Satu Tahun Anies Baswedan Memimpin DKI, di Antara Jokowi dan Sandi

Selasa, 16 Oktober 2018 | 17:42 WIB
2
331
Satu Tahun Anies Baswedan Memimpin DKI, di Antara Jokowi dan Sandi

 

Sepuluh tahun sudah saya melihat metamorfosa ruang seorang Anies Baswedan. Tahun 2008, di Universitas Paramadina, saya kali pertama bertatap muka dengan Rektor Perguruan tinggi termuda di Indonesia. Dari apa yang dia ucap, jelas tergambar dia sosok yang cerdas secara pemikiran.

Dialah Anies Baswedan yang kini menjadi Gubernur DKI. Satu tahun pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, tak luput dari dinamika politik nasional yang turut mewarnai.

Apa yang diraih Anies Baswedan (AB) sebagai pemegang tampuk kepemimpinan Ibukota, tentu bukanlah hasil dari mantra "abrakadabra". Prestasi Anies di bidang pendidikan membawanya  menjelajah hingga ke Amerika Sana. Merunut pada  catatan perjalanan hidupnya, pada tahun dimana ada bilangan 7 itulah Anies meraih tangga "sukses" . Perlahan tangga demi tangga  itu ditapaki hingga sekarang ini. 

Jalan Politik Anies Sebelum Menjadi DKI-1

Bermula dari tahun 1997, dimana Anies berhasil mendapatkan beasiswa Fulbright dari Aminef. Anies menempuh  kuliah lanjutan di bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs,  University of Maryland, College Park. Beasiswanya berlanjut hingga ke jenjang PH.d bidang  ilmu politik di Northern Illinois University.

Satu dasawarsa selepas Anies berhasil menempuh studi di Amerika, tahun 2007 Universitas Paramadima Jakarta menempatkannya sebagai pucuk pimpinan. Gelar Rektor pun tersematkan. Sepak terjang Anies di dunia pendidikan kian berkibar setelah Anies bengembangkan konsep Indonesia mengajar bersama jejaring alamaternya dari UGM.  Tak sebatas muncul sebagai tokoh akademisi yang penuh  Potensi, Anies membuka diri pada proses-proses politik yang menghampiri. 

Jalan  politik Anies Baswedan bermula dari konvensi calon presiden yang dihelat partai Demokrat. Melalui gagasan "Kita Semua Indonesia", dia mengajak semua orang tanpa kecuali untuk ikut terlibat mengurus negeri. Pengejawantahan gagasan tersebut mewujud dalam gerakan turun tangan, diaman setiap orang yamg terlibat adalah relawan tanpa perlu dibayar. Dalam konteks politik, kemunculan relawan ini tentu menjadi energi baru ditengah budaya pragmatis. 

Anies kian memperoleh posisi tawar dilingkar pelaku demokrasi. Gagal melenggang di Konvensi, Anies kemudian dilirik Jokowi. Pilpres 2014 menjadi bagian perjalanan politik Anies Baswedan dimana dia dipercaya menjadi Juru Bicara. Buah kemenangan Jokowi JK pada pilpres 2014, turut pula dipetik Anies Baswedan yang kala itu dinilai sebagai sosok muda lagi energik. Jabatan Menteri Pendidikan pun sempat dipercayakan Jokowi kepada Anies Baswedan.

Sayang, belum genap dua tahun menjabat, Anies Baswedan menjadi salah satu menteri yang direshufle alias diganti. Biarlah alasan digantinya Anies sebagai menteri pendidikan menjadi hak prerogatif Jokowi. Namun siapa sangka, Anies pun mengikuti jejak politik menjadi Gubernur DKI setelah menang Pilgub 2017. Sebelum menulis lebih jauh tentang satu tahun kepemimpinan Anies di DKI Jakarta, mari sejenak kita cermati kembali tahun demi tahun yang menjadi tangga perjalanan politik Anies Baswedan : 1997-2007-2017. Angka cantik, deret bilangan kelipatan 10 yang ciamik untuk ditelisik.

Satu Tahun Anies Baswedan Memimpin DKI

Kompleksitas permasalahan ibukota menuntut kepemimpinan sekelas Gubernur DKI harus berlipat keistimewaanya. Sudahkah Anies-Sandi menjadi istimewa bagi warganya?. Oleh sebab saya bukan warga DKI Jakarta, maka sungguh tidak berhak saya untuk menjawabnya. Namun sebagai orang yang pernah hidup di Jakarta bahkan hingga sekarang dan nanti masih wara-wiri keluar masuk Jakarta, maka tulisan ini menjadi sebuah apresisasi tersendiri.

Nyata, Belum genap satu tahun kepemimpinan Anies-Sandi, dinamika politik  berujung pada didaulatnya Sandi maju sebagai cawapres Prabowo. anies  Baswedan tentu saja harus legowo. Kehilangan rekan perjuangan sekaligus  rekan kerja menjalankan mesin pemerintahan propinsi DKI bukanlah barang  sepele. Apalagi hingga saat ini belum juga ada putusan siapa kandidat  pengganti Sandi untuk kursi DKI-2. Anies pun harus ekstra menjaga  kinerja.

Jakarta, terlepas siapapun Gubernurnya, terkadang  menjadi parameter atas kondisi negara. Meski hal ini tidak sepenuhnya terukur dalam validitas uji sampling yang akurat jika benar-benar ditinjau dan dilakukan kajian antar propinsi yang ada di Indonesia. Jakarta secara otomatis menjadi tuan rumah bagi para tamu republik. Suka tidak suka, Jakarta haruslah menjadi kota yang ramah lagi humanis.

Tag line "Jakarta Maju Kotanya, Bahagia Warganya", hadir mengiringi kemunculan pasangan Anies Sandi. Sebuah frasa kalimat yang menggabungkan antara suatu keadaan yang dapat dilihat dengan kasat mata, yang bersanding dengan suasana hati dan batin yang immateril.  Keseimbangan, demikian mungkin sebuah gambaran keadaan masyarakat yang tinggal di Jakarta dalam sebuah gambaran atau kacamata kepemimpinan mereka.

Sederhana dan terkesan gampang, hingga terkadang mudah untuk dilupakan akibat dinilai banyak hal lain yang harus diprioritaskan. Tagline inilah yang harusnya menjadi ruh dalam tiap gerak pembangunan DKi yang di dipimpin Anies Baswedan. Jangan sampai dilupakan apalagi ditanggalkan. Meski untuk mengukur tingkat kebahagiaan warga, butuh instrumen penelitian yang tidak biasa dilakukan dalam standar monitoring dan evaluasi masa pemerintahan Anies Sandi.

Hal lain terkait "bahagia warganya" ala Jakarta, tentu tidak sekedar merujuk pada terealisasinya program OK OCE, OK TRIP, Rumah DP 0 Rupiah hingga normalisasi sungai semata. Bahagia adalah standar ganda antara apa yang bisa dilihat secara fisik dengan kondisi internal fikiran dan batin tiap individu dalam masyarakat. Tidak ada salahnya, sebagai mantan Akademisi, Anies Baswedan harus kembali melibatkan jejaring Akademisnya baik itu dari para sosiolog, psikolog sosial hingga antropolog. Dibutuhkan sentuhan penanganan atas masalah ibukota secara multi disiplin ilmu hingga lintas sektor.

Ya, Jakarta sungguh menjadi miniatur Indonesia, bahkan dunia. Paradigma multi etnis-multi kultural juga haruslah menjadi nafas kebijakan Anies Baswedan yang sekarang ini masih saja sendirian menjalani kepemimpinan DKI. Keseleo lidah seperti saat menggunakan istilah 'pribumi", jalas akan mengundang kontroversi yang tak berarti. Berhati-hati dalam berucap menjadi hal yang harus Anies lakukan, jika tidak ingin mengikuti jejak pendahulunya. Meski sekarang ini, salah ucap sedikit saja bisa fatal akibatnya.

Lagi-lagi, Jakarta menjadi cermin besar yang bisa dilihat oleh warga diseantero Indonesia bahkan dunia. Kabar yang muncul di wilayah Jakarta, akan dengan cepat viral di berbagai media. Seperti halnya  realisasi anggaran KTP binatang misalnya. Program pemerintah DKI yang belakangan marak beredar di media sosial dan santer mengundang kontroversi. Sebagai pecinta binatang khususnya kucing, sempat terbersit pemikiran betapa tidak adilnya program ini. Kenapa hanya anjing saja? lantas bagaimana dengan kucing?

Ah, tentu bukan anjing atau kucingnya yang perlu menjadi bahan perdebatan. Melainkan sejauh mana DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Anies, bisa menunjukkan komitmen betapa humanisme mendapat ruang . Tak terkecuali rasa peduli terhadap binatang sekalipun.  Terlepas siapapa pun nanti pengganti Sandi, Anies Baswedan harus tetap menjadi figur yang ramah. Menjadi diri sendiri dengan segala potensi pemikiran layaknya seperti  masa dulu. 

Jika dulu Anies mampu mewujudkan  gagasan seperti gerakan turun tangan para relawan hingga gerakan Indonesia Mengajar, kenapa sekarang tidak? Bukankah Jabatan sekelas Gubernur sekalipun tidak menjadi penghalang bagi munculnya ide brilian dalam kapasitas seseorang?! Tetaplah ramah dan murah senyum pak Anies Baswedan. Pilpres 2019 nanti menjadi tahun politik yang memiliki arti tersendiri bagi Anies.

Anies Baswedan Diantara Sandi Dan Jokowi

Siklus tahun politik bergulir rutin dalam lima tahunan. Tepat 1 tahun Anies Baswedan menjadi DKI-1, fase pilpres 2019 persis di depan mata. Mau tidak mau , suka tidak suka Anies Baswedanpun harus menghadapinya. Dia memilih bertahan dengan jabatan Gubernur DKi yang ingin diemban selama genap 5 tahun. Sementara pasanganya, Sandiaga Uno memilih sebuah lompatan kepemimpinan, dari Wakil Gubernur DKI menjadi kandidat Wakil Presiden. Sebuah kondisi yang cukup pelik. Tampuk kepemimpinan Anies menuju DKI -1 sempat  diwarnai dengan perpindahan haluan politik.

Tentu, tidak serta merta dikaitkan secara langsung bahwa Anies Tersingkir dari kabinet Jokowi hingga kemudian dia mendapat peluang menjadi DKI-1. Atas hiruk pikuk politik yang sempat melanda Jakarta, fase itu berlalu. Dan kini Anies telah menentukan posisi dan pilihannya. Sebagai GUbernur DKI, lengkap dengan pilihan mendukung Sandi. 

Langkah pertama cukuplah tepat bagi Anies. Namun apakah kemudian disusul dengan dukungan terhadap Sandi kemudian segala seuatunya menjadi kian tepat? . Hal yang harusnya menjadi perhatian Anies sebelum 100 % menunjukkan dukungannya mensukseskan Sandi adalah memastikan siapa orang yang akan menggantikan Sandi. Ya, biar bagaimanapun sebagai Gubernur membutuhkan Wakil. Apalagi Pilpres 2019 sudah didepan mata.

Jika pilpres 2014 lalu Anies menjadi Juru bicara Jokowi, berbeda halnya dengan pilpres 2019 dimana Anies tentu harus berada satu barisan bersama Sandi. Bukan sebagai Jubir, entah sebagai apa. Yang Jelas bukan semata bantuan doa yang harus Anies lakukan. Kerja keras, putar otak dan mengerahkan segenap tenaga dan pemikiran sungguh dibutuhkan oleh tim Sandi, Jika benar-benar ingin memenangkan konstesasi Pilpres 2019.  Anies, menjadi Gubernur minoritas dari sekian Gubernur yang ada yang mendukung Pasangan Prabowo.

Satu persatu Gubernur di beberapa propinsi terang-terangkan berpindah haluan. Dari yang semula mendukung Prabowo-Sandi, beralih mendukung Jokowi kini. Bagaimana dengan Anies Baswedan?. Ya,satu sisi  mantap Anies Baswedan memilih menyelesaikan masa jabatan Gubernur DKI,  namun sisi lain saat pilpres 2019 berlangsung, Anies Baswedan berada diantara Jokowi dan Sandi.

Bahkan Awal Agustus lalu, saat peresmian Pelican Crossing, Anies sungguh terlihat mesra dalam suasana kerja lapangan bersama Jokowi. ah semoga Saja hal itu tidak serta merta mengundang kecemburuan Sandi. kalimat terakhir ini saya tuliskan dengan harapan Pak Anies Baswedan atau siapapun yang membaca bisa tetap tersenyum meski beda dalam pilihan politik .

Salam Damai.

***