merajai malam
seperti lisan nan tertahan lidah kehampaan
tak patah dalam kata-kata tak bernoda
akhirnya remuk dicaci angin, mati dan bermimpi.
*****
Taukah engkau tentang kata nan menyelipkan duka
diantara lubang ventilasi kamar?
Taukah engkau tentang isak tangis nan menebuskan mawar
Diranjang malam sambil menghela napas menunggu kematian
Banyak cerita nan tak bisa patah dengan kata-kata bahagia
Banyak kata nan dipenggal keterpurukan tumpukan lirik
Seperti dawai gitar nan melantun dalam jerit tangis
Pengemis mimpi
Berirama sendu dalam air mata tapi tak ada nyanyian dan suara
Ya, pengemis mimpi
Pengemis mimpi nan menikam angan di balik jendela kamar
Diam termangu lalu terlelap
Memejamkan mata di balik gemuruh ombak lautan seberang
Menutup hati dalam kata-kata nan berserakan disemak pesakitan
Nan terbaring dipinggir kali
Ada nyanyian terngiang halus mendesing di telinga
Bangunkan setitik kehampaan pikiran kelam
Waktu tak perlu menunggu rentang hitungan menit
Detik kesunyian adalah pedoman di pekat malam
Melangkah dan hilang
Lenyap tak membekas atau remuk dibalik tembok
Mati atau hidup tanpa angan.
*****
Katakanlah pahit pada lidah jikalau pekat malam
Tak lagi mendengar gundah pada nyanyian angin
Dari penjuru laut utara
Mengucap salam dalam kata nan ternoda tinta
Lalu beranjak pergi membelakangi bayangan
Katakanlah perih pada mata jika isak tangis
Si pujangga malam tak pantas lagi
Menorehkan bait di sejuknya pagi
Menuai rapuh tiap jengkal pikiran nan menusuk hidung
Wangi asin di tepian pantai tak secerah impian
Katakanlah,
Katakanlah bahwa malam ini tak ada selimut
Nan membelenggu impian
Tak ada ranjang nan mengikat keterbatasan kata dijiwa
Nyanyikanlah ketertindasan hati dari melodi-melodi
Di balik dinding kamar belakang
Setidaknya masih ada pucuk-pucuk cahaya menyemangati.
(Jakarta, 2018)
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews